PENGELOLAAN APBN DAN POLITIK ANGGARAN DI INDONESIA DALAM
PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
Aan Jaelani
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon
Abstrak
Kebijakan
pembangunan dalam era reformasi mengedepankan paradigma pembangunan manusia
yang menempatkan rakyat sebagai pelaku pembangunan dan menempatkan ekonomi
daerah sebagai wahana mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, kebijakan
pemerintah yang dituangkan dalam bentuk APBN justru berlawanan arah dengan
peran pemerintah yang semestinya mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat.
Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan metode sejarah dan
metode vestehen. Pengelolaan APBN menunjukkan peran pemerintah dalam mengatur
sumber-sumber pendapatan dan pembelanjaan publik. Praktek pengelolaan
keuangan negara telah dilakukan sejak masa Nabi Muhammad yang digunakan untuk
kepentingan pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan APBN pada era
reformasi menggunakan struktur anggaran berbasis kenirja yang bertujuan
meningkatkan kinerja pemerintahan dengan good governance yang menuntut adanya
efektifitas, efisiensi, transparan, dan akuntabel dalam pengelolaannya.
Meskipun demikian, penyalahgunaan anggaran berupa korupsi masih terjadi pada
pengelolaan APBN ini.
Policy of
promoting development in the reform era
of human development paradigm that puts people as actors
and placing local
economic development as a vehicle
for community welfare. However, government policy as outlined in the budget form precisely the
opposite direction to the proper role
of government welfare for the
community. This study used
a qualitative paradigm methods and methods
vestehen history. Management of the state budget shows the government's role in regulating the sources of revenue and public
expenditure. Financial management
practices of the country has
made since the
time of Prophet Muhammad are used for
development purposes in the
public welfare. Budget management in the
reform era kenirja using structure-based budget
that aims to improve the performance
of government with good governance that requires
the effectiveness, efficiency,
transparency, and accountability in its
management. However, the abuse of
the budget of corruption
still occurs in the
management of this budget.
Keyword:
APBN, politik anggaran, korupsi, ekonomi Islam.
A. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi global sekarang ini memiliki
implikasi terhadap kesejahteraan negara. Batas dan kekuatan
negara-bangsa semakin memudar, memencar kepada lokalitas, organisasi-organisasi independen, masyarakat madani,
badan-badan supra-nasional (seperti NAFTA atau Uni Eropa), dan
perusahaan-perusahaan multinasional. Mishra (2000)
dalam bukunya Globalization and Welfare
State menyatakan bahwa globalisasi
telah membatasi kapasitas negara-bangsa dalam melakukan perlindungan sosial.
Pembangunan ekonomi sangat penting bagi kesejahteraan.
Secara global dan khususnya di
negara-negara industri maju, pertumbuhan ekonomi telah memperkuat integrasi dan solidaritas sosial, serta memperluas
kemampuan dan akses orang terhadap pelayanan
kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan perlindungan sosial. Namun demikian,
analisis Edi Suharto, [1] pada banyak negara berkembang, globalisasi dan ekonomi pasar bebas telah memperlebar kesenjangan,
menimbulkan kerusakan lingkungan, menggerus budaya dan bahasa lokal,
serta memperparah kemiskinan.
Kebijakan privatisasi, pasar bebas dan ‘penyesuaian
struktural’ (structural adjustment) yang ditekankan lembaga-lembaga internasional telah
mendorong negara-negara berkembang ke dalam situasi
dimana populasi miskin mereka hidup tanpa
perlindungan. Meskipun pertumbuhan ekonomi penting, tetapi ia tidak secara otomatis melindungi rakyat dari berbagai resiko
yang mengancamnya. Oleh karena itu,
beberapa negara berkembang mulai menerapkan kebijakan sosial yang menyangkut pengorganisasian skema-skema jaminan
sosial, meskipun masih terbatas dan
dikaitkan dengan status dan kategori pekerja di sektor formal.
Karena
demikian, pembangunan ekonomi di Indonesia perlu dilandasi dengan nilai-nilai
moral, terutama aspek perdagangan yang menjadi sumber devisa negara.
