Sabtu, 23 Juni 2012

HISBAH DAN MEKANISME PASAR: Studi Moralitas Pelaku Pasar Perspektif Ekonomi Islam

HISBAH DAN MEKANISME PASAR:
Studi Moralitas Pelaku Pasar Perspektif Ekonomi Islam
 Aan Jaelani
Dosen Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam PPs IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon
 
 ABSTRAK
 Mekanisme pasar dalam era globalisasi terkait dengan paradigma ekonomi pasar seiring dengan perkembangan ekonomi sosialis, kapitalis, atau campuran. Mekanisme pasar menjadi problem ketika pengalokasian sumber daya tidak efisien, ketidaksempurnaan pasar, dan penyebab keterbelakangan ekonomi. Dengan pendekatan sejarah pemikiran ekonomi Islam dalam membaca “teks” dan menganalisis “konteks”-nya dapat menemukan bahwa institusi hisbah secara historis mengalami transformasi secara institusional sebagai lembaga pengawas pasar dan institusi keagamaan yang merepresentasikan peran sosial dan ekonomi dalam mengantisipasi problem pasar. Lembaga hisbah ini atau apapun namanya untuk konteks sekarang sangat signifikan dalam menciptakan keadilan pasar.


Market mechanisms in the era of globalization associated with the paradigm of the market economy along with the development of socialist economy, capitalist, or mixed. The market mechanism is a problem when the inefficient allocation of resources, market imperfections, and the cause of economic backwardness. With the approach of Islamic history of economic thought in reading the "text" and analyze the "context" could find that the institution has historically experienced hisba institutional transformation as a market watchdog agencies and religious institutions that represent the social and economic role in anticipating market problems. This hisba institution or whatever his name to the current context is very significant in creating the equity market.

Keywords: hisbah, mekanisme pasar, globalisasi ekonomi, etika bisnis

A.    Pendahuluan
Diskursus ”mekanisme pasar” dalam ekonomi tidak dapat dilepaskan dari paradigma ”ekonomi pasar” seiring dengan perkembangan ekonomi sosialis dan kapitalis. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengorganisasikan suatu perekonomian agar kemakmuran suatu negara dapat tercapai.[1]
Ekonomi pasar bagi sebagian kalangan dipercaya pula dapat membawa perekonomian secara lebih efesien, dengan pertimbangan sumber daya yang ada dalam perekonomian dapat dimanfaatkan secara lebih optimal, dan juga tidak diperlukan adanya perencanaan dan pengawasan dari pihak manapun. Atau dengan kata lain ”serahkan saja semuanya kepada pasar,” dan suatu invisible hand yang nantinya akan membawa perekonomian ke arah keseimbangan, dan dalam posisi keseimbangan, sumber daya yang ada dalam perekonomian dimanfaatkan secara lebih maksimal.[2] 
Fakta empirik menunjukkan bahwa sesungguhnya perekonomian pasar jauh dari sempurna, dimana sulitnya mendapatkan informasi pasar yang mencukupi bagi konsumen maupun produsen mengenai harga, kuantitas, dan kualitas produk serta sumber, dan terkadang untuk mendapatkan suatu informasi diperlukan biaya yang tinggi, ditambah keberadaan skala ekonomi diberbagai sektor utama perekonomian menciptakan hambatan masuk (entry barrier) bagi pelaku usaha yang ingin berusaha pada sektor yang sama.
Pada gilirannya hal diatas mengakibatkan alokasi sumber daya yang tidak tepat, dan hal ini merupakan yang tidak diharapkan oleh negara-negara tersebut ketika mereka mulai menerapkan ekonomi pasar di negara mereka, ternyata yang didapatkan oleh mereka justru ketidak sempurnaan pasar (imperfect market), yang justru membawa mereka ”terjebak” dalam keterbelakangan ekonomi.
Ekonomi kapitalis (klasik)[3] memandang bahwa pasar memainkan peranan yang sangat penting dalam sistem perekonomian. Paradigma kapitalis ini menghendaki pasar bebas untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi, mulai dari produksi, konsumsi sampai distribusi. Adapun sistem ekonomi sosialis[4] menghendaki maksimasi peran negara. Negara harus menguasai segala sektor ekonomi untuk memastikan keadilan kepada rakyat.
Pandangan kapitalisme dan sosialisme tersebut di atas membawa konsekuensi bahwa manusia pada satu sisi memiliki kebebasan untuk bertindak secara ekonomi, meskipun tindakan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai moral maupun nilai-nilai agama, sedangkan pada sisi lain manusia sama sekali diposisikan sebagai robot yang tidak mampu berkreasi dan menuruti apa saja yang menjadi kebijakan ekonomi pemerintah, khususnya terkait dengan mekanisme pasar. Dua paradigma ekonomi dunia ini kemudian memberikan dampak yang semakin besar terhadap perekonomian bangsa yang kian terpuruk terutama pada negara-negara berkembang.
Berbeda dengan ekonomi kapitalis dan sosialis, ekonomi Islam menilai bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan (iqtishad), tidak boleh ada sub-ordinat, sehingga salah satunya menjadi dominan dari yang lain.  Pasar dijamin kebebasannya dalam Islam.
Oleh karena itu, peran pemerintah dalam mekanisme pasar perlu mendapatkan perhatian utama tanpa mengorbankan potensi manusia dalam mengembangkan aktivitas ekonomi. Salah satu peran pemerintah dalam mengatur mekanisme pasar terkait dengan penentuan harga adalah menetapkan lembaga pengawas pasar (market supervision) atau disebut ”hisbah”. Keberadaan institusi hisbah dalam mengawasi proses mekanisme pasar dengan peran untuk mengontrol moralitas pelaku pasar dan harga dalam konteks mewujudkan kesejahteraan ekonomi dan keadilan menjadi fokus utama tulisan ini.

B.     Hisbah dalam Literatur Ekonomi Muslim
Dalam tradisi Islam bentuk karya-karya ulama dapat dispesialisasikan, termasuk juga literatur tentang hisbah, suatu lembaga pemerintah yang memiliki fungsi kontrol khususnya perilaku seseorang terkait dengan moral, agama dan ekonomi, dan secara umum dalam wilayah kolektif atau kehidupan publik (the areas of collective or public life), untuk menegakkan keadilan dan kebenaran (justice and righteousness) berdasarkan prinsip-prinsip Islam dan kebiasaan atau adat istiadat yang baik sesuai dengan waktu dan tempat. Lembaga ini juga memiliki kantor yang berperan dalam mengontrol pasar dan perilaku moral.[5]
Di kalangan sarjana muslim klasik maupun modern serta beberapa orientalis cukup banyak yang telah melakukan kajian tentang lembaga hisbah ini. Karya-karya tentang hisbah dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kategori, yaitu: pertama, karya-karya yang memfokuskan pada kajian hisbah dan menggunakan judul hisbah atau kata lainnya (namun materinya tentang hisbah), seperti al-Syaizari, Ibn al-Ukhuwwah, Ibn Bassam, al-Jarsifi, Ibn Taymiyyah, al-Uqbani, Ibn ‘Abdun, Ibn Abd al-Ra’uf, and al-Saqati.); dan kedua, karya-karya fiqh siyasah yang memasukkan materi hisbah sebagai bagian integral dari kitab yang ditulisnya, seperti al-Mawardi, Abu Ya’la al-Farra, al-Juwaini, dan al-Ghazali.
Karya-karya yang ditulis tersebut secara umum menggambarkan peran dan kewajiban muhtasib sebagai petugas yang melaksanakan hisbah (officer in charge of al-hisbah) atau mereka menggambarkan secara rinci hal-hal praktis dan teknis pengawasan pasar sebagai pedoman dalam kontrol administrasi pekerjaan (administrative control of the professions), dan terutama kualitas dan standar produk (product quality and standard). Hisbah menjadi institusi penting dalam negara Islam sebagai sebuah departemen yang menjalankan fungsi pemerintahan dalam mengontrol kehidupan sosial dan ekonomi secara komprehensif pada bidang perdagangan dan praktek-praktek ekonomi.
Studi tentang hisbah ini tidak bisa dilepaskan dari peran negara. Dalam kajian ekonomi pasar, keberadaan negara dengan peran yang dilakukannya menjadi perdebatan, apakah perlu ikut campur atau melepaskan mekanisme pasar yang berlangsung khususnya dalam hal pengawasan dan pengaturan harga. Meskipun demikian, negara memainkan peran penting dalam kehidupan ekonomi, terutama (tiga) fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.
Pelaksanaan peran negara tersebut dapat dipengaruhi oleh kebijakan politik ekonomi yang dijalankannya.[6] Kenyataannya, pasar dan mekanisme pasar bukan ”segala-galanya”, atau ”invisible hand” yang selalu mampu mengendalikan kekacauan pasar ke arah keseimbangan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para ekonom kelembagaan (institutional economist).[7]
Dalam sejarah ekonomi Islam, adanya makanisme pasar dapat dilihat pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Anas r.a., terkait adanya kenaikan harga barang di kota Madinah. Berdasarkan hadits di atas, Rasulullah SAW. tidak menentukan harga. Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar secara alamiah. Rasulullah menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh ditetapkan, karena Allah-lah yang menentukannya.
          Dalam analisis ekonom Islam kontemporer, teori inilah yang diadopsi oleh Adam Smith, dengan teorinya, invisible hands. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan tidak kelihatan (invisible  hands). Bukankah teori invisible hands itu lebih tepat dikatakan God Hands (tangan-tangan Allah).[8] Dalam hal ini, para pelaku pasar yang menentukan harga, sesuai dengan tingkat permintaaan dan penawaran, serta tetap mempertimbangkan nilai-nilai moral dan agama.  

