HISBAH DAN MEKANISME PASAR:
Studi Moralitas Pelaku Pasar Perspektif Ekonomi Islam
Aan Jaelani
Dosen Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam PPs IAIN Syekh
Nurjati Cirebon
Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon
ABSTRAK
Mekanisme pasar dalam era globalisasi terkait dengan
paradigma ekonomi pasar seiring dengan perkembangan ekonomi sosialis,
kapitalis, atau campuran. Mekanisme pasar menjadi problem ketika pengalokasian
sumber daya tidak efisien, ketidaksempurnaan pasar, dan penyebab
keterbelakangan ekonomi. Dengan pendekatan sejarah pemikiran ekonomi Islam
dalam membaca “teks” dan menganalisis “konteks”-nya dapat menemukan bahwa institusi
hisbah secara historis mengalami transformasi secara institusional sebagai
lembaga pengawas pasar dan institusi keagamaan yang merepresentasikan peran
sosial dan ekonomi dalam mengantisipasi problem pasar. Lembaga hisbah ini atau
apapun namanya untuk konteks sekarang sangat signifikan dalam menciptakan
keadilan pasar.
Market mechanisms in the era
of globalization associated
with the paradigm of the market economy along with the development
of socialist economy, capitalist, or mixed. The
market mechanism is a problem when
the inefficient allocation
of resources, market imperfections, and the
cause of economic backwardness.
With the approach of Islamic history of economic
thought in reading the "text" and analyze
the "context" could find
that the institution has historically experienced hisba institutional transformation
as a market watchdog
agencies and religious
institutions that represent the social and economic
role in anticipating market problems. This
hisba institution or whatever his name to
the current context is very significant in creating the equity market.
Keywords: hisbah, mekanisme pasar, globalisasi ekonomi,
etika bisnis
A.
Pendahuluan
Diskursus ”mekanisme pasar” dalam ekonomi tidak dapat
dilepaskan dari paradigma ”ekonomi pasar” seiring dengan perkembangan ekonomi
sosialis dan kapitalis. Dalam hal ini, pemerintah dapat mengorganisasikan suatu
perekonomian agar kemakmuran suatu negara dapat tercapai.[1]
Ekonomi pasar bagi sebagian kalangan dipercaya pula dapat
membawa perekonomian secara lebih efesien, dengan pertimbangan sumber daya yang
ada dalam perekonomian dapat dimanfaatkan secara lebih optimal, dan juga tidak
diperlukan adanya perencanaan dan pengawasan dari pihak manapun. Atau dengan
kata lain ”serahkan saja semuanya kepada pasar,” dan suatu invisible hand yang nantinya akan membawa perekonomian ke arah
keseimbangan, dan dalam posisi keseimbangan, sumber daya yang ada dalam
perekonomian dimanfaatkan secara lebih maksimal.[2]
Fakta empirik menunjukkan bahwa sesungguhnya perekonomian
pasar jauh dari sempurna, dimana sulitnya mendapatkan informasi pasar yang
mencukupi bagi konsumen maupun produsen mengenai harga, kuantitas, dan kualitas
produk serta sumber, dan terkadang untuk mendapatkan suatu informasi diperlukan
biaya yang tinggi, ditambah keberadaan skala ekonomi diberbagai sektor utama
perekonomian menciptakan hambatan masuk (entry
barrier) bagi pelaku usaha yang ingin berusaha pada sektor yang sama.
Pada gilirannya hal diatas mengakibatkan alokasi sumber
daya yang tidak tepat, dan hal ini merupakan yang tidak diharapkan oleh
negara-negara tersebut ketika mereka mulai menerapkan ekonomi pasar di negara
mereka, ternyata yang didapatkan oleh mereka justru ketidak sempurnaan pasar (imperfect market), yang justru membawa
mereka ”terjebak” dalam keterbelakangan ekonomi.
Ekonomi kapitalis (klasik)[3]
memandang bahwa pasar memainkan peranan yang sangat penting dalam sistem
perekonomian. Paradigma kapitalis ini menghendaki pasar bebas untuk
menyelesaikan permasalahan ekonomi, mulai dari produksi, konsumsi sampai
distribusi. Adapun sistem ekonomi sosialis[4] menghendaki maksimasi peran negara. Negara harus
menguasai segala sektor ekonomi untuk memastikan keadilan kepada rakyat.
Pandangan kapitalisme dan sosialisme tersebut di atas
membawa konsekuensi bahwa manusia pada satu sisi memiliki kebebasan untuk
bertindak secara ekonomi, meskipun tindakan tersebut bertentangan dengan
nilai-nilai moral maupun nilai-nilai agama, sedangkan pada sisi lain manusia
sama sekali diposisikan sebagai robot yang tidak mampu berkreasi dan menuruti
apa saja yang menjadi kebijakan ekonomi pemerintah, khususnya terkait dengan
mekanisme pasar. Dua paradigma ekonomi dunia ini kemudian memberikan dampak
yang semakin besar terhadap perekonomian bangsa yang kian terpuruk terutama
pada negara-negara berkembang.
Berbeda dengan ekonomi kapitalis dan sosialis, ekonomi
Islam menilai bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan (iqtishad), tidak boleh ada sub-ordinat, sehingga salah satunya
menjadi dominan dari yang lain. Pasar
dijamin kebebasannya dalam Islam.
Oleh karena itu, peran pemerintah dalam mekanisme pasar
perlu mendapatkan perhatian utama tanpa mengorbankan potensi manusia dalam
mengembangkan aktivitas ekonomi. Salah satu peran pemerintah dalam mengatur
mekanisme pasar terkait dengan penentuan harga adalah menetapkan lembaga pengawas
pasar (market supervision) atau disebut ”hisbah”. Keberadaan institusi
hisbah dalam mengawasi proses mekanisme pasar dengan peran untuk mengontrol
moralitas pelaku pasar dan harga dalam konteks mewujudkan kesejahteraan ekonomi
dan keadilan menjadi fokus utama tulisan ini.
B.
Hisbah dalam Literatur Ekonomi Muslim
Dalam tradisi Islam bentuk karya-karya ulama dapat
dispesialisasikan, termasuk juga literatur tentang hisbah, suatu lembaga
pemerintah yang memiliki fungsi kontrol khususnya perilaku seseorang terkait
dengan moral, agama dan ekonomi, dan secara umum dalam wilayah kolektif atau
kehidupan publik (the areas of collective or public life), untuk menegakkan keadilan dan kebenaran (justice
and righteousness) berdasarkan prinsip-prinsip Islam dan kebiasaan
atau adat istiadat yang baik sesuai dengan waktu dan tempat. Lembaga ini juga
memiliki kantor yang berperan dalam mengontrol pasar dan perilaku moral.[5]
Di
kalangan sarjana muslim klasik maupun modern serta beberapa orientalis cukup
banyak yang telah melakukan kajian tentang lembaga hisbah ini. Karya-karya
tentang hisbah dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kategori, yaitu: pertama,
karya-karya yang memfokuskan pada kajian hisbah dan menggunakan
judul hisbah atau kata lainnya (namun materinya tentang hisbah), seperti
al-Syaizari, Ibn al-Ukhuwwah, Ibn Bassam, al-Jarsifi, Ibn Taymiyyah, al-Uqbani,
Ibn ‘Abdun, Ibn Abd al-Ra’uf, and al-Saqati.); dan kedua, karya-karya fiqh
siyasah yang memasukkan materi hisbah sebagai bagian integral dari
kitab yang ditulisnya, seperti al-Mawardi, Abu Ya’la al-Farra, al-Juwaini, dan
al-Ghazali.
Karya-karya
yang ditulis tersebut secara umum menggambarkan peran dan kewajiban muhtasib
sebagai petugas yang melaksanakan hisbah (officer in charge of
al-hisbah) atau mereka menggambarkan secara rinci hal-hal praktis dan
teknis pengawasan pasar sebagai pedoman dalam kontrol administrasi pekerjaan (administrative
control of the professions), dan terutama kualitas dan standar produk (product
quality and standard). Hisbah menjadi institusi penting dalam negara
Islam sebagai sebuah departemen yang menjalankan fungsi pemerintahan dalam
mengontrol kehidupan sosial dan ekonomi secara komprehensif pada bidang perdagangan
dan praktek-praktek ekonomi.
Studi tentang hisbah ini tidak bisa dilepaskan dari peran
negara. Dalam kajian ekonomi pasar, keberadaan negara dengan peran yang
dilakukannya menjadi perdebatan, apakah perlu ikut campur atau melepaskan mekanisme
pasar yang berlangsung khususnya dalam hal pengawasan dan pengaturan harga. Meskipun
demikian, negara memainkan peran penting dalam kehidupan ekonomi, terutama (tiga)
fungsi utama, yaitu fungsi alokasi, fungsi distribusi, dan fungsi stabilisasi.
Pelaksanaan peran negara tersebut dapat dipengaruhi oleh
kebijakan politik ekonomi yang dijalankannya.[6]
Kenyataannya, pasar dan mekanisme pasar bukan ”segala-galanya”, atau ”invisible hand” yang selalu mampu mengendalikan
kekacauan pasar ke arah keseimbangan, sebagaimana yang dikemukakan oleh para
ekonom kelembagaan (institutional
economist).[7]
Dalam
sejarah ekonomi Islam, adanya makanisme pasar dapat dilihat pada sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Anas r.a., terkait adanya kenaikan harga barang di kota
Madinah. Berdasarkan hadits di
atas, Rasulullah SAW. tidak menentukan harga. Hal ini menunjukkan bahwa
ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar secara alamiah. Rasulullah menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga
di pasar tidak boleh ditetapkan, karena Allah-lah yang menentukannya.
Dalam
analisis ekonom Islam kontemporer,
teori inilah yang diadopsi oleh Adam Smith, dengan teorinya, invisible hands. Menurut teori ini, pasar akan diatur oleh tangan-tangan
tidak kelihatan (invisible hands). Bukankah teori invisible hands
itu lebih tepat dikatakan God Hands
(tangan-tangan Allah).[8] Dalam
hal ini, para pelaku pasar yang menentukan harga, sesuai dengan tingkat
permintaaan dan penawaran, serta tetap mempertimbangkan nilai-nilai moral dan
agama.
1.
Sejarah dan Transformasi Institusi Hisbah
Hisbah
adalah lembaga resmi negara yang diberi wewenang untuk menyelesaikan
masalah-masalah atau pelanggaran ringan yang menurut sifatnya tidak memerlukan
proses peradilan untuk menyelesaikannya. Lembaga ini mengalami transformasi
seiring dengan perkembangan kota-kota di beberapa wilayah Islam yang
merepresentasikan budaya baru suatu sistem pasar yang pernah ada
sebelumnya.