Perdagangan, dalam konteks syari’ah dan budaya Pancasila, menjadi bagian yang
tak terpisahkan dari kehidupan manusia dalam bermu’amalah. Hubungan manusia
dengan manusia yang lain memiliki ruang yang bebas, namun hubungan ini memiliki
nilai transenden sebagai bentuk kegiatan ekonomi yang kelak akan
dipertanggungjawabkan kepada Allah. Jadi, kebebasan manusia, realitas ekonomi,
dan akuntabilitas kepada Allah menjadi kerangka kerja bagi para pelaku bisnis,
sehingga perdagangan yang dilakukan tidak dapat dilepaskan dari bagaimana
niat–amal-tujuan perdagangan. Realitas inilah yang mendasari perdagangan bebas
harus dikonsepsikan dari epistemologi tauhidi, yaitu Allah sebagai Realitas
Absolut, yang mencakup prinsip-prinsip:[2]tauhid
(QS. 41:53, 12:40, 6:162), rububiyah, khilafah (QS. 2:30, 35:39), tazkiyah,
dan akuntabilitas (QS. 4:85, 10:108).
Dalam
era pasar bebas, kegiatan ekonomi yang dilakukan bisa saja tidak memperhatikan
masalah etika yang dapat mengakibatkan sesama pelaku ekonomi akan bertabrakan
kepentingannya, sehingga kondisi ini bisa jadi menciptakan kekuatan yang dapat
menghancurkan pelaku ekonomi lain. Karena itu, etika bisnis Islam menjadi kerangka acuan sebagai bentuk
moralitas pelaku ekonomi. Etika bisnis ini dapat mencegah terjadinya distorsi
pasar, sehingga berbagai bentuk larangan praktek ekonomi memberikan mashlahah
bagi kehidupan manusia secara utuh.
Menurut
Samuelson,[3]
pemerintah telah memainkan peranan yang semakin meningkat dalam sistem ekonomi
campuran modern. Hal ini tercermin dalam (1) pertumbuhan pengeluaran
pemerintah; (2) pemerataan pendapatan oleh negara; dan (3) pengaturan langsung
dari kehidupan ekonomi. Perubahan fungsi-fungsi pemerintah tercermin dalam
kegiatan pemerintah meliputi: (1) pengawasan langsung; (2) konsumsi sosial dari
barang publik; (3) stabilitas kebijakan keuangan negara dan moneter; (4)
produksi pemerintah; dan (5) pengeluaran kesejahteraan.
Dalam
mekanismenya, pasar mengalami kesulitan dalam menciptakan alokasi sumber-sumber
ekonomi secara sempurna, sehingga mengalami kegagalan. Kegagalan pasar
tersebut, seperti diungkapkan Murray N. Rothbard,[4]
biasanya disebabkan oleh adanya common goods atau barang bersama, unsur
ketidaksempurnaan pasar, barang publik dan eksternalitas, pasar tidak lengkap (incomplete
market), keterbatasan atau kegagalan informasi, unemployment atau
pengangguran, dan adanya ketidakpastian (uncertainty).
Dalam
konteks Islam, peran negara dilakukan dalam rangka melanjutkan misi kenabian,[5]
yaitu pencapaian al-maqashid al-shari‘ah (tujuan-tujuan syari‘ah).[6]
Negara sebagai agen Tuhan untuk merealisasikan al-maqashid al-shari‘ah. Sebagai
contoh, pada negara Islam pengalokasian sumber-sumber daya yang tidak sesuai
dengan tujuan syara’ tidak dibenarkan. Karena itu, penerimaan keadilan dan
persamaan menjadi komponen esensial dalam kebijakan publik (public policy). Jadi,
kemaslahatan yang mengacu pada pemenuhan kebutuhan masyarakat menjadi kata
kunci.
Demikian
pula dalam ekonomi Pancasila, dimensi keadilan, persamaan hak, dan pengelolaan
sumber daya alam digunakan untuk kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip
kemaslahatan. Cabang-cabang produksi bagi negara dan yang menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk hajat hidup orang
banyak (Pasal 23 UUD 1945).