      1.      Sejarah dan Transformasi Institusi Hisbah
Hisbah adalah lembaga resmi negara yang diberi wewenang untuk menyelesaikan masalah-masalah atau pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan proses peradilan untuk menyelesaikannya. Lembaga ini mengalami transformasi seiring dengan perkembangan kota-kota di beberapa wilayah Islam yang merepresentasikan budaya baru suatu sistem pasar yang pernah ada sebelumnya. 
Secara historis, lembaga pengawasan pasar kuno yang dikenal dengan sahib al-suq (inspektur pasar) telah muncul pada abad ke-8, ketika agama Islam membentang dari perbatasan Perancis sampai Cina, sehingga kegiatan komersial berupa perdagangan di kota-kota mengalami proliferasi dan kota-kota diperluas, dan begitu pula pada sūqs atau pasar.[9] Pada akhir abad ke-9, kantor inspektur pasar mulai dianggap sebagai jabatan keagamaan dan inspektur tersebut dikenal sebagai muhtasib, seseorang yang bertugas dalam menginvestigasi perbuatan dan tindakan anggota masyarakat yang benar dan salah, kemudian melaporkannya dalam bentuk catatan pada suatu buku.[10]
Dalam peran sebelumnya sebagai sahib al-suq, inspektur pasar terutama berperan dalam mengawasi aspek materi, bukan pertimbangan spiritual. Peran tersebut antara lain melakukan kontrol terhadap barang-barang dari sisi ukuran berat dan ukuran standar (timbangan), memeriksa apakah uang yang digunakan itu asli atau palsu, melakukan pengecekan terhadap gedung-gedung, dinding, dan jalan-jalan umum untuk menjamin dalam kondisi baik, dan memantau sumber-sumber air yang dikonsumsi publik terkena pencemaran atau tidak, mengawasi pemeliharaan tempat pemandian umum, dan tempat-tempat hiburan.[11]
Selain itu, sahib al-suq ini melakukan fungsi sebagai sebuah nightwatchmen (petugas keamanan, ronda, thuwwaf al-lail) dengan tujuan mencegah terjadinya kejahatan yang biasanya terjadi pada malam hari, seperti pencurian, perampokan, atau pembunuhan, pesta miras, perzinahan, prostitusi, dan homoseksualitas.[12] Beberapa fungsi ini memang terkait erat dengan ketentuan moralitas dan agama, namun secara keseluruhan perannya tetap sekuler.
Ketika, kemudian, inspektur pasar ini berubah menjadi muhtasib, dengan kantornya yang digambarkan sebagai bagian dari institusi keagamaan, terutama direlasikan dengan fungsi ajaran al-Qur’an, yaitu "memerintahkan yang baik dan mencegah yang buruk" (al-amr bi al-ma'ruf wa nahy ‘an al-munkar). Fungsi utamanya tetap sebagai inspektur pasar, tetapi muhtasib dibentuk sebagai langkah transformasi dengan peran keagamaan, yang tentunya mewujudkan tujuan keagamaan itu sendiri.[13]
Adanya perubahan peran inspektur pasar ini dilatarbelakangi oleh kebijakan umum Kekhalifahan Abbasiyah dalam melakukan Islamisasi kelembagaan yang ada, atau akibat adanya tujuan yang lebih praktis untuk menekan oposisi politik dan keagamaan. Periode penting dalam mengkaji perubahan fungsi tersebut terdapat pada abad ke-10 dan ke-11, meskipun membutuhkan kajian mendalam untuk menjelaskan perubahan tersebut. Baghdad sebagai ibukota kekhalifahan Abbasiyah menjadi fokus utama dalam melihat sisi kesejarahan lembaga hisbah, walaupun apa yang terjadi pada masa ini tidak tidak dapat dipahami tanpa meninjau latar belakang peristiwa-peristiwa yang terjadi di bagian barat wilayah Islam. Selain itu, karena inspektur pasar berkaitan dengan kehidupan dan aktivitas pasar, maka transformasi lembaga ini menjadi bagian dari aspek kehidupan komersial dan munculnya kelas-kelas sosial pada masa Islam. [14]
Dalam hal ini, secara terbuka kebangkitan Islam di tengah kehidupan komersial komunitas Mekkah dan penyebaran Islam pada komunitas perkotaan, seperti Kufah, Damaskus dan Fustat, berkembang menjadi kota-kota perdagangan besar. Perintah al-Qur'an terhadap riba dan akumulasi kekayaan secara bathil mengalami perkembangan yang sama seiring dengan pertumbuhan perdagangan dan industri pada masa puncak Imperium Islam, khususnya pada akhir periode Umayyah dan awal periode Abbasiyah.[15]
Catatan penting adalah penekanan sudut pandang ini bukan pada aspek perdagangan dan industri yang sebenarnya, bukan pula dengan totalitas sosial dan kegiatan ekonomi di kota-kota, tetapi hanya dengan gaya hidup para pelaku pasar yang semakin berkembang dan membudaya seiring dengan pertumbuhan tempat-tempat produksi pada pasar di di kota-kota tersebut. Adanya kemerosotan moral dan pelanggaran ajaran agama menjadi ciri umum kehidupan bagi para pelaku pasar yang “mendadak” kaya.
Karya Ikhwan al-Safa, al-Rasa’il Ikhwan al-Shafa, pada akhir abad ke-9 H merupakan bukti adanya pembentukan komunitas profesi dan para pekerja dalam kehidupan sosial, serta menunjukkan hubungan kelompok ilmuwan ini dengan aliran Syi’ah-Isma’iliyah.[16] Penulis lain, al-Dināwarī dari abad ke-10 H memberikan informasi adanya pembentukan sekitar 200 komunitas profesi.[17] Sedangkan pada dokumen Geniza Kairo tercatat sebanyak 265 himpunan profesi pada periode ini. Orang-orang yang bekerja dalam profesi ini cenderung memberikan kritik terhadap pemerintah dan kalangan agamawan ortodoks, sebuah trend yang muncul dan didorong akibat adanya pertentangan politik-keagamaan sebagai unsur-unsur radikal Syi’ah, Qarmaţian, dan Isma’iliyah, dan kemudian munculnya Bani Fatimiyah sebagai kompetitornya.[18]
Demikian peran sahib al-suq yang berubah menjadi muhtasib. Institusi hisbah ini memiliki kekuatan besar, tetapi pada bidang yang terbatas saja, yaitu berkaitan dengan tindak kejahatan kecil dalam kehidupan pasar. Namun demikian, posisi lembaga ini memiliki tanggung jawab besar dalam melakukan kontrol terhadap tingkat kejujuran para pelaku pasar, yang pada akhirnya dapat menciptakan keseimbangan pasar itu sendiri.

      2.      Karya-karya Hisbah dan Kontribusi Sarjana Muslim
Untuk menentukan tugas-tugas seorang inspektur pasar itu sendiri menjadi tugas yang rumit, dan hal itu memunculkan beberapa karya tentang hisbah selama seratus tahun atau lebih, yang menjadi perhatian para sejarawan sosial muslim Abad Pertengahan di Timur Tengah dan Maghrib. Para sarjana Muslim yang menulis karya ini biasanya memiliki jabatan khusus, seperti hakim agung dan muhtasib, sekaligus juga sebagai ahli fiqih. Dengan demikian, karya-karya tersebut ditulis berdasarkan fakta-fakta yang terjadi pada masanya, atau bahkan dialami secara langsung dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Sumber-sumber historis ini dapat ditemukan pada karya-karya mereka atau pada sumber sejarah yang standar, misalnya al-Mawardi (w. 450 H/1058 M), al-Qalqashandī (w. 821 H/1418 M), sejarawan al-Thabari (w. 310 H/923 M), Ibn al-Abbār (w. 658 H/1260 M), sejarawan awal Baghdad, Tayfur (w. 280 H/893 M),[19] Yahya bin 'Umar (w. 289 H/901 M).[20]
Karya lain tentang hisbah ditulis pula oleh ulama Zaidiyah Persia, Imam al-Nashir li al-Haqq al-Zaydi (w. 304 H/917 M),[21] Abu Thalib Yahya (w. 424 H/1033 M),[22] al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), Abu Sa'id al-Istakhrī. Karya al-Istakhri ini banyak dirujuk oleh al-Mawardi dalam karyanya, al-Ahkam al-Sulthaniyah, yang berisi bab tentang hisbah.[23], ketika ia menjadi hakim agung pada masa khalifah Abbasiyah, al-Qadir Billah (381-422 H/991-1031 M) dan al-Qa'im Biamrillah (422-467 H/1031-1075 M) mencurahkan seluruh energi mereka untuk mengusir rezim liberal Persia, Būyid, dan untuk mengokohkan rezim ortodoks Turki, Saljūq.
Tokoh penting lain adalah al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), seorang filosof-sufi yang mempertahankan ortodoksi keagamaan pada abad pertengahan Islam. Al-Ghazali merupakan pendukung setia Sultan Saljūq yang ortodoks dan diakui musuh Syi’ah. Dalam karyanya, Ihya’ 'Ulum al-Dīn, ditemukan beberapa ketentuan dan prosedur yang mirip dengan pemikiran al-Mawardi. Al-Ghazali menambahkan beberapa aspek moralitas dari tugas-tugas muhtasib.[24]
Karya lain tentang tugas-tugas muhtasib ditemukan pada kitab al-Himmah karya al-Qadhi al-Nu'man (w. 363/974)[25] dan Risdhat al-Mūjaza al-Kāfiyya karya al-Naysābūrī' (abad ke-4 H/10 M),[26] antara lain mengungkap fakta tentang adanya peran dari petugas hisbah, kemudian karya al-Jahiz (w. 255 H/869 M),[27] Ibn Quthaybah (w. 276 H/889 M),[28] Ibn al-Jawzi (w. 597 H/1200 M),[29] Ibn al-Ukhūwwah (w. 729 H/1329 M), al-Jarsīfī (1300 M) dari Spanyol menulis tentang hisbah, yang banyak mengutip gagasan al-Nawawi (w. 1278 M),[30] dan Ibn 'Abd al-Hadi (w.1503 M).[31]
Karya-karya lain yang tidak kalah penting ditulis oleh Qadhi al-Tanūkhī (w. 384 H/994 M) tentang anekdot tugas dari sahib al-suq di pasar,[32] Ibn al-Faradī (w. 403 H/1013 M), seorang komentator kontemporer dari pemikiran al-Mawardi, yang menulis tentang inspektur pasar di Spanyol,[33] dan al-Shayzarī (w. 589 H/1193 M) yang mengakui adanya asisten dari seorang muhtasib.[34]
Dengan demikian, hisbah sebagai sebuah institusi sangat penting dalam mengontrol dan mengawasi kegiatan masyarakat terutama di pasar. Bahkan, peran hisbah dalam melakukan kontrol terhadap kualitas barang yang diperjualbelikan,dan pengawasan terhadap para pekerja dengan melarang pekerja di bawah umur masih sangat relevan dengan kondisi sekarang ini