Secara historis, lembaga pengawasan pasar kuno
yang dikenal dengan sahib al-suq (inspektur pasar) telah muncul pada
abad ke-8, ketika agama Islam membentang dari perbatasan Perancis sampai Cina,
sehingga kegiatan komersial berupa perdagangan di kota-kota mengalami
proliferasi dan kota-kota diperluas, dan begitu pula pada sūqs atau
pasar.[9]
Pada akhir abad ke-9, kantor inspektur pasar mulai dianggap sebagai jabatan
keagamaan dan inspektur tersebut dikenal sebagai muhtasib, seseorang
yang bertugas dalam menginvestigasi perbuatan dan tindakan anggota masyarakat
yang benar dan salah, kemudian melaporkannya dalam bentuk catatan pada suatu
buku.[10]
Dalam peran sebelumnya sebagai sahib al-suq,
inspektur pasar terutama berperan dalam mengawasi aspek materi, bukan
pertimbangan spiritual. Peran tersebut antara lain melakukan kontrol terhadap
barang-barang dari sisi ukuran berat dan ukuran standar (timbangan), memeriksa
apakah uang yang digunakan itu asli atau palsu, melakukan pengecekan terhadap
gedung-gedung, dinding, dan jalan-jalan umum untuk menjamin dalam kondisi baik,
dan memantau sumber-sumber air yang dikonsumsi publik terkena pencemaran atau tidak,
mengawasi pemeliharaan tempat pemandian umum, dan tempat-tempat hiburan.[11]
Selain itu, sahib al-suq ini melakukan
fungsi sebagai sebuah nightwatchmen (petugas keamanan, ronda, thuwwaf
al-lail) dengan tujuan mencegah terjadinya kejahatan yang biasanya terjadi
pada malam hari, seperti pencurian, perampokan, atau pembunuhan, pesta miras,
perzinahan, prostitusi, dan homoseksualitas.[12]
Beberapa fungsi ini memang terkait erat dengan ketentuan moralitas dan agama,
namun secara keseluruhan perannya tetap sekuler.
Ketika, kemudian, inspektur pasar ini berubah
menjadi muhtasib, dengan kantornya yang digambarkan sebagai bagian dari
institusi keagamaan, terutama direlasikan dengan fungsi ajaran al-Qur’an, yaitu
"memerintahkan yang baik dan mencegah yang buruk" (al-amr bi
al-ma'ruf wa nahy ‘an al-munkar). Fungsi utamanya tetap sebagai inspektur
pasar, tetapi muhtasib dibentuk sebagai langkah transformasi dengan
peran keagamaan, yang tentunya mewujudkan tujuan keagamaan itu sendiri.[13]
Adanya perubahan peran inspektur pasar ini
dilatarbelakangi oleh kebijakan umum Kekhalifahan Abbasiyah dalam melakukan
Islamisasi kelembagaan yang ada, atau akibat adanya tujuan yang lebih praktis
untuk menekan oposisi politik dan keagamaan. Periode penting dalam mengkaji
perubahan fungsi tersebut terdapat pada abad ke-10 dan ke-11, meskipun
membutuhkan kajian mendalam untuk menjelaskan perubahan tersebut. Baghdad
sebagai ibukota kekhalifahan Abbasiyah menjadi fokus utama dalam melihat sisi
kesejarahan lembaga hisbah, walaupun apa yang terjadi pada masa ini tidak tidak
dapat dipahami tanpa meninjau latar belakang peristiwa-peristiwa yang terjadi
di bagian barat wilayah Islam. Selain itu, karena inspektur pasar berkaitan
dengan kehidupan dan aktivitas pasar, maka transformasi lembaga ini menjadi
bagian dari aspek kehidupan komersial dan munculnya kelas-kelas sosial pada
masa Islam. [14]
Dalam hal ini, secara terbuka kebangkitan Islam
di tengah kehidupan komersial komunitas Mekkah dan penyebaran Islam pada
komunitas perkotaan, seperti Kufah, Damaskus dan Fustat, berkembang menjadi
kota-kota perdagangan besar. Perintah al-Qur'an terhadap riba dan akumulasi
kekayaan secara bathil mengalami perkembangan yang sama seiring dengan
pertumbuhan perdagangan dan industri pada masa puncak Imperium Islam, khususnya
pada akhir periode Umayyah dan awal periode Abbasiyah.[15]
Catatan penting adalah penekanan sudut pandang
ini bukan pada aspek perdagangan dan industri yang sebenarnya, bukan pula
dengan totalitas sosial dan kegiatan ekonomi di kota-kota, tetapi hanya dengan
gaya hidup para pelaku pasar yang semakin berkembang dan membudaya seiring
dengan pertumbuhan tempat-tempat produksi pada pasar di di kota-kota tersebut.
Adanya kemerosotan moral dan pelanggaran ajaran agama menjadi ciri umum
kehidupan bagi para pelaku pasar yang “mendadak” kaya.
Karya Ikhwan al-Safa, al-Rasa’il Ikhwan
al-Shafa, pada akhir abad ke-9 H merupakan bukti adanya pembentukan
komunitas profesi dan para pekerja dalam kehidupan sosial, serta menunjukkan
hubungan kelompok ilmuwan ini dengan aliran Syi’ah-Isma’iliyah.[16]
Penulis lain, al-Dināwarī dari abad ke-10 H memberikan informasi adanya
pembentukan sekitar 200 komunitas profesi.[17]
Sedangkan pada dokumen Geniza Kairo tercatat sebanyak 265 himpunan profesi pada
periode ini. Orang-orang yang bekerja dalam profesi ini cenderung memberikan
kritik terhadap pemerintah dan kalangan agamawan ortodoks, sebuah trend yang
muncul dan didorong akibat adanya pertentangan politik-keagamaan sebagai
unsur-unsur radikal Syi’ah, Qarmaţian, dan Isma’iliyah, dan kemudian munculnya
Bani Fatimiyah sebagai kompetitornya.[18]
Demikian peran sahib al-suq yang berubah
menjadi muhtasib. Institusi hisbah ini memiliki kekuatan besar, tetapi
pada bidang yang terbatas saja, yaitu berkaitan dengan tindak kejahatan kecil
dalam kehidupan pasar. Namun demikian, posisi lembaga ini memiliki tanggung
jawab besar dalam melakukan kontrol terhadap tingkat kejujuran para pelaku
pasar, yang pada akhirnya dapat menciptakan keseimbangan pasar itu sendiri.
2.
Karya-karya
Hisbah dan Kontribusi Sarjana Muslim
Untuk menentukan tugas-tugas seorang inspektur
pasar itu sendiri menjadi tugas yang rumit, dan hal itu memunculkan beberapa
karya tentang hisbah selama seratus tahun atau lebih, yang menjadi perhatian
para sejarawan sosial muslim Abad Pertengahan di Timur Tengah dan Maghrib. Para
sarjana Muslim yang menulis karya ini biasanya memiliki jabatan khusus, seperti
hakim agung dan muhtasib, sekaligus juga sebagai ahli fiqih. Dengan demikian,
karya-karya tersebut ditulis berdasarkan fakta-fakta yang terjadi pada masanya,
atau bahkan dialami secara langsung dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Sumber-sumber historis ini dapat ditemukan pada
karya-karya mereka atau pada sumber sejarah yang standar, misalnya al-Mawardi
(w. 450 H/1058 M), al-Qalqashandī (w. 821 H/1418 M), sejarawan al-Thabari (w.
310 H/923 M), Ibn al-Abbār (w. 658 H/1260 M), sejarawan awal Baghdad, Tayfur
(w. 280 H/893 M),[19]
Yahya bin 'Umar (w. 289 H/901 M).[20]
Karya lain tentang hisbah ditulis pula oleh
ulama Zaidiyah Persia, Imam al-Nashir li al-Haqq al-Zaydi (w. 304 H/917 M),[21]
Abu Thalib Yahya (w. 424 H/1033 M),[22]
al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), Abu Sa'id al-Istakhrī. Karya al-Istakhri ini banyak
dirujuk oleh al-Mawardi dalam karyanya, al-Ahkam al-Sulthaniyah, yang
berisi bab tentang hisbah.[23],
ketika ia menjadi hakim agung pada masa khalifah Abbasiyah, al-Qadir Billah
(381-422 H/991-1031 M) dan al-Qa'im Biamrillah (422-467 H/1031-1075 M)
mencurahkan seluruh energi mereka untuk mengusir rezim liberal Persia, Būyid,
dan untuk mengokohkan rezim ortodoks Turki, Saljūq.
Tokoh penting lain adalah al-Ghazali (w. 505
H/1111 M), seorang filosof-sufi yang mempertahankan ortodoksi keagamaan pada
abad pertengahan Islam. Al-Ghazali merupakan pendukung setia Sultan Saljūq yang
ortodoks dan diakui musuh Syi’ah. Dalam karyanya, Ihya’ 'Ulum al-Dīn, ditemukan
beberapa ketentuan dan prosedur yang mirip dengan pemikiran al-Mawardi.
Al-Ghazali menambahkan beberapa aspek moralitas dari tugas-tugas muhtasib.[24]
Karya lain tentang tugas-tugas muhtasib
ditemukan pada kitab al-Himmah karya al-Qadhi al-Nu'man (w. 363/974)[25]
dan Risdhat al-Mūjaza al-Kāfiyya karya al-Naysābūrī' (abad ke-4 H/10 M),[26]
antara lain mengungkap fakta tentang adanya peran dari petugas hisbah, kemudian
karya al-Jahiz (w. 255 H/869 M),[27]
Ibn Quthaybah (w. 276 H/889 M),[28]
Ibn al-Jawzi (w. 597 H/1200 M),[29]
Ibn al-Ukhūwwah (w. 729 H/1329 M), al-Jarsīfī (1300 M) dari Spanyol menulis
tentang hisbah, yang banyak mengutip gagasan al-Nawawi (w. 1278 M),[30]
dan Ibn 'Abd al-Hadi (w.1503 M).[31]
Karya-karya lain yang tidak kalah penting
ditulis oleh Qadhi al-Tanūkhī (w. 384 H/994 M) tentang anekdot tugas dari sahib
al-suq di pasar,[32]
Ibn al-Faradī (w. 403 H/1013 M), seorang komentator kontemporer dari pemikiran
al-Mawardi, yang menulis tentang inspektur pasar di Spanyol,[33]
dan al-Shayzarī (w. 589 H/1193 M) yang mengakui adanya asisten dari seorang muhtasib.[34]
Dengan demikian, hisbah sebagai sebuah
institusi sangat penting dalam mengontrol dan mengawasi kegiatan masyarakat
terutama di pasar. Bahkan, peran hisbah dalam melakukan kontrol terhadap
kualitas barang yang diperjualbelikan,dan pengawasan terhadap para pekerja
dengan melarang pekerja di bawah umur masih sangat relevan dengan kondisi
sekarang ini
3.