Sebagai contoh, selama 32 tahun Orde Baru,
feodalisme, paternalisme dan absolutisme yang dilakukan pemerintah pada
dasarnya merupakan kecenderungan ke arah sentralisaisme. Dalam kecenderungan
semacam itu, otonomi, desentralisasi dan dekonsentrasi tidak akan berjalan.[7]
Untuk mempercepat pembangunan daerah, agenda
utama dari era reformasi adalah otonomi daerah dan demokratisasi ekonomi. Tema
sentral dari kebijaksanaan pembangunan dalam era reformasi adalah mengedepankan
paradigma pembangunan manusia yang menempatkan rakyat sebagai pelaku
pembangunan dan menempatkan ekonomi daerah sebagai wahana mewujudkan
kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian, kebijakan pemerintah yang
dituangkan dalam bentuk APBN justru berlawanan arah dengan peran pemerintah
yang semestinya mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Fenomena politik
anggaran dalam pengelolaan APBN di kalangan DPR yang memiliki wewenang untuk
melakukan perubahan anggaran lebih menyebabkan terjadinya korupsi baik secara
pribadi maupun kelompok.
Oleh karena
masyarakat sendiri tidak akan mampu mengentaskan kemiskinan ekonomi dan sosial,
maka untuk memberdayakan masyarakat, terutama masyarakat yang miskin diperlukan
pemberdayaan awal (self empowerment) dari pihak luar terutama dari
pemerintah. Bahkan, menurut Sri-Edi Swasono,[8]
rakyat telah mengalami proses pemiskinan (impoverishment) dan pelumpuhan
(disempowerment), yang terjadi seiring dengan pembangunan nasional yang
mengabaikan orientasi kerakyatan.
Permasalahan
lain sistem perdagangan bebas di era global ini bisa menjadi suatu alternatif
bagi kemajuan ekonomi dengan meningkatnya pertumbuhan dan pembangunan, atau
sebaliknya, justru ia menjadi persoalan baru bagi negara-negara tertentu,
khususnya negara berkembang yang terpuruk kondisi ekonominya, termasuk pula
Indonesia. Di samping itu, sistem ini dapat berlaku atau tidak bagi semua dan
untuk kemakmuran bersama.
Dalam ekonomi Islam dan ekonomi Pancasila, negara
memiliki hak untuk ikut campur (intervensi) dalam kegiatan ekonomi yang
dilakukan oleh individu-individu, baik untuk mengawasi kegiatan ini maupun
untuk mengatur atau melaksanakan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak
mampu dilaksanakan oleh individu-individu.
Kegiatan
ekonomi bergerak menuju pasar bebas. Namun perkembangan yang ada cenderung
menampakkan kompleksitas dan penyimpangan-penyimpangan etika dalam kegiatan
ekonomi.[9]
Atas dasar itulah, maka Ibnu Taimiyah, memandang perlu keterlibatan
(intervensi) negara dalam aktifitas ekonomi dalam rangka melindungi hak-hak
masyarakat dari ancaman kezaliman para pelaku bisnis yang ada, dan untuk
kepentingan manfaat yang lebih besar. Dalam kaitan ini, maka
intervensi negara dalam kegiatan ekonomi bertujuan menghapuskan kemiskinan sebagai kewajiban negara. Bagi
Ibnu Taymiyah,[10]
seseorang harus hidup sejahtera dan tidak tergantung pada orang lain, sehingga
mereka bisa memenuhi sejumlah kewajibannya.
Dalam ekonomi Pancasila, secara jelas ditegaskan tujuan
negara Indonesia dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk mencerdaskan
kehidupan bangsa, mensejahterakan kehidupan masyarakat, dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan
sosial. Karena itu, negara Indonesia berkewajiban turut serta dalam mengatur
kehidupan ekonomi masyarakat, yang semata-mata bertujuan untuk mensejahterakan
mereka. Dalam hal ini, ekonomi kerakyatan menjadi identitas kebangsaan yang
harus diperjuangkan dan dimanifestasikan dalam kehidupan ekonomi masyarakat.
Karena itu, menurut Sri-Edi Swasono,[11]
pasar bebas atau perdagangan bebas tidak memperoleh tempat dalam ekonomi
Indonesia, sebab berdasarkan ”daulat pasar” bukan ”daulat rakyat”.
Pasar
bebas pada prinsipnya lebih mementingkan sekelompok orang pemilik modal yang
terus menanamkan cengkeraman ekonominya pada setiap kegiatan ekonomi. Karena
itu, Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 2008 tentang ASEAN Charter perlu dikritisi
sebab berpihak pada kecenderungan pasar bebas yang diberlakukan di kawasan
ASEAN, khususnya Indonesia.[12]
Jika tidak, bagaimana dengan rakyat kita yang miskin, miskin ekonomi dan miskin
sumber daya.