      3.      Peran Institusi Hisbah dalam Ekonomi
Dalam pandangan al-Mawardi, eksistensi negara yang dibangun atas dasar asas-asas dan politik pemerintah. Asas-asas negara meliputi agama, kekuatan negara, dan harta negara. Adapun politik negara (siyasah al-mulk) meliputi kebijakan pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat (‘imarah al-buldan), menciptakan keamanan bagi warga negara (hirasah al-ra’iyah), mengelola pasukan (tadbir al-jund), dan mengelola keuangan negara (taqdir al-amwal).[35]
Dalam konteks tersebut, pada ekonomi konvensional muncul polemik seputar peran negara dalam mekanisme pasar. Ekonomi pasar bagi sebagian kalangan dipercaya pula dapat membawa perekonomian secara lebih efesien. Ekonomi kapitalis (klasik)[36] menghendaki pasar bebas untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi, sehingga campur tangan pemerintah mengakibatkan distorsi pasar. Ekonomi sosialis menghendaki maksimasi peran negara untuk memastikan keadilan kepada rakyat.[37] Sedangkan ekonomi Islam menilai bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan, dan pasar dijamin kebebasannya dalam Islam.
Menurut Ibnu Taymiyah, negara bisa melakukan campur tangan dalam memelihara kebebasan individu untuk mencapai kepentingan yang lebih besar bagi rakyat. Prinsipnya adalah untuk mendapatkan manfaat sosial yang lebih besar dan untuk menghapuskan atau mengurangi kerugian yang ada. Ketika situasi tersebut dengan adanya realisasi dari satu jenis manfaat berarti hilangnya manfaat yang lain, maka manfaat yang lebih besar harus diperoleh pada preferensi yang lebih kecil. Sebaliknya, kerugian atau kemudaratan yang lebih besar harus dihindari.[38].
Dalam pandangan al-Ghazali, al-Mawardi, dan Ibnu Taymiyah, beberapa fungsi ekonomi negara dalam melakukan campur tangan terhadap hak-hak individu atas keuangan publik antara lain:[39] pengelolaan administrasi dana publik,[40] perencanaan ekonomi, penghapusan kemiskinan,[41] pengendalian atas ketidaksempurnaan pasar, peningkatan ketenagakerjaan,[42] dan kebijakan moneter.[43]
Menurut Ibnu Taymiyah, kontrol harga menjadi salah satu tanggung jawab pemerintah atas mekanisme pasar. Namun, pemerintah hanya mengendalikan harga sampai batas kondisi normal, karena para pelaku pasar memiliki kebebasan untuk menjual produk yang dihasilkannya.[44]
Meskipun demikian, ada beberapa kasus yang memungkinkan dilakukannya pengendalian harga atas pasar apabila: (1) adanya kebutuhan rakyat yang mendesak untuk komoditi; (2) adanya kasus monopoli; dan (3) adanya kasus kolusi antara pembeli.[45]
Peran pemerintah dalam mekanisme pasar perlu mendapatkan perhatian utama tanpa mengorbankan potensi manusia dalam mengembangkan aktivitas ekonomi. Salah satu peran pemerintah dalam mengatur mekanisme pasar terkait dengan penentuan harga adalah menetapkan lembaga pengawas pasar (market supervision) atau disebut ”h{isbah”. Keberadaan institusi h{isbah ini sebagai regulator atau pengawas dalam proses mekanisme pasar, terutama mengontrol harga dan para pelaku pasar.[46]
Pelaksana institusi hisbah yang dikenal dengan nama “muhtasib”, memiliki tugas antara lain mengevaluasi berat dan ukuran timbangan, memelihara perdagangan secara jujur, mengecek praktek-praktek bisnis, melakukan audit terhadap kontrak-kontrak ilegal, mengawasi pasar bebas, dan memelihara kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Secara tradisional, hisbah merepresentasikan suatu elemen utama bagi korporasi pemerintahan Islam dalam kehidupan masyarakat.[47]
Peran institusi ini menjadi signifikan sebagai aktivitas bisnis dan komersial dalam masyarakat Islam yang telah berkembang. Di samping itu, lembaga inipun merupakan lembaga yang memberikan jaminan bagi setiap Muslim, yakni memberikan suatu keutuhan, hingga ditentukan pada keberadaan atau tidak berfungsinya seorang muhtasib, sehingga lembaga ini menjamin perkembangan korporasi pemerintahan Islam.[48]
Institusi h{isbah telah mencapai keberhasilan dalam melakukan kontrol harga dan pematokan harga wajar (normal). Keberhasilan ini disebabkan efektifitas kerja tim lembaga hisbah yang commited terhadap misi dan tugas pengawasan di lapangan. Komitmen ini menjauhkan seluruh anggota tim untuk melakukan kolusi dan menerima risywah (suap).
Secara rinci, peran dan tugas institusi h{isbah dalam konteks regulasi pasar adalah:[49] pengawasan industri, memfasilitasi pasokan dan penyediaan kebutuhan masyarakat, pengawasan perdagangan, pengawasan penimbunan.

C.     Mekanisme Pasar dalam Ekonomi Konvensional Dan Ekonomi Islam
1. Mekanisme dan Struktur Pasar Konvensional
Mekanisme pasar merupakan cara bekerjanya pasar, berdasarkan pada sistem pasar yang ada. Sistem pasar yang berkembang sekarang ini adalah sistem pasar bebas, yaitu sistem pasar yang menggunakan prinsip laissez faire.[50] Hasil atau equilibrium dari mekanisme pasar adalah bergantung pada struktur pasar yang ada, atau, dengan kata lain, tergantung pada susunan atau bangunan dari pasar.
Dengan demikian mekanisme pasar adalah cara bekerjanya pertemuan antara pembeli dan penjual sesuatu barang. Hasil dari pada pertemuan tersebut adalah kemungkinan terjadinya kesepakatan tentang tingkat harga dan jumlah barang dalam transaksi. Melalui persaingan, para pelaku ekonomi memaksimalkan kepuasan serta keuntungan, dan dengan cara seperti itu kesejahteraan materiil akan tercapai. Apabila kesejahteraan material sudah tercapai maka dengan sendirinya kesejahteraan non material juga akan tercapai. Demikian harapan daripada model teori ekonomi konvensional.
Kegiatan pasar yang dikenal dengan perdagangan pada dekade terakhir ini terfokus pada persoalan perdagangan bebas atau “bisnis internasional”, yaitu bisnis yang kegiatan-kegiatannya melewati batas-batas negara.[51] Perdagangan bebas yang menjadi isu globalisasi tidak memperhatikan varian situasi ekonomi suatu negara, terutama negara di Dunia Ketiga yang ikut terimbas. Hal ini sebagaimana ditegaskan Albert Bergesen, disebabkan oleh sistem pasar bebas yang diberlakukan secara paksa sepenuhnya sebagai hukum baru dalam mengatur tata perekonomian internasional (global).[52] Konsekuensinya, setiap negara dituntut untuk mempersiapkan banyak hal, mulai kehandalan sumber daya manusia (SDM), ketersediaan infrastruktur ekonomi, natural resources, maupun pranata hukum untuk menjamin kepastian berbisnis.
Akibat lain dari mekanisme pasar pada bentuk perdagangan bebas atau pasar bebas (free market) berupa adanya upaya liberalisasi ekonomi dan privatisasi atau swastanisasi sebagai konsekuensi dari ekspansi modal atau kapital yang disebar oleh negara-negara maju ke seluruh dunia. Setiap negara akan mengalami perombakan struktur dan kebijakan nasional untuk diselaraskan dengan kepentingan global, serta pada saat yang bersamaan, terjadi liberalisasi ekonomi sesuai semangat globalisasi.[53]
Karena itu, inti dari mekanisme pasar bebas adalah; pertama, adanya market access, yaitu akses terhadap pasar dibuka seluas-luasnya sampai tidak adalagi pembatasan dan halangan setiap pelaku ekonomi untuk keluar masuk tapal batas negara anggota OPD (Organisasi Perdagangan Dunia) atau WTO (World Trade Organization); dan kedua, national treatment atau perlakuan nasional yang memberikan perlakuan secara adil kepada setiap pelaku ekonomi yang berkiprah di negara tuan rumah, sebagaimana halnya perlakuan yang diberikan kepada pelaku ekonomi nasional.[54]
Berbagai persoalan dapat muncul akibat perdagangan bebas karena kemungkinan untuk mewujudkan harapan tersebut adalah sangat sulit atau bahkan tidak mungkin terwujud. Umar Chapra[55] memberikan alasan bahwa ada beberapa distorsi dalam mengekspresikan prioritas di dalam pasar. Hal ini menyebabkan terjadinya bias dalam merealisasikan efisiensi dan keadilan. Munculnya distorsi dalam mengekspresikan prioritas dalam sistem pasar diakibatkan ketidaksukaan ekonomi konvensional pada penilaian normatif dan tekanannya yang berlebihan pada maksimalisasi kekayaan, memuaskan keinginan serta melayani kebutuhan pribadi jelas merupakan penyimpangan falsafah dasar dari sebagian besar agama. Agama-agama ini secara umum yakin bahwa kesejahteraan material, meski penting, tidak cukup bagi kesejahteraan manusia.