Peran Institusi Hisbah dalam Ekonomi
Dalam
pandangan al-Mawardi, eksistensi negara yang dibangun atas dasar asas-asas dan
politik pemerintah. Asas-asas negara meliputi agama, kekuatan negara, dan harta
negara. Adapun politik negara (siyasah al-mulk) meliputi kebijakan
pemerintah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat (‘imarah al-buldan),
menciptakan keamanan bagi warga negara (hirasah al-ra’iyah), mengelola
pasukan (tadbir al-jund), dan mengelola keuangan negara (taqdir
al-amwal).[35]
Dalam
konteks tersebut, pada ekonomi konvensional muncul polemik seputar peran negara
dalam mekanisme pasar. Ekonomi pasar bagi
sebagian kalangan dipercaya pula dapat membawa perekonomian secara lebih
efesien. Ekonomi kapitalis (klasik)[36]
menghendaki pasar bebas untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi, sehingga
campur tangan pemerintah mengakibatkan distorsi pasar. Ekonomi sosialis
menghendaki maksimasi peran negara untuk memastikan keadilan kepada rakyat.[37]
Sedangkan ekonomi Islam menilai bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam
keseimbangan, dan pasar dijamin
kebebasannya dalam Islam.
Menurut Ibnu Taymiyah, negara bisa melakukan
campur tangan dalam memelihara kebebasan individu untuk mencapai kepentingan
yang lebih besar bagi rakyat. Prinsipnya adalah untuk mendapatkan manfaat
sosial yang lebih besar dan untuk menghapuskan atau mengurangi kerugian yang
ada. Ketika situasi tersebut dengan adanya realisasi dari satu jenis manfaat
berarti hilangnya manfaat yang lain, maka manfaat yang lebih besar harus
diperoleh pada preferensi yang lebih kecil. Sebaliknya, kerugian atau
kemudaratan yang lebih besar harus dihindari.[38].
Dalam pandangan al-Ghazali, al-Mawardi, dan
Ibnu Taymiyah, beberapa fungsi ekonomi negara dalam melakukan campur tangan
terhadap hak-hak individu atas keuangan publik antara lain:[39]
pengelolaan administrasi dana publik,[40]
perencanaan ekonomi, penghapusan kemiskinan,[41]
pengendalian atas ketidaksempurnaan pasar, peningkatan ketenagakerjaan,[42]
dan kebijakan moneter.[43]
Menurut Ibnu Taymiyah, kontrol harga menjadi
salah satu tanggung jawab pemerintah atas mekanisme pasar. Namun, pemerintah
hanya mengendalikan harga sampai batas kondisi normal, karena para pelaku pasar
memiliki kebebasan untuk menjual produk yang dihasilkannya.[44]
Meskipun demikian, ada beberapa kasus yang
memungkinkan dilakukannya pengendalian harga atas pasar apabila: (1) adanya
kebutuhan rakyat yang mendesak untuk komoditi; (2) adanya kasus monopoli; dan (3)
adanya kasus kolusi antara pembeli.[45]
Peran pemerintah dalam
mekanisme pasar perlu mendapatkan perhatian utama tanpa mengorbankan potensi
manusia dalam mengembangkan aktivitas ekonomi. Salah satu peran pemerintah
dalam mengatur mekanisme pasar terkait dengan penentuan harga adalah menetapkan
lembaga pengawas pasar (market supervision) atau disebut ”h{isbah”.
Keberadaan institusi h{isbah ini sebagai regulator atau pengawas dalam proses
mekanisme pasar, terutama mengontrol harga dan para pelaku pasar.[46]
Pelaksana institusi hisbah
yang dikenal dengan nama “muhtasib”, memiliki tugas antara lain mengevaluasi
berat dan ukuran timbangan, memelihara perdagangan secara jujur, mengecek
praktek-praktek bisnis, melakukan audit terhadap kontrak-kontrak ilegal,
mengawasi pasar bebas, dan memelihara kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Secara
tradisional, hisbah merepresentasikan suatu elemen utama bagi korporasi
pemerintahan Islam dalam kehidupan masyarakat.[47]
Peran institusi ini menjadi signifikan sebagai
aktivitas bisnis dan komersial dalam masyarakat Islam yang telah berkembang. Di
samping itu, lembaga inipun merupakan lembaga yang memberikan jaminan bagi
setiap Muslim, yakni memberikan suatu keutuhan, hingga ditentukan pada
keberadaan atau tidak berfungsinya seorang muhtasib, sehingga lembaga
ini menjamin perkembangan korporasi pemerintahan Islam.[48]
Institusi h{isbah telah mencapai keberhasilan dalam melakukan kontrol harga dan pematokan harga wajar (normal).
Keberhasilan ini disebabkan efektifitas kerja tim lembaga hisbah yang commited
terhadap misi dan tugas pengawasan di lapangan. Komitmen ini menjauhkan seluruh
anggota tim untuk melakukan kolusi dan menerima risywah (suap).
Secara rinci, peran dan tugas institusi h{isbah
dalam konteks regulasi pasar adalah:[49]
pengawasan industri, memfasilitasi pasokan dan penyediaan kebutuhan masyarakat,
pengawasan perdagangan, pengawasan penimbunan.
C. Mekanisme Pasar dalam Ekonomi Konvensional Dan Ekonomi Islam
1. Mekanisme dan Struktur Pasar Konvensional
Mekanisme pasar merupakan
cara bekerjanya pasar, berdasarkan pada sistem
pasar yang ada. Sistem pasar yang berkembang sekarang ini adalah
sistem pasar bebas, yaitu sistem pasar yang
menggunakan prinsip laissez faire.[50]
Hasil atau equilibrium dari mekanisme
pasar adalah bergantung pada struktur pasar yang ada,
atau, dengan kata lain, tergantung pada susunan atau bangunan dari
pasar.
Dengan demikian mekanisme pasar adalah cara bekerjanya pertemuan antara pembeli dan penjual sesuatu barang. Hasil dari pada pertemuan tersebut adalah
kemungkinan terjadinya kesepakatan
tentang tingkat harga dan jumlah barang dalam transaksi. Melalui persaingan, para pelaku ekonomi memaksimalkan kepuasan
serta keuntungan, dan dengan cara seperti itu kesejahteraan
materiil akan tercapai. Apabila kesejahteraan material sudah tercapai maka dengan sendirinya kesejahteraan non
material juga akan tercapai. Demikian harapan daripada model teori ekonomi konvensional.
Kegiatan pasar yang dikenal dengan perdagangan
pada dekade terakhir ini terfokus pada persoalan perdagangan bebas atau “bisnis
internasional”, yaitu bisnis yang kegiatan-kegiatannya melewati batas-batas
negara.[51]
Perdagangan bebas yang menjadi isu globalisasi tidak memperhatikan varian
situasi ekonomi suatu negara, terutama negara di Dunia Ketiga yang ikut
terimbas. Hal ini sebagaimana ditegaskan Albert Bergesen, disebabkan oleh
sistem pasar bebas yang diberlakukan secara paksa sepenuhnya sebagai hukum baru
dalam mengatur tata perekonomian internasional (global).[52]
Konsekuensinya, setiap negara dituntut untuk mempersiapkan banyak hal, mulai
kehandalan sumber daya manusia (SDM), ketersediaan infrastruktur ekonomi, natural
resources, maupun pranata hukum untuk menjamin kepastian berbisnis.
Akibat lain dari mekanisme pasar pada bentuk
perdagangan bebas atau pasar bebas (free market) berupa adanya upaya
liberalisasi ekonomi dan privatisasi atau swastanisasi sebagai konsekuensi dari
ekspansi modal atau kapital yang disebar oleh negara-negara maju ke seluruh
dunia. Setiap negara akan mengalami perombakan struktur dan kebijakan nasional
untuk diselaraskan dengan kepentingan global, serta pada saat yang bersamaan,
terjadi liberalisasi ekonomi sesuai semangat globalisasi.[53]
Karena itu, inti dari mekanisme pasar bebas
adalah; pertama, adanya market access, yaitu akses terhadap pasar
dibuka seluas-luasnya sampai tidak adalagi pembatasan dan halangan setiap
pelaku ekonomi untuk keluar masuk tapal batas negara anggota OPD (Organisasi
Perdagangan Dunia) atau WTO (World Trade Organization); dan kedua,
national treatment atau perlakuan nasional yang memberikan perlakuan
secara adil kepada setiap pelaku ekonomi yang berkiprah di negara tuan rumah,
sebagaimana halnya perlakuan yang diberikan kepada pelaku ekonomi nasional.[54]
Berbagai
persoalan dapat muncul akibat perdagangan bebas karena kemungkinan untuk
mewujudkan harapan tersebut adalah sangat
sulit atau bahkan tidak mungkin terwujud. Umar Chapra[55] memberikan alasan bahwa
ada beberapa distorsi dalam
mengekspresikan prioritas di dalam
pasar. Hal ini menyebabkan terjadinya
bias dalam merealisasikan efisiensi dan keadilan. Munculnya distorsi
dalam mengekspresikan prioritas dalam sistem
pasar diakibatkan ketidaksukaan
ekonomi konvensional pada penilaian normatif dan tekanannya yang
berlebihan pada maksimalisasi kekayaan,
memuaskan keinginan serta melayani
kebutuhan pribadi jelas merupakan penyimpangan
falsafah dasar dari sebagian besar agama.
Agama-agama ini secara umum yakin bahwa kesejahteraan material, meski penting, tidak cukup bagi kesejahteraan manusia.
2. Pasar dalam Perspektif Kapitalisme dan
Sosialisme
Sistem ekonomi kapitalis adalah sistem ekonomi
yang didominasi oleh capital atau modal dengan profit motive (motif
keuntungan). Dalam sistem ekonomi kapitalis juga dikenal adanya kebebasan dalam
berekonomi, beserta instrumen bunga yang kental. Beberapa karakteristik dari
ekonomi kapitalis adalah individual actions dengan tidak adanya
perencanaan ekonomi yang tersentralisasi.[56]
Sementara sosialisme dimana tidak adanya
kepemilikan pribadi, yang ada hanyalah kepemilikan publik, keberadaan industri
serta faktor produksi sepenuhnya untuk kepentingan sosial serta adanya social
service motive. Beberapa karakteristik dari ekonomi sosialis adalah central
planning of the economy (ekonomi dengan perencanaan terpusat), berlakunya
distribusi pendapatan secara merata dan aset–aset penting dimiliki oleh publik.[57]
Marxisme adalah salah satu bentuk komunisme dimana konsumsi dan produksi diatur
secara kolektif yang menekankan pada program sosial dan pendidikan, serta
bersumber pada ilmu pengetahuan dan meniadakan Tuhan. Sehingga dalam praktiknya
menghalalkan segala cara untuk kebahagiaan kolektif.[58]
Untuk itu peranan negara dalam ekonomi sama sekali harus
diminimalisir, sebab kalau negara turun campur bermain dalam ekonomi hanya akan
menyingkirkan sektor swasta sehingga akhirnya mengganggu equilibrium pasar. Maka dalam paradigma kapitalisme, mekanisme
pasar diyakini akan menghasilkan suatu keputusan yang adil dan arif dari
berbagai kepentingan yang bertemu di pasar. Para pendukung paradigma pasar
bebas telah melakukan berbagai upaya akademis untuk meyakinkan bahwa pasar
adalah sebuah sistem yang mandiri (self
regulating).