Pengurangan
kemiskinan menjadi sebuah agenda penting kebijakan pembangunan di Indonesia
selama ini. Angka statistik kemiskinan mengalami penurunan dari tahun ke tahun,
tetapi tampaknya agenda pengurangan kemiskinan menjadi sebuah proyek besar yang
tidak pernah akan selesai. Di masa lalu pengurangan kemiskinan menggunakan
pendekatan yang terpusat, top down, mobilisasi, seragam dan berbasis
proyek yang bersifat off budget.
Pada masa
reformasi pendekatan pengurangan kemiskinan telah mengalami pergeseran ke arah
yang lebih desentralistik, bottom up dan partisipatif, yang semua itu
semakin canggih dikemas, menyusul lahirnya komitmen internasional dalam Millenium
Development Goals (MDGs). Kini muncul sebuah konsep yang lebih bertenaga
berupa anggaran pro rakyat miskin (pro poor budget), yang lahir
bersamaan dengan konsep-konsep lain seperti anggaran alternatif, anggaran
rakyat, anggaran partisipatif (participatory budgeting) maupun anggaran
yang responsif gender (gender budgeting). Didorong oleh lahirnya
konsep-konsep baru itu, skema pendanaan pengurangan kemiskinan tidak lagi off
budget, tetapi ia harus menyatu (integrasi) ke dalam (built in)
sistem perencanaan dan penganggaran. Dengan kata lain, pendekatan baru itu
mengharuskan pengarusutamaan kemiskinan (poverty mainstreaming) dalam
perencanaan dan pengganggaran.
Di Indonesia,
kesepakatan MDGs diteruskan dengan komitmen pengarus-utamaan kemiskinan dan
gender dalam perencanaan dan pengganggaran APBN/APBD sejak 2003/2004. Melalui
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 pemerintah
berupaya (2004–2009) diharapkan dapat menurunkan persentase penduduk miskin menjadi
8,2 persen pada tahun 2009. Pada saat yang sama pemerintah juga telah
mengeluarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) yang disusun
melalui proses partisipatif dengan melibatkan seluruh stakeholders pembangunan
di Indonesia. SNPK mengedepankan pendekatan berbasis hak (right-based
approach) sebagai pendekatan utama dengan menegaskan pencapaian secara
bertahap dan progresif (progressive realization) dalam penghormatan (respect),
perlindungan (protect) dan pemenuhan (fulfill) hak dasar rakyat,
memberikan perhatian terhadap perwujudan kesetaraan dan keadilan gender, serta
percepatan pengembangan wilayah.
Sedangkan dalam konteks penelolaan APBN,
pengeluaran pemerintah yang terdapat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara
(APBN) merupakan salah satu alat kebijakan fiskal pemerintah. Pemerintah dapat
menggunakannya untuk mengelola perekonomian negara. APBN pada perkembangannya
telah mengalami banyak perubahan struktur. APBN saat ini menggunakan sistem
anggaran berbasis kinerja berdasarkan UU No.1 tahun 2004.
Sejak tahun 1969 diterapkan sistem berimbang
dan dinamis dalam penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Sistem
anggaran berimbang dan dinamis ini menggantikan sistem anggaran sebelumnya pada
masa orde lama yang belum membedakan antara anggran belanja dengan penerimaan.
Pembedaan antara anggaran belanja dengan penerimaan akan mempermudah mengetahui
berapa besar anggaran belanja pemerintah untuk sektor publik. Namun demikian,
pengelolaan anggaran yang semakin efektif tersebut kurang berpihak pada tujuan
pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Karena itu
penelitian ini hendak menelusuri dan menganalisis peluang-peluang hadirnya
reformasi kebijakan anggaran yang mengarah pada pro poor budget yang
secara substansial mengandung tujuan-tujuan pengurangan kemiskinan dan promosi
kesejahteraan, dan tentunya mengurangi terjadinya penyimpangan anggaran.