2. Pasar dalam Perspektif Kapitalisme dan Sosialisme
Sistem ekonomi kapitalis adalah sistem ekonomi yang didominasi oleh capital atau modal dengan profit motive (motif keuntungan). Dalam sistem ekonomi kapitalis juga dikenal adanya kebebasan dalam berekonomi, beserta instrumen bunga yang kental. Beberapa karakteristik dari ekonomi kapitalis adalah individual actions dengan tidak adanya perencanaan ekonomi yang tersentralisasi.[56]
Sementara sosialisme dimana tidak adanya kepemilikan pribadi, yang ada hanyalah kepemilikan publik, keberadaan industri serta faktor produksi sepenuhnya untuk kepentingan sosial serta adanya social service motive. Beberapa karakteristik dari ekonomi sosialis adalah central planning of the economy (ekonomi dengan perencanaan terpusat), berlakunya distribusi pendapatan secara merata dan aset–aset penting dimiliki oleh publik.[57] Marxisme adalah salah satu bentuk komunisme dimana konsumsi dan produksi diatur secara kolektif yang menekankan pada program sosial dan pendidikan, serta bersumber pada ilmu pengetahuan dan meniadakan Tuhan. Sehingga dalam praktiknya menghalalkan segala cara untuk kebahagiaan kolektif.[58]
Untuk itu peranan negara dalam ekonomi sama sekali harus diminimalisir, sebab kalau negara turun campur bermain dalam ekonomi hanya akan menyingkirkan sektor swasta sehingga akhirnya mengganggu equilibrium pasar. Maka dalam paradigma kapitalisme, mekanisme pasar diyakini akan menghasilkan suatu keputusan yang adil dan arif dari berbagai kepentingan yang bertemu di pasar. Para pendukung paradigma pasar bebas telah melakukan berbagai upaya akademis untuk meyakinkan bahwa pasar adalah sebuah sistem yang mandiri (self regulating).
Pasar dalam paradigma sosialis, harus dijaga agar tidak jatuh ke tangan pemilik modal (capitalist) yang serakah sehingga monopoli means of production dan melakukan ekspolitasi tenaga buruh lalu memanfaatkannya untuk mendapatkan prifit sebesar-besarnya. Karena itu equilibrium tidak akan pernah tercapai, sebaliknya ketidakadilan akan terjadi dalam perekonomian masyarakat. Negara harus berperan signifikan untuk mewujudkan equilibrium dan keadilan ekonomi di pasar.[59]

3. Kegagalan Pasar dan Intervensi Negara
Menurut Samuelson,[60] pemerintah telah memainkan peranan yang semakin meningkat dalam sistem ekonomi campuran modern. Hal ini tercermin dalam (1) pertumbuhan pengeluaran pemerintah; (2) pemerataan pendapatan oleh negara; dan (3) pengaturan langsung dari kehidupan ekonomi. Perubahan fungsi-fungsi pemerintah tercermin dalam kegiatan pemerintah meliputi: (1) pengawasan langsung; (2) konsumsi sosial dari barang publik; (3) stabilitas kebijakan keuangan negara dan moneter; (4) produksi pemerintah; dan (5) pengeluaran kesejahteraan.
Dalam mekanismenya, pasar mengalami kesulitan dalam menciptakan alokasi sumber-sumber ekonomi secara sempurna, sehingga mengalami kegagalan. Kegagalan pasar tersebut, seperti diungkapkan Murray N. Rothbard, biasanya disebabkan oleh adanya common goods atau barang bersama, unsur ketidaksempurnaan pasar, barang publik dan eksternalitas, pasar tidak lengkap (incomplete market), keterbatasan atau kegagalan informasi, unemployment atau pengangguran, dan adanya ketidakpastian (uncertainty).[61]

      4.      Pasar dalam Ekonomi Islam
Ekonomi Islam memandang bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan (iqtishad), tidak boleh ada sub-ordinat, sehingga salah satunya menjadi dominan dari yang lain.[62] Pasar dijamin kebebasannya dalam Islam. Pasar bebas menentukan cara-cara produksi dan harga, tidak boleh ada gangguan yang mengakibatkan rusaknya keseimbangan pasar.
Mekanisme pasar banyak dikaji dalam pemikiran sarjana Muslim klasik. Abu Yusuf menguraikan hukum supply and demand dalam perekonomian dengan teori “bila tersedia sedikit barang, maka harga akan mahal dan bila tersedia banyak barang, maka harga akan murah.[63] Ibnu Taymiyah menganalisis mekanisme pasar dengan teori harga dan kekuatan supply and demand cukup penting dalam memahami politik ekonomi negara.[64] Di dalam sebuah pasar bebas, harga dipengaruhi dan dipertimbangkan oleh kekuatan penawaran dan permintaan (supply and demand).
Ibnu Taymiyah menentang adanya intervensi pemerintah dengan peraturan yang berlebihan saat kekuatan pasar secara bebas bekerja untuk menentukan harga yang kompetitif. Dengan tetap memperhatikan pasar tidak sempurna, ia merekomendasikan bahwa bila penjual melakukan penimbunan dan menjual pada harga yang lebih tinggi dibandingkan harga modal, padahal orang membutuhkan barang itu, maka penjual diharuskan menjualnya pada tingkat harga ekuivalen.
Dalam pandangan al-Ghazali,[65] peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang harganya bergerak sesuai dengan kekuatan penawaran dan permintaan. Pasar merupakan bagian dari keteraturan alami. Pandangan lainnya tentang elastisitas permintaan, yaitu mengurangi margin keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan meningkatkan volume penjualan dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan.[66]
Pemikiran penting lainnya tentang mekanisme pasar dapat ditelusuri dari pandangan Ibnu Khaldun tentang “harga-harga di kota”. Menurutnya, jenis barang dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, barang kebutuhan pokok, kedua barang mewah. Bila suatu kota berkembang dan populasinya bertambah, maka pengadaan barang-barang kebutuhan pokok mendapat prioritas, sehingga penawaran meningkat dan akibatnya harga menjadi turun. Sedangkan untuk barang-barang mewah, permintaannya akan meningkat, sejalan dengan perkembangan kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga barang mewah menjadi naik. [67]

D.    Politik Ekonomi, Pasar Bebas, Dan Etika Bisnis Islam

1.      Politik Ekonomi Negara

Peran negara dalam Islam dilakukan dalam rangka melanjutkan misi kenabian,[68] yaitu pencapaian al-maqashid al-syari‘ah (tujuan-tujuan syari‘ah).[69] Negara sebagai agen Tuhan untuk merealisasikan al-maqashid al-syari‘ah. Sebagai contoh, pada negara Islam pengalokasian sumber-sumber daya yang tidak sesuai dengan tujuan syara’ tidak dibenarkan. Karena itu, penerimaan keadilan dan persamaan menjadi komponen esensial dalam kebijakan publik (public policy).
Negara[70] yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. dan Khulafa’ al-Rasyidin, berdasarkan prinsip-prinsip yang bersumber pada al-Qur’an dan sunnah yang memiliki esensi bahwa kedaulatan tertinggi milik Allah. Konsekuensinya, menurut al-Mawardi,[71] tujuan negara adalah melanjutkan misi kenabian dan mengatur kehidupan dunia (لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا).  
Ibn Taymiyah (w. 728 H)[72] menegaskan bahwa tujuan negara adalah agama karena Allah dan menegakkan kalimat Allah. Ibn Khaldun (w. 808 H)[73] menjelaskan hubungan antara tujuan negara untuk mengatur dunia (siyasah al-dunya) dan menegakkan kalimat Allah (kalimah Allah hiya al-‘ulya), karena mengatur dunia berdasarkan syari’at yang bertujuan agar mereka mencapai kebahagiaan akhirat (to their benefits in the hereafter).
Pada prinsipnya, sebagaimana diungkapkan al-Mawardi sebelumnya, Ibn Khaldun[74] menegaskan bahwa negara bertujuan menjaga agama dan mengatur dunia berdasarkan syari’at. Karena itu, bagi al-Mawardi,[75] institusi negara membutuhkan persyaratan syari‘ah dan bukan persyaratan akal, sehingga pengangkatan imam harus melalui konsensus (ijma’) umat Islam sebagai bentuk kewajiban agama.
Permasalahannya sistem perdagangan bebas di era global ini bisa menjadi suatu alternatif bagi kemajuan ekonomi dengan meningkatnya pertumbuhan dan pembangunan, atau sebaliknya, justru ia menjadi persoalan baru bagi negara-negara tertentu, khususnya negara berkembang yang terpuruk kondisi ekonominya. Di samping itu, sistem ini dapat berlaku atau tidak bagi semua dan untuk kemakmuran bersama. Intinya, selalu ada insentif bagi individu untuk berprilaku menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa hanya dipandu oleh pasar.
Dalam ekonomi Islam, negara memiliki hak untuk ikut campur (intervensi) dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu-individu, baik untuk mengawasi kegiatan ini maupun untuk mengatur atau melaksanakan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak mampu dilaksanakan oleh individu-individu. Keterlibatan negara dalam kegiatan ekonomi pada permulaan Islam sangat kurang, karena masih sederhananya kegiatan ekonomi yang ketika itu, selain itu disebabkan pula oleh daya kontrol spiritual dan kemantapan jiwa kaum muslimin pada masa-masa permulaan yang membuat mereka mematuhi secara langsung perintah-perintah syari’at dan sangat berhati-hati menjaga keselamatan mereka dari penipuan dan kesalahan. Semua ini mengurangi kesempatan negara untuk intervensi dalam kegiatan ekonomi.[76]   
Seiring dengan kemajuan zaman, kegiatan ekonomi pun mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Namun perkembangan yang ada cenderung menampakkan kompleksitas dan penyimpangan-penyimpangan etika dalam kegiatan ekonomi. Atas dasar itulah, maka Ibnu Taimiyah, memandang perlu keterlibatan (intervensi) negara dalam aktifitas ekonomi dalam rangka melindungi hak-hak masyarakat dari ancaman kezaliman para pelaku bisnis yang ada, dan untuk kepentingan manfaat yang lebih besar. Dalam kaitan ini, maka intervensi negara dalam kegiatan ekonomi bertujuan menghapuskan kemiskinan sebagai kewajiban negara. Bagi Ibnu Taymiyah, seseorang harus hidup sejahtera dan tidak tergantung pada orang lain, sehingga mereka bisa memenuhi sejumlah kewajibannya dan keharusan agamanya.[77]
Secara politik, negara memiliki kekuasaan untuk mengontrol harga dan menetapkan besarnya upah pekerja, demi kepentingan publik. Ibnu Taimiyah tidak menyukai pengawasan harga dilakukan dalam keadaan normal. Sebab pada prinsipnya penduduk bebas menjual barang-barang mereka pada tingkat harga yang mereka sukai. Melakukan penekanan atas masalah ini akan melahirkan ketidakadilan dan menimbulkan dampak negatif, di antaranya para pedagang akan menahan diri dari penjual barang pun atau menarik diri dari pasar yang ditekan untuk menjual dengan harga terendah, selanjutnya kualitas produk akan merosot yang akan berakibat munculnya pasar gelap.
Penetapan harga yang tidak adil akan mengakibatkan timbulnya kondisi yang bertentangan dengan yang diharapkan, membuat situasi pasar memburuk yang akan merugikan konsumen. Tetapi harga pasar yang terlalu tinggi karena unsur kezaliman, akan berakibat ketidaksempurnaan dalam mekanisme pasar. Usaha memproteksi konsumen tak mungkin dilakukan tanpa melalui penetapan harga, dan negaralah yang berkompeten untuk melakukannya. Namun, penetapan harga tak boleh dilakukan sewenang-wenang, harus ditetapkan melalui musyawarah. Harga ditetapkan dengan pertimbangan akan lebih bisa diterima oleh semua pihak dan akibat buruk dari penetapan harga itu harus dihindari.[78] Karena itu, Kontrol atas harga dan upah buruh, keduanya ditujukan untuk memelihara keadilan dan stabilitas pasar. [79]