Pasar dalam paradigma sosialis, harus dijaga agar tidak
jatuh ke tangan pemilik modal (capitalist)
yang serakah sehingga monopoli means
of production dan melakukan ekspolitasi tenaga buruh lalu memanfaatkannya
untuk mendapatkan prifit sebesar-besarnya. Karena itu equilibrium tidak akan pernah tercapai, sebaliknya ketidakadilan
akan terjadi dalam perekonomian masyarakat. Negara harus berperan signifikan
untuk mewujudkan equilibrium dan
keadilan ekonomi di pasar.[59]
3. Kegagalan Pasar dan Intervensi Negara
Menurut Samuelson,[60]
pemerintah telah memainkan peranan yang semakin meningkat dalam sistem ekonomi
campuran modern. Hal ini tercermin dalam (1) pertumbuhan pengeluaran
pemerintah; (2) pemerataan pendapatan oleh negara; dan (3) pengaturan langsung
dari kehidupan ekonomi. Perubahan fungsi-fungsi pemerintah tercermin dalam
kegiatan pemerintah meliputi: (1) pengawasan langsung; (2) konsumsi sosial dari
barang publik; (3) stabilitas kebijakan keuangan negara dan moneter; (4)
produksi pemerintah; dan (5) pengeluaran kesejahteraan.
Dalam
mekanismenya, pasar mengalami kesulitan dalam menciptakan alokasi sumber-sumber
ekonomi secara sempurna, sehingga mengalami kegagalan. Kegagalan pasar
tersebut, seperti diungkapkan Murray N. Rothbard, biasanya disebabkan oleh
adanya common goods atau barang bersama, unsur ketidaksempurnaan pasar,
barang publik dan eksternalitas, pasar tidak lengkap (incomplete market), keterbatasan
atau kegagalan informasi, unemployment atau pengangguran, dan adanya
ketidakpastian (uncertainty).[61]
4.
Pasar dalam
Ekonomi Islam
Ekonomi Islam memandang bahwa pasar, negara, dan individu
berada dalam keseimbangan (iqtishad),
tidak boleh ada sub-ordinat, sehingga
salah satunya menjadi dominan dari yang lain.[62]
Pasar dijamin kebebasannya dalam Islam. Pasar bebas menentukan cara-cara
produksi dan harga, tidak boleh ada gangguan yang mengakibatkan rusaknya
keseimbangan pasar.
Mekanisme pasar banyak dikaji dalam pemikiran sarjana Muslim klasik. Abu Yusuf menguraikan hukum supply and
demand dalam perekonomian dengan teori “bila tersedia sedikit barang, maka harga akan mahal dan
bila tersedia banyak barang, maka harga akan murah.[63]
Ibnu Taymiyah menganalisis mekanisme pasar dengan teori harga dan kekuatan supply and demand cukup penting dalam memahami politik ekonomi
negara.[64] Di dalam sebuah pasar
bebas, harga dipengaruhi dan dipertimbangkan oleh kekuatan penawaran dan
permintaan (supply and demand).
Ibnu Taymiyah menentang adanya intervensi pemerintah
dengan peraturan yang berlebihan saat kekuatan pasar secara bebas bekerja untuk
menentukan harga yang kompetitif. Dengan tetap memperhatikan pasar tidak
sempurna, ia merekomendasikan bahwa bila penjual melakukan penimbunan dan
menjual pada harga yang lebih tinggi dibandingkan harga modal, padahal orang
membutuhkan barang itu, maka penjual diharuskan menjualnya pada tingkat harga
ekuivalen.
Dalam
pandangan al-Ghazali,[65]
peranan aktivitas perdagangan dan timbulnya pasar yang
harganya bergerak sesuai dengan kekuatan penawaran dan permintaan. Pasar merupakan bagian dari keteraturan alami. Pandangan lainnya tentang elastisitas permintaan, yaitu mengurangi margin
keuntungan dengan menjual pada harga yang lebih murah akan meningkatkan volume
penjualan dan ini pada gilirannya akan meningkatkan keuntungan.[66]
Pemikiran
penting lainnya tentang mekanisme pasar dapat ditelusuri dari pandangan Ibnu
Khaldun tentang “harga-harga di kota”. Menurutnya, jenis barang dibagi menjadi dua, yaitu: pertama, barang kebutuhan pokok, kedua
barang mewah. Bila suatu kota berkembang
dan populasinya bertambah, maka pengadaan barang-barang kebutuhan pokok
mendapat prioritas, sehingga penawaran meningkat dan akibatnya harga menjadi
turun. Sedangkan untuk barang-barang mewah, permintaannya akan meningkat,
sejalan dengan perkembangan kota dan berubahnya gaya hidup. Akibatnya, harga
barang mewah menjadi naik. [67]
D. Politik Ekonomi, Pasar Bebas, Dan Etika Bisnis Islam
1. Politik Ekonomi Negara
Peran negara
dalam Islam dilakukan dalam rangka melanjutkan misi kenabian,[68]
yaitu pencapaian al-maqashid al-syari‘ah (tujuan-tujuan syari‘ah).[69]
Negara sebagai agen Tuhan untuk merealisasikan al-maqashid al-syari‘ah. Sebagai
contoh, pada negara Islam pengalokasian sumber-sumber daya yang tidak sesuai
dengan tujuan syara’ tidak dibenarkan. Karena itu, penerimaan keadilan dan
persamaan menjadi komponen esensial dalam kebijakan publik (public policy).
Negara[70]
yang dibangun oleh Nabi Muhammad Saw. dan Khulafa’ al-Rasyidin, berdasarkan
prinsip-prinsip yang bersumber pada al-Qur’an dan sunnah yang memiliki esensi
bahwa kedaulatan tertinggi milik Allah. Konsekuensinya, menurut al-Mawardi,[71] tujuan negara
adalah melanjutkan misi kenabian dan mengatur kehidupan dunia (لخلافة النبوة في حراسة الدين وسياسة الدنيا).
Ibn
Taymiyah (w. 728 H)[72]
menegaskan bahwa tujuan negara adalah agama karena Allah dan menegakkan kalimat
Allah. Ibn Khaldun (w. 808 H)[73]
menjelaskan hubungan antara tujuan negara untuk mengatur dunia (siyasah
al-dunya) dan menegakkan kalimat Allah (kalimah Allah hiya al-‘ulya),
karena mengatur dunia berdasarkan syari’at yang bertujuan agar mereka mencapai
kebahagiaan akhirat (to their benefits in the hereafter).
Pada
prinsipnya, sebagaimana diungkapkan al-Mawardi sebelumnya, Ibn Khaldun[74]
menegaskan bahwa negara bertujuan menjaga agama dan mengatur dunia berdasarkan
syari’at. Karena itu, bagi al-Mawardi,[75]
institusi negara membutuhkan persyaratan syari‘ah dan bukan persyaratan akal,
sehingga pengangkatan imam harus melalui konsensus (ijma’) umat Islam
sebagai bentuk kewajiban agama.
Permasalahannya
sistem perdagangan bebas di era global ini bisa menjadi suatu alternatif bagi
kemajuan ekonomi dengan meningkatnya pertumbuhan dan pembangunan, atau
sebaliknya, justru ia menjadi persoalan baru bagi negara-negara tertentu,
khususnya negara berkembang yang terpuruk kondisi ekonominya. Di samping itu,
sistem ini dapat berlaku atau tidak bagi semua dan untuk kemakmuran bersama. Intinya, selalu ada insentif bagi individu untuk berprilaku
menyimpang sehingga sistem ekonomi tidak bisa hanya dipandu oleh pasar.
Dalam ekonomi Islam, negara memiliki hak untuk ikut
campur (intervensi) dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh
individu-individu, baik untuk mengawasi kegiatan ini maupun untuk mengatur atau
melaksanakan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak mampu dilaksanakan oleh
individu-individu. Keterlibatan negara dalam kegiatan ekonomi pada permulaan
Islam sangat kurang, karena masih sederhananya kegiatan ekonomi yang ketika itu,
selain itu disebabkan pula oleh daya kontrol spiritual dan kemantapan jiwa kaum
muslimin pada masa-masa permulaan yang membuat mereka mematuhi secara langsung
perintah-perintah syari’at dan sangat berhati-hati menjaga keselamatan mereka
dari penipuan dan kesalahan. Semua ini mengurangi kesempatan negara untuk
intervensi dalam kegiatan ekonomi.[76]
Seiring
dengan kemajuan zaman, kegiatan ekonomi pun mengalami perkembangan yang cukup
signifikan. Namun perkembangan yang ada cenderung menampakkan kompleksitas dan
penyimpangan-penyimpangan etika dalam kegiatan ekonomi. Atas dasar itulah, maka
Ibnu Taimiyah, memandang perlu keterlibatan (intervensi) negara dalam aktifitas
ekonomi dalam rangka melindungi hak-hak masyarakat dari ancaman kezaliman para
pelaku bisnis yang ada, dan untuk kepentingan manfaat yang lebih besar. Dalam kaitan ini, maka intervensi negara dalam kegiatan
ekonomi bertujuan menghapuskan kemiskinan sebagai
kewajiban negara. Bagi Ibnu Taymiyah, seseorang harus hidup sejahtera dan tidak
tergantung pada orang lain, sehingga mereka bisa memenuhi sejumlah kewajibannya
dan keharusan agamanya.[77]
Secara politik, negara memiliki kekuasaan untuk
mengontrol harga dan menetapkan besarnya upah pekerja, demi kepentingan publik.
Ibnu Taimiyah tidak menyukai pengawasan harga dilakukan dalam keadaan normal.
Sebab pada prinsipnya penduduk bebas menjual barang-barang mereka pada tingkat
harga yang mereka sukai. Melakukan penekanan atas masalah ini akan melahirkan
ketidakadilan dan menimbulkan dampak negatif, di antaranya para pedagang akan
menahan diri dari penjual barang pun atau menarik diri dari pasar yang ditekan
untuk menjual dengan harga terendah, selanjutnya kualitas produk akan merosot
yang akan berakibat munculnya pasar gelap.