Tetapi, penelitian ini memiliki asumsi bahwa desain institusional itu penting
tetapi tidak cukup untuk melahirkan APBN yang pro poor secara konkret. Berdasarkan masalah tersebut, maka masalah penelitian ini
terkait bagaimana pendapatan dan pengeluaran pemerintah dalam perspektif
keuangan negara ? bagaimana manajemen APBN dan politik anggaran di Indonesia pada
era reformasi ? dan bagaimana pengelolaan APBN, politik anggaran dan
pembangunan di Indonesia dalam perspektif ekonomi Islam ?
Kajian tentang pengelolaan anggaran terkait dengan
keuangan negara dalam bentuk penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Karena itu,
studi ini terkait dengan disiplin keuangan publik atau keuangan negara yang
menekankan peran negara dalam pengelolaan anggaran untuk kesejahteraan
masyarakat. Kebijakan pengelolaan anggaran pada setiap negara memiliki
perbedaan akibat kondisi sosial, politik, ekonomi, dan khususnya pengaruh
globalisasi, serta kepentingan-kepentingan pemerintah dalam upaya
mensejahterakan rakyat.
Beberapa
kajian literatur tentang peran dalam pengelolaan anggaran untuk kesejahteraan
rakyat antara lain dapat dicatat karya Adam Smith,[13]
An Inquiry into the Nature and Causes of
The Wealth of Nations. Tokoh ini
sebagai pelopor dalam kapitalisme yang memunculkan
paradigme laissez-faire atau pasar bebas. Paul A. Samuelson[14]
dalam Economics. Karya ini menjadi buku penting dalam kajian ilmu
ekonomi yang membawa tradisi liberalisme dan pasar bebas sebagai karakter dari
globalisasi ekonomi. Karena itu, Sri-Edi Swasono memberikan kritik terhadap
budaya kampus yang menggunakan literatur ini tanpa kritik mendalam karena
aksioma-aksioma liberalisme dan individualismenya.
Karya
lain ditulis Robin W. Boadway and Neil Bruce[15]
dalam Welfare Economics. Buku ini memberikan penjelasan tentang
paradigma kesejahteraan ekonomi dalam perspektif kapitalisme. Alessandro
Roncaglia[16]
dalam The Wealth of Ideas: a History of Economic Thought memberikan
penjelasan dengan analisis ekonomi tentang perkembangan pemikiran ekonomi
klasik sampai neoliberalisme. Tulisan lain tentang hubungan negara dan pasar
dapat dibaca Murray N. Rothbard[17]
dalam Power and Market Government and the Economy. Buku ini penting
untuk melihat dimensi peran dan pergulatan kekuatan pemerintah dan pasar dalam
ekonomi. I. Wallerstein[18]
dalam The Capitalist World-Economy mengungkapkan secara panjang sejarah
kapitalisme dan globalisasi yang bergerak secara cepat di dunia modern.
Buku
lain ditulis Susan George[19]
dalam Republik Pasar Bebas yang memaparkan betapa sengitnya perang ide
dan perang ideologi ekonomi pasar dalam menyebarkan neoliberalisme dan
mempertahankan kapitalisme global. Shinichi Ichimura, et. al (eds.)[20]
dalam Transition from Socialist to Market Economies: Comparison of European
and Asian Experience menggambarkan pula kemenangan kapitalisme atas
sosialisme.
Sedangkan
kritik atas globalisasi dan pasar bebas antara lain karya Sri-Edi Swasono,[21]
Ekspose
Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas, Yogyakarta:
Pustep UGM, 2010 dan Mewaspadai Pasar Bebas (dalam Dari Lengser ke
Lengser). Tokoh ekonomi rakyat ini banyak menghasilkan
karya yang mengkritik globalisasi, pasar bebas, neoliberalime dan fokus pada
memperjuangkan demokrasi ekonomi berbasis Pancasila. Rainer Adam, dkk.[22]
dalam Persaingan dan Ekonomi Pasar di
Indonesia memaparkan kondisi ekonomi
Indonesia di tengah arus pasar bebas.