2.      Pasar Bebas Islami
Dalam al-Qur’an dan hadits dapat ditemukan beberapa istilah yang menunjukkan makna “pasar bebas” atau “perdagangan” secara umum, seperti “al-bai’”, “al-tijarah” dan “isytara” dengan berbagai bentuk derivasinya. Istilah tersebut mengandung makna yang beragam. Dalam konteks pasar bebas, maka jual beli atau perdagangan yang berintikan adanya pertukaran barang atau jasa mengandung unsur kebebasan pada setiap transaksinya, namun tercatat secara administratif dengan baik. Dalam hal ini, kebebasan transaksi ataupun jenis barang yang dijadikan komoditi pada perdagangan bebas dilandasi oleh nilai-nilai etis-religius. Di samping itu, para pelaku bisnis tidak melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim, seperti mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian hartanya di jalan Allah, dan transaksi yang dilakukan tidak mengandung unsur ribawi.
Di samping itu, perdagangan bebas yang dilakukan selalu mengacu pada koridor keimanan, bukan dijual dengan kekafiran. Kebijakan yang diambil berkaitan dengan perdagangan bebas tidak merugikan kehidupan masyarakat dengan retorika yang menyesatkan manusia, seperti isu kemanusiaan, lingkungan, dan terorisme, namun kenyataannya untuk mencapai tujuan negatif yang terselubung dalam kebijakan tersebut.
Dalam fiqih mu’amalah, jual beli atau perdagangan merupakan pertukaran harta (benda) dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan) dengan tujuan kepemilikan. Kebebasan bertransaksi pada jenis barang dan cara yang dilakukan telah diatur dalam ajaran Islam. Perdagangan bebas yang Islami dilandasi oleh etika berbisnis yang diatur dalam al-Qur’an dan hadits, seperti dicontohkan dalam kiprah Nabi sebagai seorang saudagar yang sukses.
Ekonomi Islam tetap konsisten memotong segala tindakan dan rekayasa yang membuat harga naik-turun tidak alami lagi. Karena itu, Islam melarang ihtikar (penumpukkan barang, agar langka dan harga naik), mengharamkan talaqi rukban (memborong barang dengan harga di bawah standar sebelum sampai di pasar), tala’ub bi al-tsaman (mempermainkan harga), taghrir (menipu dalam jual-beli), riba, najs (calo, pura-pura menawar untuk menipu pembeli agar membayar dengan harga yang lebih tinggi), tashriyah (tidak memerah susu binatang agar dianggap selalu bersusu banyak), dan sebagainya. Jadi, segala tindakan negatif, baik oleh penjual maupun pembeli, yang akan menimbulkan stabilitas pasar menjadi terganggu dengan naik-turunnya harga yang tidak lagi alami, tidak diperkenankan dalam praktek ekonomi Islam.
Pasar bebas harus dapat dikendalikan agar terjamin kesetimbangan sosial. Kualitas kesetimbangan ini akan mengendalikan semua segi tindakan manusia – sebagai faktor terpenting atas perilaku ekonomi. Hal ini dapat dianalisis;  pertama, hubungan dasar antara konsumsi, produksi, dan distribusi akan berhenti pada suatu kesetimbangan tertentu, untuk menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi dalam genggaman segelintir orang (monopoli yang eksploitatif); kedua, keadaan perekonomian yang dipengaruhi pola perdagangan bebas harus konsisten dengan distribusi pendapatan dan kekayaan secara merata serta tidak semakin menyempit  (QS. 59:7).[80] Dalam hal ini, Islam melarang pula penimbunan kekayaan (QS. 4:37), sekaligus melarang konsumsi yang melampaui batas dan memuji kebajikan infak (QS. 2:195).
Kebijakan pasar bebas lebih rasional dan dapat dipilih suatu negara daripada kebijakan perdagangan proteksi yang dapat merintangi alokasi sumber daya yang paling efisien yang ada di dunia. Hal ini dapat dipahami, sebab setiap negara akan menghasilkan barang yang diproduksi berdasarkan keuntungan alami dan keuntungan yang diperoleh, kemudian mereka menghasilkan barang ini lebih banyak  daripada yang diperlukan untuk kebutuhannya sendiri, dengan saling mengadakan pertukaran surplus barang yang kurang cocok dihasilkan dengan negara lain atau barang yang tidak dapat diproduksinya sama sekali.
 Perkembangan ekonomi global memiliki implikasi terhadap kesejahteraan negara. Batas dan kekuatan negara-bangsa semakin memudar, memencar kepada lokalitas, organisasi-organisasi independen, masyarakat madani, badan-badan supra-nasional (seperti NAFTA atau Uni Eropa), dan perusahaan-perusahaan multinasional. Mishra (2000) dalam bukunya Globalization and Welfare State menyatakan bahwa globalisasi telah membatasi kapasitas negara-bangsa dalam melakukan perlindungan sosial. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) menjual kebijakan ekonomi dan sosial kepada negara-negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur agar memperkecil pengeluaran pemerintah, memberikan pelayanan sosial yang selektif dan terbatas, serta menyerahkan jaminan sosial kepada pihak swasta.
Pembangunan ekonomi sangat penting bagi kesejahteraan. Secara global dan khususnya di negara-negara industri maju, pertumbuhan ekonomi telah memperkuat integrasi dan solidaritas sosial, serta memperluas kemampuan dan akses orang terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan perlindungan sosial. Faktanya, dalam 30-40 tahun terakhir telah terjadi peningkatan standar hidup manusia secara spektakuler: usia harapan hidup semakin panjang, kematian ibu dan bayi semakin menurun, kemampuan membaca dan angka partisipasi sekolah juga semakin membaik. Namun demikian, di banyak negara berkembang, globalisasi dan ekonomi pasar bebas telah memperlebar kesenjangan, menimbulkan kerusakan lingkungan, menggerus budaya dan bahasa lokal, serta memperparah kemiskinan.[81]
Kebijakan privatisasi, pasar bebas dan ‘penyesuaian struktural’ (structural adjustment) yang ditekankan lembaga-lembaga internasional telah mendorong negara-negara berkembang ke dalam situasi dimana populasi miskin mereka hidup tanpa perlindungan. Meskipun pertumbuhan ekonomi penting, tetapi ia tidak secara otomatis melindungi rakyat dari berbagai resiko yang mengancamnya. Oleh karena itu, beberapa negara berkembang mulai menerapkan kebijakan sosial yang menyangkut pengorganisasian skema-skema jaminan sosial, meskipun masih terbatas dan dikaitkan dengan status dan kategori pekerja di sektor formal. Di beberapa negara, jaminan sosial masih menjangkau sedikit orang. Tetapi, beberapa negara lainnya tengah menunjukkan perkembangan yang menggembirakan.
Karena demikian, pembangunan ekonomi perlu dilandasi dengan nilai-nilai moral, terutama aspek perdagangan yang menjadi sumber devisa negara. Perdagangan, dalam konteks syari’ah, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia dalam bermu’amalah. Dalam arti, hubungan manusia dengan manusia yang lain memiliki ruang yang bebas, namun  hubungan ini memiliki nilai transenden sebagai bentuk kegiatan ekonomi yang kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Allah. Jadi, kebebasan manusia, realitas ekonomi, dan akuntabilitas kepada Allah menjadi kerangka kerja bagi para pelaku bisnis, sehingga perdagangan yang dilakukan tidak dapat dilepaskan dari bagaimana niat – amal (aksi) - tujuan perdagangan.  Realitas inilah yang mendasari perdagangan bebas harus dikonsepsikan dari epistemologi tauhidi – dalam arti kegiatan perdagangan berkaitan erat dengan konsep ketuhanan, yaitu Allah sebagai Realitas Absolut, yang mencakup prinsip-prinsip:[82]tauhid (QS. 41:53, 12:40,6:162), rububiyah, khilafah (QS. 2:30, 35:39), tazkiyah, dan akuntabilitas (QS. 4:85, 10:108).
Dalam era pasar bebas, kegiatan ekonomi yang dilakukan bisa saja tidak memperhatikan masalah etika yang dapat mengakibatkan sesama pelaku ekonomi akan bertabrakan kepentingannya, sehingga kondisi ini bisa jadi menciptakan kekuatan yang dapat menghancurkan pelaku ekonomi lain. Karena itu, etika bisnis Islam menjadi kerangka acuan sebagai bentuk moralitas pelaku ekonomi. Etika bisnis ini dapat mencegah terjadinya distorsi pasar, sehingga berbagai bentuk larangan praktek ekonomi memberikan mashlahah bagi kehidupan manusia secara utuh. Dalam ekonomi Islam, praktek perdagangan yang dilarang antara lain penimbunan barang (ihtikar), penetapan harga (tas’ir), riba, tadlis, jual beli gharar, tindakan melambungkan harga.