Penetapan
harga yang tidak adil akan mengakibatkan timbulnya kondisi yang bertentangan
dengan yang diharapkan, membuat situasi pasar memburuk yang akan merugikan
konsumen. Tetapi harga pasar yang terlalu tinggi karena unsur kezaliman, akan
berakibat ketidaksempurnaan dalam mekanisme pasar. Usaha memproteksi konsumen
tak mungkin dilakukan tanpa melalui penetapan harga, dan negaralah yang
berkompeten untuk melakukannya. Namun, penetapan harga tak boleh dilakukan
sewenang-wenang, harus ditetapkan melalui musyawarah. Harga ditetapkan dengan
pertimbangan akan lebih bisa diterima oleh semua pihak dan akibat buruk dari
penetapan harga itu harus dihindari.[78]
Karena itu, Kontrol atas harga dan upah buruh, keduanya ditujukan untuk
memelihara keadilan dan stabilitas pasar. [79]
2. Pasar
Bebas Islami
Dalam al-Qur’an dan hadits dapat ditemukan beberapa istilah
yang menunjukkan makna “pasar bebas” atau “perdagangan” secara umum, seperti “al-bai’”,
“al-tijarah” dan “isytara” dengan berbagai bentuk derivasinya. Istilah
tersebut mengandung makna yang beragam. Dalam konteks pasar bebas, maka jual
beli atau perdagangan yang berintikan adanya pertukaran barang atau jasa
mengandung unsur kebebasan pada setiap transaksinya, namun tercatat secara
administratif dengan baik. Dalam hal ini, kebebasan transaksi ataupun jenis
barang yang dijadikan komoditi pada perdagangan bebas dilandasi oleh
nilai-nilai etis-religius. Di samping itu, para pelaku bisnis tidak melupakan
kewajibannya sebagai seorang muslim, seperti mendirikan shalat dan menafkahkan
sebagian hartanya di jalan Allah, dan transaksi yang dilakukan tidak mengandung
unsur ribawi.
Di
samping itu, perdagangan bebas yang dilakukan selalu mengacu pada koridor
keimanan, bukan dijual dengan kekafiran. Kebijakan yang diambil berkaitan
dengan perdagangan bebas tidak merugikan kehidupan masyarakat dengan retorika
yang menyesatkan manusia, seperti isu kemanusiaan, lingkungan, dan terorisme,
namun kenyataannya untuk mencapai tujuan negatif yang terselubung dalam
kebijakan tersebut.
Dalam
fiqih mu’amalah, jual beli atau perdagangan merupakan pertukaran harta (benda)
dengan harta berdasarkan cara khusus (yang dibolehkan) dengan tujuan
kepemilikan. Kebebasan bertransaksi pada jenis barang dan cara yang dilakukan
telah diatur dalam ajaran Islam. Perdagangan bebas yang Islami dilandasi oleh
etika berbisnis yang diatur dalam al-Qur’an dan hadits, seperti dicontohkan
dalam kiprah Nabi sebagai seorang saudagar yang sukses.
Ekonomi
Islam tetap konsisten memotong segala tindakan dan rekayasa yang membuat harga
naik-turun tidak alami lagi. Karena itu, Islam melarang ihtikar (penumpukkan
barang, agar langka dan harga naik), mengharamkan talaqi rukban
(memborong barang dengan harga di bawah standar sebelum sampai di pasar), tala’ub
bi al-tsaman (mempermainkan harga), taghrir (menipu dalam
jual-beli), riba, najs (calo, pura-pura menawar untuk menipu pembeli
agar membayar dengan harga yang lebih tinggi), tashriyah (tidak memerah
susu binatang agar dianggap selalu bersusu banyak), dan sebagainya. Jadi,
segala tindakan negatif, baik oleh penjual maupun pembeli, yang akan
menimbulkan stabilitas pasar menjadi terganggu dengan naik-turunnya harga yang
tidak lagi alami, tidak diperkenankan dalam praktek ekonomi Islam.
Pasar
bebas harus dapat dikendalikan agar terjamin kesetimbangan sosial. Kualitas
kesetimbangan ini akan mengendalikan semua segi tindakan manusia – sebagai
faktor terpenting atas perilaku ekonomi. Hal ini dapat dianalisis; pertama, hubungan dasar antara
konsumsi, produksi, dan distribusi akan berhenti pada suatu kesetimbangan
tertentu, untuk menghindari pemusatan kekuasaan ekonomi dalam genggaman
segelintir orang (monopoli yang eksploitatif); kedua, keadaan
perekonomian yang dipengaruhi pola perdagangan bebas harus konsisten dengan
distribusi pendapatan dan kekayaan secara merata serta tidak semakin menyempit (QS. 59:7).[80]
Dalam hal ini, Islam melarang pula penimbunan kekayaan (QS. 4:37), sekaligus melarang
konsumsi yang melampaui batas dan memuji kebajikan infak (QS. 2:195).
Kebijakan
pasar bebas lebih rasional dan dapat dipilih suatu negara daripada kebijakan
perdagangan proteksi yang dapat merintangi alokasi sumber daya yang paling
efisien yang ada di dunia. Hal ini dapat dipahami, sebab setiap negara akan
menghasilkan barang yang diproduksi berdasarkan keuntungan alami dan keuntungan
yang diperoleh, kemudian mereka menghasilkan barang ini lebih banyak daripada yang diperlukan untuk kebutuhannya
sendiri, dengan saling mengadakan pertukaran surplus barang yang kurang cocok
dihasilkan dengan negara lain atau barang yang tidak dapat diproduksinya sama
sekali.
Perkembangan
ekonomi global memiliki implikasi terhadap kesejahteraan negara. Batas dan kekuatan negara-bangsa semakin memudar,
memencar kepada lokalitas, organisasi-organisasi
independen, masyarakat madani, badan-badan supra-nasional (seperti
NAFTA atau Uni Eropa), dan perusahaan-perusahaan multinasional. Mishra (2000) dalam bukunya Globalization and Welfare State menyatakan bahwa globalisasi telah membatasi kapasitas
negara-bangsa dalam melakukan perlindungan sosial. Lembaga-lembaga internasional seperti Bank Dunia dan Dana
Moneter Internasional (IMF) menjual
kebijakan ekonomi dan sosial kepada negara-negara berkembang dan negara-negara Eropa Timur agar
memperkecil pengeluaran pemerintah,
memberikan pelayanan sosial yang selektif dan terbatas, serta menyerahkan
jaminan sosial kepada pihak swasta.
Pembangunan ekonomi sangat penting bagi kesejahteraan.
Secara global dan khususnya di
negara-negara industri maju, pertumbuhan ekonomi telah memperkuat integrasi dan solidaritas sosial, serta memperluas
kemampuan dan akses orang terhadap pelayanan
kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan perlindungan sosial. Faktanya, dalam 30-40 tahun terakhir telah terjadi
peningkatan standar hidup manusia secara
spektakuler: usia harapan hidup semakin panjang, kematian ibu dan bayi
semakin menurun, kemampuan membaca dan angka partisipasi sekolah juga semakin membaik. Namun demikian, di banyak negara
berkembang, globalisasi dan ekonomi
pasar bebas telah memperlebar kesenjangan, menimbulkan kerusakan lingkungan,
menggerus budaya dan bahasa lokal, serta memperparah kemiskinan.[81]
Kebijakan privatisasi, pasar bebas dan ‘penyesuaian
struktural’ (structural adjustment) yang ditekankan lembaga-lembaga internasional telah
mendorong negara-negara berkembang ke dalam situasi
dimana populasi miskin mereka hidup tanpa
perlindungan. Meskipun pertumbuhan ekonomi penting, tetapi ia tidak secara otomatis melindungi rakyat dari berbagai resiko
yang mengancamnya. Oleh karena itu,
beberapa negara berkembang mulai menerapkan kebijakan sosial yang menyangkut pengorganisasian skema-skema jaminan
sosial, meskipun masih terbatas dan
dikaitkan dengan status dan kategori pekerja di sektor formal. Di beberapa negara, jaminan sosial masih menjangkau
sedikit orang. Tetapi, beberapa negara lainnya tengah menunjukkan
perkembangan yang menggembirakan.
Karena
demikian, pembangunan ekonomi perlu dilandasi dengan nilai-nilai moral,
terutama aspek perdagangan yang menjadi sumber devisa negara. Perdagangan,
dalam konteks syari’ah, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan
manusia dalam bermu’amalah. Dalam arti, hubungan manusia dengan manusia yang
lain memiliki ruang yang bebas, namun
hubungan ini memiliki nilai transenden sebagai bentuk kegiatan ekonomi
yang kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Allah. Jadi, kebebasan manusia,
realitas ekonomi, dan akuntabilitas kepada Allah menjadi kerangka kerja bagi
para pelaku bisnis, sehingga perdagangan yang dilakukan tidak dapat dilepaskan
dari bagaimana niat – amal (aksi) - tujuan perdagangan. Realitas inilah yang mendasari perdagangan
bebas harus dikonsepsikan dari epistemologi tauhidi – dalam arti kegiatan
perdagangan berkaitan erat dengan konsep ketuhanan, yaitu Allah sebagai
Realitas Absolut, yang mencakup prinsip-prinsip:[82]tauhid
(QS. 41:53, 12:40,6:162), rububiyah, khilafah (QS. 2:30, 35:39), tazkiyah,
dan akuntabilitas (QS. 4:85, 10:108).
Dalam
era pasar bebas, kegiatan ekonomi yang dilakukan bisa saja tidak memperhatikan
masalah etika yang dapat mengakibatkan sesama pelaku ekonomi akan bertabrakan
kepentingannya, sehingga kondisi ini bisa jadi menciptakan kekuatan yang dapat
menghancurkan pelaku ekonomi lain. Karena itu, etika bisnis Islam menjadi kerangka acuan sebagai bentuk
moralitas pelaku ekonomi. Etika bisnis ini dapat mencegah terjadinya distorsi
pasar, sehingga berbagai bentuk larangan praktek ekonomi memberikan mashlahah
bagi kehidupan manusia secara utuh. Dalam ekonomi Islam, praktek perdagangan
yang dilarang antara lain penimbunan barang (ihtikar), penetapan
harga (tas’ir), riba, tadlis, jual beli gharar, tindakan melambungkan harga.
E. Penutup
Institusi hisbah merupakan lembaga pengawas
pasar yang mengalami transformasi menjadi institusi keagamaan yang
merepresentasikan suatu peran sosial dan ekonomi dalam mengantisipasi perubahan
gaya hidup para pelaku pasar seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan
kota-kota Islam yang berdampak pada kemerosotan moral masyarakat. Fenomena ini
justru memunculkan beberapa karya tentang hisbah selama seratus tahun atau
lebih, yang menjadi perhatian para sejarawan sosial muslim Abad Pertengahan di
Timur Tengah dan Maghrib.