Tokoh lain adalah Mubyarto[23]
yang menulis Reformasi Sistem Ekonomi Dari Kapitalisme Menuju Ekonomi
Kerakyatan. Karya ini cukup penting bukan hanya upaya akademik penulis
dalam mengkritik kapitalisme melainkan juga bentuk perjuangan dalam
mengimplementasikan ekonomi kerakyatan. Kemudian Indra Ismawan[24]
dalam Sukses di Era Ekonomi Liberal Bagi Koperasi dan Perusahaan
Kecil-Menengah. Buku ini memaparkan kiat-kiat koperasi dan perusahaan
kecil-menengah dalam menghadapi era ekonomi liberal. Mahmud Thoha, dkk.,[25]
dalam Globalisasi Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan memberikan
analisis krisis ekonomi di Indonesia akibat globalisasi dan memberikan
alternatif bagi pengembangan ekonomi kerakyatan.
Studi
lain terkait dengan pengeluaran pemerintah sebagai bentuk pengelolaan anggaran,
pertumbuhan ekonomi, dan kasus korupsi dalam pemerintahan antara lain Jamzy
Zodik[26]
meneliti hubungan pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi regional.
Penelitian ini cukup baik menganalisis pengeluaran pemerintah Indonesia yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Namun, fakta lain tentang korupsi
nampaknya tidak diungkapkan.
Anton
Hermanto Gunawan[27]
dalam Anggaran Pemerintah dan Inflasi di Indonesia memberikan penjelasan
tentang hubungan anggaran pemerintah dan inflasi di Indonesia. Buku ini sangat
relevan untuk mengungkap pola dan sistem pengelolaan APBN di Indonesia, namun
hanya menganalisis kondisi ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru.
Ani Sri
Rahayu[28]
dalam Pengantar Kebijakan Fiskal memberikan gambaran tentang kebijakan
fiskal yang terkait dengan perpajakan dan pengeluaran pemerintah Indonesia.
Buku ini cukup baik menjelaskan struktur APBN dan pengelolaannya sejak masa
reformasi, meskipun tidak banyak mengungkap persoalan-persoalan di bidang
anggaran.
Tim
Pengkajian SPKN BPKN[29]
dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan APBN/APBD
menjelaskan secara legal dan institusional berbagai praktek korupsi dan
upaya pemberantasannya dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Namun demikian,
buku ini sangat sederhana dalam mengungkap politik anggaran dan
penyimpangannya.
Sedangkan
kajian anggaran pemerintah sebagai bagian dari keuangan publik dalam ekonomi
Islam dapat ditelusuri antara lain Yasin Ghadi dalam al-Amwal wa al-Amlak
al-‘Ammah fi al-Islam wa Hukm al-I’tida’ ‘Alaiha[30]
memberikan analisis hukum Islam tentang keuangan negara (al-mal al-‘am) yang
dihubungkan dengan konsep harta dan pengelolaannya berdasarkan kaidah-kaidah
syari’ah. Namun, karya ini kurang banyak mengungkap dimensi pengelolaan
keuangan publik dan penerapannya melalui suatu politik anggaran.
Mahmud
Julaid dalam Qira’at fi al-Maliyat al-‘Ammah fi al-Islam[31]
melakukan analisis terhadap konsep keuangan publik (al-maliyat al-‘ammah)
dan penerapannya dalam pemerintahan Islam pada masa klasik, namun relevansi
pengelolaan keuangan negara dalam konteks pemerintahan sekarang ini tidak cukup
memberi penjelasan yang lengkap.
M.
Nejatullah Siddiqi melalui karyanya, Teaching Public Finance in Islamic
Perspective,[32]
menjelaskan secara komprehensif tentang keuangan publik Islam dan penerapannya
dalam konteks ekonomi modern di negara-negara Muslim. Namun, karena karya ini
lebih bercorak “modul” sebagai bahan kuliah, sehingga tidak ditemukan analisis
mendalam tentang “diskusi” pengelolaan anggaran dari para pemikir ekonomi
Islam.
Kajian
penting keuangan publik dalam Islam dapat ditemukan pula pada karya Zafar
Iqbal, an Islamic Perspective on Public Finance.[33]
Karya ini mengungkap keuangan publik yang membahas secara komprehensif
teori keadilan dalam ekonomi, teori pajak, teori anggaran, organisasi komersial
sektor keuangan public, dan korupsi. Meskipun karya ini membandingkan
teori-teori tersebut perspektif Islam dan Barat, namun kurang memberikan
analisis politik ekonomi Islam.