E.     Penutup
Institusi hisbah merupakan lembaga pengawas pasar yang mengalami transformasi menjadi institusi keagamaan yang merepresentasikan suatu peran sosial dan ekonomi dalam mengantisipasi perubahan gaya hidup para pelaku pasar seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan kota-kota Islam yang berdampak pada kemerosotan moral masyarakat. Fenomena ini justru memunculkan beberapa karya tentang hisbah selama seratus tahun atau lebih, yang menjadi perhatian para sejarawan sosial muslim Abad Pertengahan di Timur Tengah dan Maghrib.
Mekanisme pasar merupakan cara bekerjanya pasar berdasarkan pada sistem pasar yang ada untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang bersifat material. Karena itu, politik ekonomi Islam memiliki pandangan bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan. Pemerintah mempunyai peran yang sama dengan pasar, yaitu mengatur dan mengawasi aktivitas ekonomi, memastikan kompetisi di pasar berlangsung dengan sempurna, serta menjamin informasi yang merata dan keadilan ekonomi.
Dalam perspektif global, globalisasi dan pasar bebas menjadi hal penting yang diasumsikan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga moralitas perilaku pasar yang diimplementasikan melalui etika bisnis menjadi aspek yang dominan dalam mewujudkan keadilan pasar. Dalam hal ini,  epistemologi tauhidi memberikan landasan filosofisnya berupa prinsip tauhid, rububiyah, khilafah, tazkiyah, dan akuntabilitas, yang dapat membentuk moralitas perilaku pasar berupa bertindak dengan jujur dan benar, bertindak sederhana dalam hidup, tidak bertindak curang dan menipu dalam bisnis, sekaligus pula menghindari diri dari tindakan ihtikar, tas’ir, riba, tadlis, jual beli gharar, dan tindakan melambungkan harga.
Eksistensi lembaga hisbah ini dapat diimplementasikan dalam bentuk lembaga-lembaga pemerintah di bidang ekonomi dan politik ataupun lembaga ekonomi dunia yang berperan menjamin terciptanya keadilan pasar dengan mengawasi para pelaku pasar dari segala tindak kejahatan ekonomi baik dalam skala nasional maupun internasional. Kasus-kasus pencucian uang, perdagangan gelap, traficking, dan sebagainya menjadi bukti pentingnya keberadaan lembaga hisbah atau apapun namanya di era globalisasi ekonomi dan pasar bebas. 

 DAFTAR PUSTAKA
 Abu Yusuf. Kitab al-Kharaj. Beirut: Dar al-Ma’arif, 1979.
Adam Mez. Renaissance of Islam, Eng. trans. of Khuda Bakhsh.. Patna: t.p., 1937.
Adam, Rainer, dkk. Persaingan dan Ekonomi Pasar di Indonesia. Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung-Indonesia, 2006.
Ahmad,  Khurshid (ed.). Studies in Islamic Economics. Jeddah: King Abdul Aziz University, 1980.
Ahmad, Mustaq. Business Ethics in Islam. Pakistan: International Institute of Islamic Thought, 2001.
Ahmed, Ziauddin, etc. Fiscal Policy and Resource Allocation in Islam. Jeddah: King Abdul Aziz University & Islamabad: Institute of Policy Studies, 1996.
Akram Khan, Muhammad, ed. Economic Teachings of Prophet Muhammad (pbuh): A Select Anthology of Hadith Literature on Economics. Karachi: Da>r al-Isha>t, t.t.
Al-Afghanī, Sa’id. Aswaq al-‘Arab. Damascus: t.p., 1937.
Al-Assal, A. Muhammad.dan Fathi Abd. Karim. Hukum  Ekonomi Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Al-Darimy. Sunan al-Darimiy. Beirut: Dar al-Fikr, 1998.
Al-Ghazali. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Fikr, 1998.
Ali Nashif, Manshur. al-Taj al-Jami’ li al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, Penerjemah: B. Abu Bakar, Mahkota Pokok-pokok Hadits Rasulullah Saw. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1993.
Al-Jahiz, Kitab al-Qiyan. The Life and Works of Jahiz (Eng. trans. D.M. Hawke).
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali. Adab al-Dunya wa-al-Din. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali. al-Ahkam al-Sulthaniyah wa-Wilayat al-Diniyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali. Tashil al-Nadzar wa-Ta’jil al-Dzafr fi Akhlaq al-Malik. Beirut: Dar al-Nashr/Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1981.
Al-Naysabūrī, Da‘ī Ahmad. Risalat al-Mūjazat al-Kafiyah fi Adab al-Du‘at, pada Klemm. Die Mission des Fatimidischen Agenten al-Mu’ayyad. Frankfurt: t.p., 1989.
Al-Qadhī al-Nu‘man. Kitab al-Himma fī Adab Atba‘ al-A’imma, ed. M.K. Husayn. Cairo:t.p.,t.t.
Al-Qazwini. Sunan  Ibnu Majah. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Al-Rayyis, Dia’u al-Dina. al-Kharaj and the Financial Institutions of the Islamic Empire. Cairo: the Anglo Egyptian Library, 1961.
Al-Syathibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah. Cairo: al-Maktabah al-Tijaniyah al-Kubra, 1975.
Al-Syaybani Ibn al-Dayba‛, Abd al-Rahman bin Ali. Kitab Bughyah al-Arbah fi Ma‛rifat Ahkam al-Hisbah. Makkah: Markaz Ihya' al-Turath al-Islami, Umm al-Qura University, 2001.
Al-Syaiyzari, Abd al-Rahman bin Nashr. Nihayat al-Rutbah fi Thalab al-Hisbah. Kairo: Mathba’ah li Jannat al-Ta’lif, 1936.
Al-Syarbini. al-Iqna’. Mesir: Musthafa al-Bab al-Halbi, 1975.
Al-Thabari, Abu Ja’far. Tarikh al-Thabari. Beirut: Dar al-Fikr al-Arabi, 1987.
Al-Tanūkhī, Qadhi. Nishwar al-Muhadarah. London: t.p., 1921.
Al-Zaydi, al-Nashir li al-Haqq. Kitab al-Ihtisab, R.B. Sergeant,“A Zaydī Manual of Hisba of the Third Century (H.)”,  Rivista degli Studi Orientali, 28 (1953).
Amedroz, H.F. “The Hisba Jurisdiction in the Ahkam al-Sulthaniyah of al­-Mawardī,” Journal of the Royal Asiatic Society (1916).
Azmi, Sabahuddin. Islamic Economics: Public Finance in Early Islamic Thought . New Delhi: Goodword Books, 2002.
Boadway, Robin W. dan Neil Bruce. Welfare Economics. Oxford: Basil Blackwell, 1984.
Cook, Michael. Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought. Cambridge : Cambridge University Press, 2000.
Deliarnov. Perkembangan Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Prada, 2005.
Essid, Yassine. A Critique of The Origins of Islamic Economic Thought. Leiden: E.J. Brill, 1995.
Fahd, T. “Les Corps de Métiers au IV/Xe Siécle a Bagdad”, Journal of the Economic and Social History of the Orient, VIII, pt. II (Nov. 1965).
Fradkin, Hillel, et.al. (eds.). Current Trends in Islamist Ideology. Hudson Institute: Center on Islam, Democracy, and the Future of the Modern World, 2008.
Frank, Robert. Microeconomics and Behavior. New York: McGraw Hill, 1994.
Gaudefroy-Demombynes, Maurice. Muslim Institutions. London: University of  London, 1950.
Goitein, S.D. Studies in Islamic History and Institutions. Leiden: University of Leiden, 1968.
Gottlieb, M. A Theory of Economic Systems. New York NY: Academic Press. Inc., 1984.
Green, Marshal Green. The Economic Theory. Terj. Ariswanto. Buku Pintar Teori Ekonomi. Jakarta: Aribu Matra Mandiri, 1997.
Hamdani, Ikhwan. Sistem Pasar . Jakarta: Nurinsani, 2003.