Mekanisme pasar merupakan
cara bekerjanya pasar berdasarkan pada sistem
pasar yang ada untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang bersifat material. Karena
itu, politik ekonomi Islam memiliki
pandangan bahwa pasar, negara, dan individu berada dalam keseimbangan. Pemerintah
mempunyai peran yang sama dengan pasar, yaitu mengatur dan mengawasi aktivitas
ekonomi, memastikan kompetisi di pasar berlangsung dengan sempurna, serta
menjamin informasi yang merata dan keadilan ekonomi.
Dalam perspektif global,
globalisasi dan pasar bebas menjadi hal penting yang diasumsikan dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sehingga moralitas perilaku pasar yang
diimplementasikan melalui etika bisnis menjadi aspek yang dominan dalam
mewujudkan keadilan pasar. Dalam hal ini,
epistemologi tauhidi memberikan landasan filosofisnya berupa prinsip tauhid,
rububiyah, khilafah, tazkiyah, dan akuntabilitas, yang dapat
membentuk moralitas perilaku pasar berupa bertindak dengan jujur dan benar,
bertindak sederhana dalam hidup, tidak bertindak curang dan menipu dalam
bisnis, sekaligus pula menghindari diri dari tindakan ihtikar, tas’ir, riba,
tadlis, jual beli gharar, dan tindakan melambungkan harga.
Eksistensi lembaga hisbah
ini dapat diimplementasikan dalam bentuk lembaga-lembaga pemerintah di bidang
ekonomi dan politik ataupun lembaga ekonomi dunia yang berperan menjamin
terciptanya keadilan pasar dengan mengawasi para pelaku pasar dari segala
tindak kejahatan ekonomi baik dalam skala nasional maupun internasional.
Kasus-kasus pencucian uang, perdagangan gelap, traficking, dan
sebagainya menjadi bukti pentingnya keberadaan lembaga hisbah atau apapun
namanya di era globalisasi ekonomi dan pasar bebas.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Yusuf. Kitab al-Kharaj. Beirut: Dar
al-Ma’arif, 1979.
Adam Mez. Renaissance of Islam, Eng. trans. of Khuda Bakhsh.. Patna: t.p., 1937.
Adam, Rainer, dkk. Persaingan dan Ekonomi
Pasar di Indonesia. Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung-Indonesia, 2006.
Ahmad,
Khurshid (ed.). Studies in Islamic Economics. Jeddah: King Abdul
Aziz University, 1980.
Ahmad, Mustaq. Business Ethics in Islam. Pakistan:
International Institute of Islamic Thought, 2001.
Ahmed, Ziauddin, etc. Fiscal Policy and
Resource Allocation in Islam. Jeddah: King Abdul Aziz University &
Islamabad: Institute of Policy Studies, 1996.
Akram Khan, Muhammad, ed. Economic Teachings
of Prophet Muhammad (pbuh): A Select Anthology of Hadith Literature on
Economics. Karachi: Da>r al-Isha>t, t.t.
Al-Afghanī, Sa’id. Aswaq
al-‘Arab. Damascus: t.p., 1937.
Al-Assal, A. Muhammad.dan Fathi Abd. Karim. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus,
1999.
Al-Darimy. Sunan al-Darimiy. Beirut: Dar
al-Fikr, 1998.
Al-Ghazali.
Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Fikr, 1998.
Ali Nashif, Manshur. al-Taj al-Jami’ li
al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, Penerjemah: B. Abu Bakar, Mahkota
Pokok-pokok Hadits Rasulullah Saw. Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1993.
Al-Jahiz, Kitab al-Qiyan. The Life and Works of Jahiz (Eng. trans. D.M. Hawke).
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali. Adab al-Dunya
wa-al-Din. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali. al-Ahkam al-Sulthaniyah
wa-Wilayat al-Diniyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali. Tashil al-Nadzar
wa-Ta’jil al-Dzafr fi Akhlaq al-Malik. Beirut: Dar al-Nashr/Dar al-Nahdhah
al-‘Arabiyah, 1981.
Al-Naysabūrī, Da‘ī Ahmad. Risalat al-Mūjazat al-Kafiyah fi Adab
al-Du‘at, pada Klemm. Die Mission
des Fatimidischen Agenten al-Mu’ayyad. Frankfurt: t.p., 1989.
Al-Qadhī al-Nu‘man. Kitab al-Himma fī Adab Atba‘ al-A’imma,
ed. M.K. Husayn. Cairo:t.p.,t.t.
Al-Qazwini. Sunan Ibnu Majah. Beirut: Dar al-Fikr, 1995.
Al-Rayyis, Dia’u al-Dina. al-Kharaj and the
Financial Institutions of the Islamic Empire. Cairo: the Anglo Egyptian
Library, 1961.
Al-Syathibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat
fi Ushul al-Syari‘ah. Cairo: al-Maktabah al-Tijaniyah al-Kubra, 1975.
Al-Syaybani
Ibn al-Dayba‛, Abd al-Rahman bin Ali. Kitab Bughyah al-Arbah fi Ma‛rifat Ahkam
al-Hisbah. Makkah:
Markaz Ihya' al-Turath al-Islami, Umm al-Qura University, 2001.
Al-Syaiyzari, Abd al-Rahman bin Nashr. Nihayat
al-Rutbah fi Thalab al-Hisbah. Kairo: Mathba’ah li Jannat al-Ta’lif, 1936.
Al-Syarbini. al-Iqna’. Mesir: Musthafa
al-Bab al-Halbi, 1975.
Al-Thabari, Abu Ja’far. Tarikh al-Thabari. Beirut:
Dar al-Fikr al-Arabi, 1987.
Al-Tanūkhī, Qadhi. Nishwar al-Muhadarah. London: t.p., 1921.
Al-Zaydi,
al-Nashir li al-Haqq. Kitab
al-Ihtisab, R.B. Sergeant,“A
Zaydī Manual of Hisba of the Third Century (H.)”, Rivista degli Studi Orientali,
28 (1953).
Amedroz, H.F. “The Hisba
Jurisdiction in the Ahkam
al-Sulthaniyah of al-Mawardī,” Journal of the Royal
Asiatic Society (1916).
Azmi, Sabahuddin. Islamic Economics: Public
Finance in Early Islamic Thought . New Delhi: Goodword Books, 2002.
Boadway, Robin W. dan Neil Bruce. Welfare
Economics. Oxford: Basil Blackwell, 1984.
Cook, Michael. Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic
Thought. Cambridge : Cambridge
University Press, 2000.
Deliarnov. Perkembangan
Pemikiran Ekonomi. Jakarta: PT Raja Grafindo Prada, 2005.
Essid, Yassine. A Critique of The Origins of
Islamic Economic Thought. Leiden: E.J. Brill, 1995.
Fahd, T. “Les Corps de Métiers au IV/Xe Siécle a Bagdad”, Journal of the Economic and Social
History of the Orient, VIII, pt. II (Nov. 1965).
Fradkin, Hillel, et.al. (eds.). Current
Trends in Islamist Ideology. Hudson Institute: Center on Islam, Democracy,
and the Future of the Modern World, 2008.
Frank, Robert. Microeconomics and Behavior. New York: McGraw Hill, 1994.
Gaudefroy-Demombynes,
Maurice. Muslim
Institutions. London: University of
London, 1950.
Goitein, S.D. Studies in
Islamic History and Institutions. Leiden: University of Leiden, 1968.
Gottlieb, M. A Theory of Economic Systems.
New York NY: Academic Press. Inc., 1984.
Green, Marshal Green. The Economic Theory. Terj. Ariswanto. Buku
Pintar Teori Ekonomi. Jakarta: Aribu Matra Mandiri, 1997.
Hamdani, Ikhwan. Sistem Pasar . Jakarta:
Nurinsani, 2003.
Hodgson, Marshall and Burke, Edmund. Rethinking World History: Essays on Europe, Islam and World History. Cambridge:
Cambridge University Press, 1993.
Hodgson, Marshall G. S. The Venture of Islam. Chicago: The University of Chicago
Press, 1974.
Holland,
Muhtar. Public
Duties in Islam: The Institution of the H{isbah. Leicester, The Islamic Foundation, 1982.
Hourani, A.H. dan S.M.
Stern (eds.). The
Islamic City. Oxford: Oxford
University, 1970.
Ibn
al-Dayba, Abd al-Rahman bin Ali al-Shaybani. Kitab
Bughyah al-Arbah fi Ma‛rifat Ahkam al-Hisbah. Makkah: Markaz Ihya' al-Turath al-Islami, Umm
al-Qura University, 2001.
Ibn al-Mubarrad, Ibn ‘Abd
al-Hadī. Kitab
al-Hisba., Habīb Zayya, eds. al-Khazanat al-Sharqiyya. Beirut: Dar al-Fikr, 1937.
Ibn al-Ukhuwwah. Ma‘alim al-Qurba fī Ahkam al-Hisbah. London: Gibb Memorial Series., 1938.
Ibn Athir.
al-Kamil fi al-Tarikh. Beirut: Dar al-Shadr dan Dar, 1966.
Ibn Jawzi. al-Muntadzam
fi Tarikh al-Muluk wa-al-Umam. Hyderabad: Mat{ba’ah Da’irat al-Ma’arif
al-‘Uthmaniyah, 1359/1941.
Ibn Khaldun. al-Muqaddimah Ibn Khaldun. Cairo:
Dar Ibn al-Haitham, 2005/1426.
Ibn Khilikan. Wafayat al-A’yan wa-Anba’ Abna’ al-Zaman. Cairo: Maktabah al-Nahdah,
1949.
Ibn Taymiyah. al-Hisbah fi al-Islam. Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.
Ibn Taymiyah. al-Siyasah al-Syar’iyah fi Ishlah
al-Ra’iy wa-al-Ra’iyah. Saudi Arabia: Dar ‘Alam al-Fawa’id, t.t.
Ichimura, Shinichi, et. Al. (eds.). Transition
from Socialist to Market Economies: Comparison of European and Asian
Experience. New York; Palgrave Macmillan, 2009.
Ikhwan al-Shafa. Rasa’il Ikhwan al-Shafa. Beirut:
Dar al-Fikr, 1957.
Iqbal, Munawar dan Ausaf Ahmad (ed.).
Islamic Finance
and Economic Development. New
York: Palgrave MacMillan, 2005.
Islahi,
Abdul Azim. Contributions
of Muslim Scholars to the History of Economic Thought and Analysis. Jeddah: Scientific Publishing
Centre, KAAU, 2005.
Islahi, Abdul Azim. Economic Concepts of
Ibnu Taimiyah. United Kingdom: The Islamic Foundation, 1996.
Islahi, Abdul
Azim. Konsep Ekonomi Ibnu Taymiyah. Terj.Anshari Thayyib. Surabaya: Bina Ilmu, 1997.