Hodgson, Marshall and Burke, Edmund. Rethinking World History: Essays on Europe, Islam and World History. Cambridge: Cambridge University Press, 1993.
Hodgson, Marshall G. S. The Venture of Islam. Chicago: The University of Chicago Press, 1974.
Holland, Muhtar. Public Duties in Islam: The Institution of the H{isbah. Leicester, The Islamic Foundation, 1982.
Hourani, A.H. dan S.M. Stern (eds.). The Islamic City. Oxford: Oxford University, 1970.
Ibn al-Dayba, Abd al-Rahman bin Ali al-Shaybani. Kitab Bughyah al-Arbah fi Ma‛rifat Ahkam al-Hisbah. Makkah: Markaz Ihya' al-Turath al-Islami, Umm al-Qura University, 2001.
Ibn al-Mubarrad, Ibn ‘Abd al-Hadī. Kitab al-Hisba., Habīb Zayya, eds. al-Khazanat al-Sharqiyya. Beirut: Dar al-Fikr, 1937.
Ibn al-Ukhuwwah. Ma‘alim al-Qurba fī Ahkam al­-Hisbah. London: Gibb Memorial Series., 1938.
Ibn Athir. al-Kamil fi al-Tarikh. Beirut: Dar al-Shadr dan Dar, 1966.
Ibn Jawzi. al-Muntadzam fi Tarikh al-Muluk wa-al-Umam. Hyderabad: Mat{ba’ah Da’irat al-Ma’arif al-‘Uthmaniyah, 1359/1941.
Ibn Khaldun. al-Muqaddimah Ibn Khaldun. Cairo: Dar Ibn al-Haitham, 2005/1426.
Ibn Khilikan. Wafayat al-A’yan wa-Anba’ Abna’ al-Zaman. Cairo: Maktabah al-Nahdah, 1949.
Ibn Taymiyah. al-Hisbah fi al-Islam. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.
Ibn Taymiyah. al-Siyasah al-Syar’iyah fi Ishlah al-Ra’iy wa-al-Ra’iyah. Saudi Arabia: Dar ‘Alam al-Fawa’id, t.t.
Ichimura, Shinichi, et. Al. (eds.). Transition from Socialist to Market Economies: Comparison of European and Asian Experience. New York; Palgrave Macmillan, 2009.
Ikhwan al-Shafa. Rasa’il Ikhwan al-Shafa. Beirut: Dar al-Fikr, 1957.
Iqbal, Munawar dan Ausaf Ahmad (ed.). Islamic Finance and Economic Development. New York: Palgrave MacMillan, 2005.
Islahi, Abdul Azim. Contributions of Muslim Scholars to the History of Economic Thought and Analysis. Jeddah: Scientific Publishing Centre,  KAAU,  2005.
Islahi, Abdul Azim. Economic Concepts of Ibnu Taimiyah. United Kingdom: The Islamic Foundation, 1996.
Islahi, Abdul Azim. Konsep Ekonomi Ibnu Taymiyah. Terj.Anshari Thayyib. Surabaya: Bina Ilmu, 1997.
Izzi Dien, M. The Theory and the Practice of Market Law in Medieval Islam: A Study of Kitab Nisab al- Ihtisab of Umar b. Muhammad al- Sunami. London, 1997.
Kahf, Monzer.The Early Islamic Public Revenue System" (Lessons and Implications) . Jeddah: IRTI, 1987.
Karim, Adiwarman. Kajian Ekonomi Islam Kontemporer. Jakarta: TIII, 2003.
Lapidus, Ira M. Muslim Cities in the Later Middle Ages. Berkeley, 1967.
Latham, J.D.“Observations on the text and translation of al-Jarsīfī’s treatise on ‘Hisba”.” Journal of Semitic Studies, 5, 1960.
Lewis, Bernard.“The Islamic Guilds,” Economic History Review. London, VIII (1937).
Mahmud Ra’ana, Irfan. Economic System Under Umar The Great. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1991.
Mamour. Polemics on the Origin of the Fathimī Caliphs. London: University of London, 1934).
Mannan, M.A. Islamic Economics: Theory and Practice. Pakistan: Shah Muhammad Ashraf Publishers, Lahore, 1991.
Margolis, J. & H. Guitton (eds.). Public Economics. New York: St. Martin Press, 1969.
Martin, Isaac William, et.al. (eds.). The New Fiscal Sociology: Taxation in Comparative and Historical Perspective. New York: Cambridge University Press, 2009.
Mishra, Ramesh. Globalization and the Welfare State. London: McMillan, 2000.
Mubyarto. Membangun Sistem Ekonomi. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2000.
Musgrave, Richard A. & Peggy B. Musgrave. Public Finance in Theory and Practice. Singapore: McGraw Hill, 1987.
Mushtafa Musharrifa, Atiyya, “Al-Muhtasib fī Ayyam al-Dawla al-Fathimiyya,” Majallat al­Azhar, 1948.
Naqvi, Haider. Ethics and Economics: an Islamic Synthesis. London: The Islamic Foundation, 1981.
Qureshi, Anwar Iqbal. Fiscal System of Islam. Lahore: Institute of Islamic Culture, 1978.
Rahman, Afzalur. Economic Doctrines of Islam.  Terj. Suroyo Nastangin, Doktrin Ekonomi Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1996.
Rasul, Ali Abdur. al-Mabadi al-Iqtishadiyah fi al-Islam. Kairo, Dar al-Fikr al-‘Araby, t.t.
Roncaglia, Alessandro. The Wealth of Ideas: a History of Economic Thought. New York: Cambridge University Press, 2006.
Rostows, W. The Stages of Economic Growth, a Non-Communist Manifesto. Cambridge: Cambridge University Press, 1967.
Salanie, Bernard. Microeconomics of Market Failure. Cambridge MA: MIT Press, 2000.
Schumpeter, J.A. Capitalism, Socialism amd Democracy. New York: Harper & Row, 1950.
Screpanti, Ernesto and Stefano Zamagni. an Outline of the History of Economic Thought. New York: Oxford University Press, 2005.
Shackle, G.L.S. Epistemics and Economics. Cambridge, Eng: Cambridge University Press, 1972.
Shaikh Ahmad, Mahmud. Economics of Islam: A Comparative Study. Pakistan:Shah Muhammad Ashraf Publishers, Lahore, 1995.
Siddiqie, S.A. Public Finance in Islam. Lahore: Sh. Muh. Ashraf, 1948.
Siddiqui, M.N. “Monetary Policy – A Review.” International Centre for Research in Islamic Economics. Jeddah: Kind Abdul Aziz University Press, 1982.
Siddiqui, M.N. Role of the State in the Economy:-An Islamic Perspective. The Islamic Foundation, UK., 1996.
Siddiqui, M.N. The Economic Entreprise in Islam. Lahore: Islamic Publication, ltd, 1998.
Small, Albion W. Adam Smith and Modern Sociology: a Study in the Methodology of the Social Science. Kitchener-Batoche Books, 2001.
Smith, Adam. An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations. (New Rochelle, N.Y : Arlington House, 1966.
Spicker, Paul. Poverty and the Welfare State: Dispelling the Myths. London: Catalyst, 2002.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga . Jakarta: Erlangga, 2003.
Umar Chapra, M. The Future of Economics: An Islamic Perspective. Leicester: The Islamic Foundation, 2000.
Wallerstein, I. The Capitalist World-Economy. New York: Cambridge University Press, 1979.
Warde, Ibrahim. Islamic Finance in the Global Economy. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2000.
Wickens, G.M. “Al-Jarsīfī on the Hisba.” Islamic Quarterly 3, 1956.
Winer, S. and H. Shibata (eds.), Political Economy and Public Finance: The Role of Political Economy in the Theory and Practice of Public Economic. Cheltenham U.K.: Edward Elgar Publishers, 2002.
Woodhouse, Mark B. A Preface to Philosoph. California: Wordworth Publishing  Company, 1984.
Yaqut al-Hamawi. Kitab Irsyad al-Arib ila Ma’rifah al-Adib. Cairo: Mat{ba’ah Hindia, 1926.
Yustika, Ahmad Erani. Ekonomi Kelembagaan: Defenisi, Teori dan Strategi. Jawa Timur: Bayu Media Publishing, 2006.
Yusuf, S.M.  Economic Justice in Islam. Lahore, Muhammad Asyraf, 1971.
Zastrow, Charles H. Introduction to Social Work and Social Welfare. Pacific Grove: Brooks/Cole, 2000.
Ziadeh, Nicola. al-Hisbah wa al-Muhtasib fi al-Islam. Beirut: Catholic Press, 1963.


[1] N. Gregory Mankiw, Pengantar Ekonomi Makro (Jakarta: Salemba Empat, 2006), 11.
[2] Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 40.
[3] Baca Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations (New Rochelle,, N.Y : Arlington House, 1966).
[4] Buku Karl Marx yang terkenal adalah Das Capital terbit tahun 1867 dan Manifesto Comunis terbit tahun 1848.
[5] Nicola Ziadeh, al-Hisbah wa al-Muhtasib fi al-Islam (Beirut: Catholic Press, 1963), 32.
[6] A.Islahi, Konsep Ekonomi Ibnu Taymiyah, terj.Anshari Thayyib, (Surabaya: Bina Ilmu, 1997), 104-108.
[7] Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi (Yogyakarta: BPFE-, 2000), 100.
[8] Adiwarman Karim, Kajian  Ekonomi Islam Kontemporer (Jakarta: TIII, 2003), 76. Baca pula Abdul Azim Islahi, Contributions of Muslim Scholars to the History of Economic Thought and Analysis (Jeddah: Scientific Publishing Centre, KAAU, 2005).
[9] Michael Cook, Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought (Cambridge University Press, 2000), 34-44.
[10] Lebih lanjut baca sejarah pasar di Arab pada Sa‘id al-Afghanī, Aswaq al-‘Arab (Damascus: t.p., 1937), 21-45.
[11] S.D. Goitein, Studies in Islamic History and Institutions (Leiden: University of Leiden, 1968), Chapter XI, “The Rise of the Middle Eastern Bourgeoisie in Early Islamic Times”, 217-241.
[12] Sa‘īd al-Afghanī, Aswaq al-‘Arab , 46-59. Baca pula Hodgson, Marshall and Burke, Edmund (1993) Rethinking World History: Essays on Europe, Islam and World History (Cambridge: Cambridge University Press, 1993), 167-190.
[13] S.D. Goitein, Studies in Islamic History and Institutions, 217-241.
[14] Adam Mez: Renaissance of Islam, Eng. trans. of Khuda Bakhsh, (Patna: t.p., 1937), 353-408. Baca pula Abdul Azim Islahi, Contributions of Muslim Scholars to the History of Economic Thought and Analysis (Jeddah, Scientific Publishing Centre, KAAU, 2005).
[15] Informasi tentangperkembangan kota-kota pada masa kemajuan Islam dapat dibaca sumber-sumber sejarah yang standar, misalnya Ibn Athir, al-Kamil fi al-Tarikh (Beirut: Dar al-Shadr dan Dar Beirut, 1966), Ibn Khilikan, Wafayat al-A’yan wa-Anba’ Abna’ al-Zaman (Cairo: Maktabah al-Nahdhah, 1949), Ibn Jawzi, al-Muntadzam fi Tarikh al-Muluk wa-al-Umam (Hyderabad: Mathba’ah Da’irat al-Ma’arif al-‘Uthmaniyah, 1359/1941), dan Yaqut al-Hamawi, Kitab Irshad al-Arib ila Ma’rifah al-Adib (Cairo: Mathba’ah Hindia, 1926).
[16] Ikhwan al-Shafa, Rasa’il Ikhwan al-Shafa (Beirut: Dar al-Fikr, 1957), vol. I, 258-295.
[17] Abu Sa‘īd al-Dinawarī, Al-Qadirī fi’l-Ta‘bīr (c. 397/1006). Baca pula T. Fahd, “Les Corps de Métiers au IV/Xe Siécle a Bagdad”, Journal of the Economic and Social History of the Orient, VIII, pt. II (Nov. 1965), 186-212.
[18] Bernard Lewis, “The Islamic Guilds,” Economic History Review, London, VIII (1937), 20-37, dan Origins of Isma‘īlism (Cambridge, U.K., 1960), (Chapter IV: “The Social Significance of Isma‘īlism”), 90-100 .
[19] Emile Tyan, Histoire de l’organisation judicaire en pays d’Islam (Leiden: University of Leiden, 1960); Vol. II, chapter 3 pada bagian “police” dan chapter 4 pada bagian “hisba”. Karya Tyan ini diringkas dengan baik oleh Maurice Gaudefroy-Demombynes, Muslim Institutions (London: University of  London, 1950), Chapter 10 (Justice), 148-158.
                [20] Yahya bin 'Umar, Ahkam al-sūq, (Madrid: t.p., 1957), ed. Mahmūd ‘Alī Makkī, Revista del Instituto de estudios Islamicos en Madrid, 59-151.
                [21] al-Nashir li al-Haqq al-Zaydi, Kitab al-Ihtisab, pada R.B. Sergeant, “A Zaydī Manual of Hisba of the Third Century (H.)”,  Rivista degli Studi Orientali, 28 (1953), 1-34.
[22] Nicola Ziadeh, al-Hisbah wa-al-Muhtasib fi al-Islam, 106-115. H.F. Amedroz, “The Hisba Jurisdiction in the Ahkam al-Sulthaniyah of al­-Mawardī,” Journal of the Royal Asiatic Society (1916), 77-101, 287-314.
[23] Nicola Ziadeh, al-Hisbah wa-al-Muhtasib fi al-Islam, 106-115.
[24] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din  (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), vol. II, 285-287.
[25] Al-Qadhī al-Nu‘man, Kitab al-Himma fī Adab Atba‘ al-A’imma, ed. M.K. Husayn, (Cairo:t.p.,t.t.), 132.
[26] Da‘ī Ahmad al-Naysabūrī, Risalat al-Mūjazat al-Kafiyah fi adab al-Du‘at, pada Klemm, Die Mission des Fatimidischen Agenten al-Mu’ayyad (Frankfurt: t.p., 1989).
[27] Al-Jahiz, Kitab al-Qiyan (ed. Finkel in Three Essays, 53-75). Lihat pula Cf. Pellat, The Life and Works of Jahiz (Eng. trans. D.M. Hawke), 259- 268 dan 271.
[28] Lihat Essid, Y., A Critique of the Origins of Islamic Economic Thoughts (Leiden, 1995), 176-180.
[29] Ibn al-Jawzī, Talbīs Iblīs (Cairo: Dar al-Maktabah, 1928), 111-116 dan 386-392.
[30] Tulisan dari al-Jarsīfī dapat dibaca G.M. Wickens, “Al-Jarsīfī on the Hisba,” Islamic Quarterly 3 (1956), 176-187. Lihat pula J.D. Latham, “Observations on the text and translation of al-Jarsīfī’s treatise on ‘Hisba”, Journal of Semitic Studies, 5 (1960), Manchester, 124-143.
[31] Ibn ‘Abd al-Hadī, Ibn al-Mubarrad, Kitab al-Hisba, pada Habīb Zayya, al-Khazanat al-Sharqiyya (Beirut: Dar al-Fikr, 1937), II, 112.
[32] Qadhi al-Tanūkhī, Nishwar al-Muhadarah (London: t.p., 1921), 158-164. Lihat juga penafsiran dalam Bahasa Inggris oleh Margoliouth, “The Table-talk of a Mesopotamian Judge,” Islamic Culture, III (Oct. 1929), 487-522, VI (Jan. 1932), 47-66
[33] Baca M. Izzi Dien, The Theory and the Practice of Market Law in Medieval Islam: A Study of Kitab Nisab al- Ihtisab of Umar b. Muhammad al- Sunami (London, 1997), 167-197.
[34] Nicola Ziadeh, al-Hisbah wa-al-Muhtasib fi al-Islam, 120-124.
[35] Al-Mawardi, Tashil al-Nadzar wa-Ta’jil al-Zafr fi Akhlaq al-Malik (Beirut: Dar al-Nashr/Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1981), 80.
[36] Tokoh pendiri ekonomi kapitalis adalah Adam Smith (1723-1790) dengan bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations (New Rochelle, N.Y : Arlington House, 1966).
[37] Shinichi Ichimura, et. al (eds.), Transition from Socialist to Market Economies: Comparison of European and Asian Experience (New York; Palgrave Macmillan, 2009), 145-227.
[38] Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibnu Taimiyah, 180-181.
[39] Lihat M. Nejatullah Siddiqi, Role of the State in the Economy:-An Islamic Perspective (The Islamic Foundation, UK.), 1996.
[40]  M. Nejatullah Siddiqi, Role of the State in. the Economy, 36-37.
[41] Lihat S.M.Yusuf,  Economic Justice in Islam (Lahore, Muhammad Asyraf, 1971), 69.
[42] Irfan Mahmud Ra’ana, Economic System Under Umar The Great (Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1991).
[43] Lihat Abdul Azim Islahi, Contributions of Muslim Scholars to the History of Economic Thought and Analysis (Jeddah:Scientific Publishing Centre, KAAU, 2005). Lihat pula M.N. Siddiqui, Monetary Policy – A Review.” International Centre for Research in Islamic Economics (Jeddah: Kind Abdul Aziz University Press, 1982).
[44] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam (Cairo: Dar al-Sha‘b, 1976). English translation by Holland, Muhtar Public Duties in Islam: The Institution of the H{isbah, Leicester, The Islamic Foundation, 1982), 16.
[45] M. Holland, Public Duties in Islam, 15-19. Lihat pula M. Nejatullah Siddiqi, Role of the State in the Economy, 45-49 dan Yassine Essid, A Critique of The Origins of Islamic Economic Thought (Leiden: E.J. Brill, 1995).
[46] Lihat Ibrahim Warde, Islamic Finance in the Global Economy (Edinburgh: Edinburgh University Press, 2000). Baca pula M. Nejatullah Siddiqi, Role of the State in the Economy, 50-52.
[47] Nicola Ziadeh, al-Hisbah wa al-Muhtasib fi al-Islam (Beirut: Catholic Press, 1963). Lihat pula Muhammad Akram Khan, “al-Hisba and the Islamic Economy”. In Public Duties in Islam (Leicester: The Islamic Foundation, 1982).
[48] Abd al-Rahman bin Ali al-Shaybani Ibn al-Dayba‛, Kitab Bughyah al-Arbah fi Ma‛rifat Ahkam al-Hisbah (Makkah: Markaz Ihya' al-Turath al-Islami, Umm al-Qura University, 2001). Baca pula M. Nejatullah Siddiqi, Role of the State in. the Economy, 67.
[49]Abd al-Rahman bin Ali al-Shaybani Ibn al-Dayba‛, Kitab Bughyah al-Arbah fi Ma‛rifat Ahkam al-Hisbah (Makkah: Markaz Ihya' al-Turath al-Islami, Umm al-Qura University, 2001), 71. Bandingkan dengan M. Nejatullah Siddiqi, Role of the State in. the Economy, 65.
[50] Lihat Rainer Adam, dkk., Persaingan dan Ekonomi Pasar di Indonesia (Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung-Indonesia, 2006), 53-76, dan Michael P. Todaro dan Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga (Jakarta: Erlangga, 2003), 130-156.
[51] Munawar Iqbal dan Ausaf Ahmad (ed.), Islamic Finance and Economic Development (New York: Palgrave MacMillan, 2005), 202-214.
[52] Hamdani, Ikhwan, Sistem Pasar  (Jakarta: Nurinsani, 2003), 13-29.
[53] I. Wallerstein,  The Capitalist World-Economy (New York: Cambridge University Press, 1979), 91.
[54] Shackle, G.L.S, Epistemics and Economics (Cambridge, Eng: Cambridge University Press, 1972), 104.
[55] Umar Chapra , The Future of Economics: An Islamic Perspective (SEBI: 2001), 38.
[56] Schumpeter, J.A., Capitalism, Socialism amd Democracy (New York: Harper & Row, 1950), 65-78.
[57] Rostows, W., The Stages of Economic Growth, a Non-Communist Manifesto (Cambridge: Cambridge University Press, 1967), 36-37..
[58] Gottlieb, M., A Theory of Economic Systems (New York NY: Academic Press. Inc., 1984), 23-25.
[59] Baca teori kesejahteraan ekonomi pada karya Robin W. Boadway and Neil Bruce, Welfare Economics (Oxford: Basil Blackwell, 1984).
[60] Robert J. Samuelson, “Pure Theory of Public Expenditure and Taxation”, pada karya J. Margolis & H. Guitton (eds.), Public Economics (New York: St. Martin Press, 1969), 98-123. Baca pula Bernard Salanie, Microeconomics of Market Failure (Cambridge MA: MIT Press, 2000), 45-59.
[61] Ernesto Screpanti and Stefano Zamagni, an Outline of the History of Economic Thought (New York: Oxford University Press, 2005), 111-121.
[62] Mahmud Shaikh Ahmad, Economics of Islam: A Comparative Study (Pakistan:Shah Muhammad Ashraf Publishers, Lahore, 1995), 34-35.
[63] Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1979),  80. Baca pula Dia’u al-Din Al-Rayyis, Al-Kharaj and the Financial Institutions of the Islamic Empire (Cairo: the Anglo Egyptian Library, 1961), 23-27.
[64] Ibn Taymiyah, al-Hisbah fi al-Islam (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), 2. Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibnu Taimiyah (United Kingdom: The Islamic Foundation, 1996), 179-180.
[65] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Nadwah, t.t.), vol. II,  135
[66] Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din,  vol. II,  135-168.
[67] Ibn Khaldun, The Muqaddimah, Penerjemah: F. Rosenthal (New York: Princeton, 1967), vol. II, 271-278.
[68] Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa-al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 94.
[69] Baca Abu Ishaq al-Shythibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah (Cairo: al-Maktabah al-Tijaniyah al-Kubra, 1975), vol. 2, 6-7.
[70] Hillel Fradkin, et.al. (eds.), Current Trends in Islamist Ideology (Hudson Institute: Center on Islam, Democracy, and the Future of the Modern World, 2008), vol. VII.
[71] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah wa-Wilayat al-Diniyah (Beirut: Dar al-Fikr, 1996), 5.
[72] Ibn Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyah fi Ishlah al-Ra’iy wa-al-Ra’iyah (Saudi Arabia: Dar ‘Alam al-Fawa’id, t.t.), 33, dan Ibn Taymiyah, al-Hisbah fi al-Islam (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), 2.
[73] Lebih lanjut baca pada bagian ke-25 fi ma’na al-khilafah wa-al-imamah, Ibn Khaldun, al-Muqaddimah Ibn Khaldun (Cairo: Dar Ibn al-Haitham, 2005/1426), 152-153.
[74] Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, 153.
[75] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, 5. Diskusi tentang ijma’ sebagai persyaratan legalitas ima>mah dapat dibaca Abu Manshur al-Baghdadi, Ushul al-Din (Istambul: Mathba’ah al-Dawlah, 1928), 272 dan al-Baqillani, al-Tamhid fi al-Radd ‘ala al-Mulhid (Cairo: Dar al-Fikr al-A’rabi, 1947), 97.
[76]Muh. al-Assal dan Fathi  Abd.Karim, Hukum  Ekonomi Islam (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1999), 101-102.
[77] Ibn Taymiyah, al-Hisbah fi al-Islam, 20-22.
[78] Ibn Taymiyah, al-Hisbah fi al-Islam, 31-35.            
[79] Ibn Taimiyah, “Majmu’ al-Fatawa Ahmad bin Taimiyah vol 29”, Riyadh, 1387 H, 469.              
[80] Baca Haider Naqvi, Ethics and Economics: an Islamic Synthesis (London: The Islamic Foundation, 1981), 34-68.
[81] Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2005), 48.
[82]Ahmad  Khurshid (ed.), Studies in Islamic Economics (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1980), 178-179.