Izzi Dien, M. The Theory and the Practice of Market Law in
Medieval Islam: A Study of Kitab Nisab al- Ihtisab of Umar b. Muhammad al- Sunami. London, 1997.
Kahf, Monzer.The Early Islamic Public
Revenue System" (Lessons and Implications) . Jeddah: IRTI, 1987.
Karim, Adiwarman. Kajian
Ekonomi Islam Kontemporer. Jakarta: TIII, 2003.
Lapidus, Ira M. Muslim Cities in the Later Middle Ages. Berkeley, 1967.
Latham, J.D.“Observations
on the text and translation of al-Jarsīfī’s treatise on ‘Hisba”.” Journal
of Semitic Studies, 5, 1960.
Lewis, Bernard.“The
Islamic Guilds,” Economic
History Review. London, VIII (1937).
Mahmud Ra’ana, Irfan. Economic System Under
Umar The Great. Lahore: Sh. Muhammad Ashraf, 1991.
Mamour. Polemics on the Origin of the Fathimī Caliphs. London:
University of London, 1934).
Mannan, M.A. Islamic Economics: Theory and
Practice. Pakistan: Shah Muhammad Ashraf Publishers, Lahore, 1991.
Margolis, J. & H. Guitton (eds.). Public
Economics. New York: St. Martin Press, 1969.
Martin, Isaac William, et.al. (eds.). The
New Fiscal Sociology: Taxation in Comparative and Historical Perspective. New
York: Cambridge University Press, 2009.
Mishra, Ramesh. Globalization and the Welfare State.
London: McMillan, 2000.
Mubyarto. Membangun
Sistem Ekonomi. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2000.
Musgrave, Richard A. & Peggy B. Musgrave. Public
Finance in Theory and Practice. Singapore: McGraw Hill, 1987.
Mushtafa Musharrifa,
Atiyya, “Al-Muhtasib fī Ayyam al-Dawla al-Fathimiyya,” Majallat alAzhar, 1948.
Naqvi, Haider. Ethics and Economics: an
Islamic Synthesis. London: The Islamic Foundation, 1981.
Qureshi, Anwar Iqbal. Fiscal System of
Islam. Lahore: Institute of Islamic Culture, 1978.
Rahman, Afzalur. Economic Doctrines of Islam. Terj. Suroyo Nastangin, Doktrin Ekonomi
Islam. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1996.
Rasul, Ali Abdur. al-Mabadi al-Iqtishadiyah fi
al-Islam. Kairo, Dar al-Fikr al-‘Araby, t.t.
Roncaglia, Alessandro. The Wealth of Ideas:
a History of Economic Thought. New York: Cambridge University Press, 2006.
Rostows, W. The Stages of Economic Growth, a
Non-Communist Manifesto. Cambridge: Cambridge University Press, 1967.
Salanie, Bernard. Microeconomics of Market
Failure. Cambridge MA: MIT Press, 2000.
Schumpeter, J.A. Capitalism, Socialism amd
Democracy. New York: Harper & Row, 1950.
Screpanti, Ernesto and Stefano Zamagni. an
Outline of the History of Economic Thought. New York: Oxford University
Press, 2005.
Shackle, G.L.S. Epistemics and Economics. Cambridge,
Eng: Cambridge University Press, 1972.
Shaikh Ahmad, Mahmud. Economics of Islam: A
Comparative Study. Pakistan:Shah Muhammad Ashraf Publishers, Lahore, 1995.
Siddiqie, S.A. Public Finance in Islam. Lahore:
Sh. Muh. Ashraf, 1948.
Siddiqui, M.N. “Monetary Policy – A Review.” International
Centre for Research in Islamic Economics. Jeddah: Kind Abdul Aziz
University Press, 1982.
Siddiqui, M.N. Role of the State in the
Economy:-An Islamic Perspective. The Islamic Foundation, UK., 1996.
Siddiqui, M.N. The Economic Entreprise in
Islam. Lahore: Islamic Publication, ltd, 1998.
Small, Albion W. Adam Smith and Modern
Sociology: a Study in the Methodology of the Social Science. Kitchener-Batoche
Books, 2001.
Smith, Adam. An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations. (New Rochelle, N.Y : Arlington House, 1966.
Spicker,
Paul. Poverty and the Welfare State:
Dispelling the Myths. London: Catalyst, 2002.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga .
Jakarta: Erlangga, 2003.
Umar Chapra, M. The Future of Economics: An
Islamic Perspective. Leicester: The Islamic Foundation, 2000.
Wallerstein, I. The Capitalist
World-Economy. New York: Cambridge University Press, 1979.
Warde, Ibrahim. Islamic Finance in the
Global Economy. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2000.
Wickens, G.M. “Al-Jarsīfī
on the Hisba.” Islamic
Quarterly 3, 1956.
Winer, S. and H. Shibata (eds.), Political
Economy and Public Finance: The Role of Political Economy in the Theory and
Practice of Public Economic. Cheltenham U.K.: Edward Elgar Publishers,
2002.
Woodhouse, Mark B. A Preface to Philosoph. California: Wordworth Publishing Company, 1984.
Yaqut al-Hamawi. Kitab Irsyad al-Arib ila Ma’rifah al-Adib. Cairo: Mat{ba’ah Hindia,
1926.
Yustika, Ahmad Erani. Ekonomi Kelembagaan: Defenisi, Teori dan Strategi. Jawa Timur: Bayu
Media Publishing, 2006.
Yusuf, S.M.
Economic Justice in Islam.
Lahore, Muhammad Asyraf, 1971.
Zastrow, Charles H. Introduction
to Social Work and Social Welfare. Pacific Grove:
Brooks/Cole, 2000.
Ziadeh, Nicola. al-Hisbah wa al-Muhtasib fi al-Islam. Beirut: Catholic Press, 1963.
[1] N.
Gregory Mankiw, Pengantar Ekonomi Makro
(Jakarta: Salemba Empat, 2006), 11.
[2]
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 40.
[3] Baca
Adam Smith, An Inquiry into the Nature
and Causes of The Wealth of Nations (New
Rochelle,, N.Y : Arlington House, 1966).
[4] Buku Karl Marx yang terkenal adalah Das Capital terbit tahun 1867 dan Manifesto Comunis terbit tahun 1848.
[5] Nicola
Ziadeh, al-Hisbah wa
al-Muhtasib fi al-Islam (Beirut: Catholic Press, 1963), 32.
[6] A.Islahi, Konsep
Ekonomi Ibnu Taymiyah, terj.Anshari Thayyib, (Surabaya:
Bina Ilmu, 1997), 104-108.
[7]
Mubyarto, Membangun Sistem Ekonomi
(Yogyakarta: BPFE-, 2000), 100.
[8] Adiwarman Karim, Kajian Ekonomi Islam Kontemporer (Jakarta:
TIII, 2003), 76. Baca pula Abdul
Azim Islahi, Contributions
of Muslim Scholars to the History of Economic Thought and Analysis (Jeddah:
Scientific Publishing Centre, KAAU, 2005).
[9] Michael Cook, Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thought (Cambridge University Press, 2000), 34-44.
[10] Lebih
lanjut baca sejarah pasar di Arab pada Sa‘id
al-Afghanī, Aswaq al-‘Arab (Damascus: t.p., 1937), 21-45.
[11] S.D. Goitein, Studies in Islamic History and
Institutions (Leiden: University of Leiden, 1968), Chapter XI, “The Rise of the Middle Eastern Bourgeoisie in Early
Islamic Times”, 217-241.
[12] Sa‘īd al-Afghanī, Aswaq al-‘Arab , 46-59.
Baca pula Hodgson, Marshall and
Burke, Edmund (1993) Rethinking World
History: Essays on Europe,
Islam and World History (Cambridge:
Cambridge University Press, 1993), 167-190.
[13] S.D. Goitein, Studies in Islamic History and
Institutions, 217-241.
[14] Adam Mez: Renaissance of Islam, Eng. trans. of Khuda Bakhsh, (Patna: t.p.,
1937), 353-408. Baca pula Abdul Azim Islahi, Contributions of Muslim Scholars to the History of
Economic Thought and Analysis (Jeddah, Scientific Publishing Centre, KAAU, 2005).
[15]
Informasi tentangperkembangan kota-kota pada masa kemajuan Islam dapat dibaca
sumber-sumber sejarah yang standar, misalnya Ibn Athir, al-Kamil fi al-Tarikh (Beirut: Dar al-Shadr dan Dar Beirut, 1966),
Ibn Khilikan, Wafayat al-A’yan wa-Anba’
Abna’ al-Zaman (Cairo: Maktabah al-Nahdhah, 1949), Ibn Jawzi, al-Muntadzam fi Tarikh al-Muluk wa-al-Umam (Hyderabad:
Mathba’ah Da’irat al-Ma’arif al-‘Uthmaniyah, 1359/1941), dan Yaqut al-Hamawi, Kitab
Irshad al-Arib ila Ma’rifah al-Adib (Cairo: Mathba’ah Hindia, 1926).
[16] Ikhwan
al-Shafa, Rasa’il Ikhwan al-Shafa (Beirut: Dar al-Fikr, 1957), vol. I,
258-295.
[17] Abu Sa‘īd al-Dinawarī, Al-Qadirī fi’l-Ta‘bīr
(c. 397/1006). Baca pula T. Fahd, “Les Corps de Métiers au IV/Xe Siécle a Bagdad”, Journal of the Economic and Social History of the Orient, VIII, pt. II (Nov. 1965), 186-212.
[18] Bernard Lewis, “The Islamic Guilds,” Economic History Review, London, VIII (1937), 20-37, dan Origins of Isma‘īlism
(Cambridge, U.K., 1960), (Chapter IV: “The Social Significance of Isma‘īlism”), 90-100 .
[19] Emile Tyan, Histoire de l’organisation judicaire en pays d’Islam
(Leiden: University of Leiden, 1960); Vol. II,
chapter 3 pada bagian “police” dan chapter 4 pada bagian “hisba”. Karya Tyan ini diringkas dengan baik oleh Maurice Gaudefroy-Demombynes, Muslim Institutions (London: University of London, 1950), Chapter 10 (Justice),
148-158.
[22] Nicola Ziadeh, al-Hisbah wa-al-Muhtasib fi
al-Islam, 106-115. H.F. Amedroz,
“The Hisba Jurisdiction in the Ahkam al-Sulthaniyah of al-Mawardī,” Journal of the Royal Asiatic Society (1916), 77-101, 287-314.
[23] Nicola Ziadeh, al-Hisbah wa-al-Muhtasib fi
al-Islam, 106-115.
[24]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1998), vol. II, 285-287.
[25] Al-Qadhī al-Nu‘man, Kitab al-Himma fī Adab Atba‘ al-A’imma, ed. M.K. Husayn,
(Cairo:t.p.,t.t.), 132.
[26] Da‘ī Ahmad al-Naysabūrī, Risalat al-Mūjazat al-Kafiyah fi adab al-Du‘at, pada Klemm, Die Mission des Fatimidischen Agenten al-Mu’ayyad (Frankfurt:
t.p., 1989).
[27] Al-Jahiz, Kitab al-Qiyan (ed. Finkel in Three Essays, 53-75). Lihat
pula Cf. Pellat, The Life and Works of Jahiz (Eng.
trans. D.M. Hawke), 259- 268 dan 271.
[28] Lihat Essid, Y., A Critique of
the Origins of Islamic Economic Thoughts (Leiden, 1995), 176-180.
[30] Tulisan
dari al-Jarsīfī dapat dibaca G.M. Wickens,
“Al-Jarsīfī on the Hisba,” Islamic Quarterly 3 (1956), 176-187. Lihat pula
J.D. Latham, “Observations on the text and translation of al-Jarsīfī’s treatise on ‘Hisba”,
Journal of
Semitic Studies, 5 (1960),
Manchester, 124-143.
[31] Ibn ‘Abd al-Hadī, Ibn al-Mubarrad, Kitab al-Hisba, pada Habīb Zayya, al-Khazanat al-Sharqiyya (Beirut: Dar al-Fikr, 1937), II, 112.
[32] Qadhi
al-Tanūkhī, Nishwar
al-Muhadarah (London: t.p., 1921), 158-164. Lihat juga penafsiran dalam Bahasa
Inggris oleh Margoliouth, “The Table-talk of a Mesopotamian Judge,” Islamic Culture, III (Oct. 1929), 487-522, VI (Jan. 1932), 47-66
[33] Baca M.
Izzi Dien, The
Theory and the Practice of Market Law in Medieval Islam: A Study of Kitab Nisab al- Ihtisab of
Umar b. Muhammad al- Sunami (London, 1997), 167-197.
[34] Nicola Ziadeh, al-Hisbah wa-al-Muhtasib fi
al-Islam, 120-124.
[35]
Al-Mawardi, Tashil al-Nadzar wa-Ta’jil al-Zafr fi Akhlaq al-Malik (Beirut:
Dar al-Nashr/Dar al-Nahdhah al-‘Arabiyah, 1981), 80.
[36] Tokoh
pendiri ekonomi kapitalis adalah Adam Smith (1723-1790) dengan bukunya An Inquiry into the Nature and Causes of The
Wealth of Nations (New Rochelle,
N.Y : Arlington House, 1966).
[37]
Shinichi Ichimura, et. al (eds.), Transition from Socialist to Market
Economies: Comparison of European and Asian Experience (New York; Palgrave Macmillan,
2009), 145-227.
[38] Abdul
Azim Islahi, Economic Concepts of Ibnu Taimiyah, 180-181.
[39] Lihat
M. Nejatullah Siddiqi, Role of the State in the Economy:-An Islamic
Perspective (The Islamic Foundation, UK.), 1996.
[40] M. Nejatullah Siddiqi, Role of the State
in. the Economy, 36-37.
[41] Lihat
S.M.Yusuf, Economic Justice in Islam (Lahore, Muhammad Asyraf, 1971), 69.
[42] Irfan
Mahmud Ra’ana, Economic System Under Umar The Great (Lahore: Sh.
Muhammad Ashraf, 1991).
[43] Lihat Abdul Azim Islahi, Contributions of Muslim Scholars to the History
of Economic Thought and Analysis (Jeddah:Scientific Publishing Centre, KAAU,
2005). Lihat pula M.N. Siddiqui, Monetary Policy – A Review.” International
Centre for Research in Islamic Economics (Jeddah: Kind Abdul Aziz
University Press, 1982).
[44] Ibn Taymiyyah, al-Hisbah fi al-Islam (Cairo: Dar al-Sha‘b, 1976). English translation
by Holland, Muhtar Public
Duties in Islam: The Institution of the H{isbah, Leicester, The Islamic Foundation, 1982),
16.
[45] M. Holland, Public
Duties in Islam, 15-19. Lihat pula M. Nejatullah Siddiqi, Role
of the State in the Economy, 45-49 dan Yassine Essid, A Critique of The
Origins of Islamic Economic Thought (Leiden: E.J. Brill, 1995).
[46] Lihat
Ibrahim Warde, Islamic Finance in the Global Economy (Edinburgh:
Edinburgh University Press, 2000). Baca pula M. Nejatullah Siddiqi, Role of
the State in the Economy, 50-52.
[47] Nicola Ziadeh, al-Hisbah wa al-Muhtasib fi al-Islam (Beirut: Catholic Press, 1963). Lihat pula Muhammad
Akram Khan, “al-Hisba and the Islamic Economy”. In Public Duties in Islam (Leicester:
The Islamic Foundation, 1982).
[48] Abd al-Rahman bin Ali al-Shaybani Ibn
al-Dayba‛, Kitab
Bughyah al-Arbah fi Ma‛rifat Ahkam al-Hisbah (Makkah: Markaz Ihya' al-Turath al-Islami, Umm
al-Qura University, 2001). Baca pula M.
Nejatullah Siddiqi, Role of the State in. the Economy, 67.
[49]Abd al-Rahman bin Ali al-Shaybani Ibn
al-Dayba‛, Kitab
Bughyah al-Arbah fi Ma‛rifat Ahkam al-Hisbah (Makkah: Markaz Ihya' al-Turath al-Islami, Umm
al-Qura University, 2001), 71. Bandingkan dengan M.
Nejatullah Siddiqi, Role of the State in. the Economy, 65.
[50] Lihat
Rainer Adam, dkk., Persaingan dan Ekonomi Pasar di Indonesia (Jakarta:
Friedrich Nauman Stiftung-Indonesia, 2006), 53-76, dan Michael P. Todaro dan
Stephen C. Smith, Pembangunan Ekonomi di
Dunia Ketiga (Jakarta: Erlangga, 2003), 130-156.
[51] Munawar Iqbal dan Ausaf Ahmad
(ed.), Islamic Finance and Economic Development (New York: Palgrave MacMillan, 2005), 202-214.
[52]
Hamdani, Ikhwan, Sistem Pasar
(Jakarta: Nurinsani, 2003), 13-29.
[53] I.
Wallerstein, The Capitalist
World-Economy (New York: Cambridge University Press, 1979), 91.
[54]
Shackle, G.L.S, Epistemics and Economics (Cambridge, Eng: Cambridge
University Press, 1972), 104.
[55] Umar Chapra , The Future of Economics: An Islamic Perspective (SEBI: 2001),
38.
[56]
Schumpeter, J.A., Capitalism, Socialism amd Democracy (New York: Harper
& Row, 1950), 65-78.
[57]
Rostows, W., The Stages of Economic Growth, a Non-Communist Manifesto (Cambridge:
Cambridge University Press, 1967), 36-37..
[58]
Gottlieb, M., A Theory of Economic Systems (New York NY: Academic Press.
Inc., 1984), 23-25.
[59] Baca
teori kesejahteraan ekonomi pada karya Robin W. Boadway and Neil Bruce, Welfare
Economics (Oxford: Basil Blackwell, 1984).
[60] Robert
J. Samuelson, “Pure Theory of Public Expenditure and Taxation”, pada karya J.
Margolis & H. Guitton (eds.), Public Economics (New York: St. Martin
Press, 1969), 98-123. Baca pula Bernard Salanie, Microeconomics of Market
Failure (Cambridge MA: MIT Press, 2000), 45-59.
[61] Ernesto
Screpanti and Stefano Zamagni, an Outline of the History of Economic Thought
(New York: Oxford University Press, 2005), 111-121.
[62] Mahmud
Shaikh Ahmad, Economics of Islam: A Comparative Study (Pakistan:Shah
Muhammad Ashraf Publishers, Lahore, 1995), 34-35.
[63] Abu
Yusuf, Kitab al-Kharaj (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1979), 80. Baca pula Dia’u al-Din Al-Rayyis, Al-Kharaj
and the Financial Institutions of the Islamic Empire (Cairo: the Anglo
Egyptian Library, 1961), 23-27.
[64] Ibn
Taymiyah, al-Hisbah fi al-Islam (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah,
t.t.), 2. Abdul Azim Islahi, Economic Concepts of Ibnu Taimiyah (United
Kingdom: The Islamic Foundation, 1996), 179-180.
[65]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din (Beirut: Dar al-Nadwah, t.t.), vol.
II, 135
[66]
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. II,
135-168.
[67] Ibn
Khaldun, The Muqaddimah, Penerjemah: F. Rosenthal (New York: Princeton,
1967), vol. II, 271-278.
[68]
Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa-al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 94.
[69] Baca
Abu Ishaq al-Shythibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah (Cairo:
al-Maktabah al-Tijaniyah al-Kubra, 1975), vol. 2, 6-7.
[70] Hillel
Fradkin, et.al. (eds.), Current Trends in Islamist Ideology (Hudson
Institute: Center on Islam, Democracy, and the Future of the Modern World,
2008), vol. VII.
[71]
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah wa-Wilayat al-Diniyah (Beirut: Dar
al-Fikr, 1996), 5.
[72] Ibn
Taymiyah, al-Siyasah al-Syar’iyah fi Ishlah al-Ra’iy wa-al-Ra’iyah (Saudi
Arabia: Dar ‘Alam al-Fawa’id, t.t.), 33, dan Ibn Taymiyah, al-Hisbah fi
al-Islam (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.), 2.
[73] Lebih
lanjut baca pada bagian ke-25 fi ma’na al-khilafah wa-al-imamah, Ibn
Khaldun, al-Muqaddimah Ibn Khaldun (Cairo: Dar Ibn al-Haitham,
2005/1426), 152-153.
[74] Ibn
Khaldun, al-Muqaddimah, 153.
[75]
Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, 5. Diskusi tentang ijma’ sebagai
persyaratan legalitas ima>mah dapat dibaca Abu Manshur al-Baghdadi, Ushul
al-Din (Istambul: Mathba’ah al-Dawlah, 1928), 272 dan al-Baqillani, al-Tamhid
fi al-Radd ‘ala al-Mulhid (Cairo: Dar al-Fikr al-A’rabi, 1947), 97.
[76]Muh.
al-Assal dan Fathi Abd.Karim, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta:Pustaka Firdaus,
1999), 101-102.
[79] Ibn Taimiyah, “Majmu’ al-Fatawa Ahmad bin Taimiyah
vol 29”, Riyadh, 1387 H, 469.
[80] Baca
Haider Naqvi, Ethics and Economics: an Islamic Synthesis (London: The
Islamic Foundation, 1981), 34-68.
[81] Edi
Suharto, Membangun Masyarakat
Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis
Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2005), 48.
[82]Ahmad Khurshid (ed.), Studies in Islamic Economics
(Jeddah: King Abdul Aziz University, 1980), 178-179.