Penelitian
ini menggunakan paradigma kualitatif. Penelitian kualitatif terkait dengan
penggunaan data kualitatif seperti teks, dokumen, hasil wawancara, dan
observasi partisipan untuk memahami dan menjelaskan fenomena sosial.[34]
Penelitian ini dibatasi dengan menggunakan studi pustaka, sehingga teks dan
dokumen yang terkait dengan pengelolaan APBN akan dipakai sebagai salah satu
sumber data yang akan dianalisis dan dideskripsikan, terutama data yang bisa
diakses pada tingkat pemerintahan dan kementerian terkait.
Karena
penelitian ini akan mengungkap peristiwa masa lalu, terutama mengungkap
pengelolaan keuangan pada masa sejarah pemikiran ekonomi Islam, maka akan
digunakan metode sejarah. Metode ini akan digunakan sebagai cara peneliti untuk
memahami makna, masyarakat, serta konteks budaya dan sosial di mana masyarakat
hidup di dalamnya. Metode ini juga digunakan untuk mereview biografi, sejarah
dan informasi budaya yang bertujuan dapat menjelaskan dan menyikapi isu-isu saat
itu dan interaksi di dalamnya.
Metode
lain yang digunakan sesuai tujuan penelitian ini berupa metode vestehen[35]
yang digunakan untuk memahami atas tafsiran-tafsiran yang terjadi di antara
aktor, sekaligus memahami perspektif aktor (individual atau kolektif) yang
diteliti dengan background kultural dan akademis peneliti sendiri.
Adapun
informasi yang digunakan dalam studi ini berasal dari berbagai sumber yang
berupa dokumen, teks-teks literatur dan hasil penelitian. Sumber informasi ini
dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sumber primer dan sumber sekunder.
Pertama,
sumber
primer, terdiri dari peraturan-peraturan tentang pengelolaan keuangan negara,
dokumen APBN dan RAPBN, karya-karya klasik tentang keuangan Negara, dan
literatur yang sesuai dengan masalah penelitian ini. Kedua, sumber
sekunder, berupa referensi pendukung yang dapat menafsirkan atau menjelaskan
masalah penelitian yang tidak dapat ditemukan pada sumber primer. Sumber
sekunder dalam bentuk hasil penelitian para sarjana (scholarly research
literature) ini digunakan untuk melengkapi teks literatur (literary
texts), di samping memberikan latar belakang informasi budaya, spiritual,
dan sejarah, serta pemikiran ekonomi Islam. Hasil-hasil penelitian sarjana juga
dapat membantu untuk mengeksplorasi dan memahami content dalam suatu
konteks sosial yang diproduksi.[36]
Pada
penelitian kualitatif, beberapa tahap digunakan dalam proses pengumpulan data.[37] Tahap yang paling penting adalah identifikasi
terhadap subyek – masyarakat atau tempat – yang akan diteliti. Data yang
diperoleh akan dikumpulkan, diuji, dan dianalisis sesuai dengan rumusan masalah
yang diteliti.
Tahap
kedua adalah verifikasi terhadap sumber-sumber informasi atau data material
yang ada. Data yang diperoleh akan diidentifikasi untuk memahami latar
belakang, paradigma, dan struktur pengelolaan anggaran. Jadi, pada tahap ini
akan difokuskan pada lingkungan sosial, budaya, dan politik yang membentuk
lahirnya produk anggaran tersebut.
Tahap
ketiga adalah evaluasi data. Sumber material berupa gagasan, budaya dan sejarah
yang berbeda pada setiap periodisasinya, perubahan-perubahan yang terjadi, dan
corak yang muncul dan terkait dengan pengelolaan anggaran yang dijelaskan secara komparatif. Seluruh data
ini akan diseleksi, diverifikasi, dan divalidasi secara otentik. Data yang
terkumpul direview sesuai dengan sumbernya, kemudian diseleksi tingkat
relevansinya dengan kategori sumber berdasarkan topik-topik yang akan dibahas
dalam penelitian ini. Sebagai tahap akhir, dilakukan sintesis terhadap data dan
pengorganisasiannya dalam bentuk interpretasi yang membahas masalah penelitian.
Sedangkan
analisis data akan menggunakan metode analisis isi (content analysis) dan
metode sejarah kritis. Content analysis adalah suatu teknik untuk
membuat interferensi-interferensi yang dapat diulang (replicable) dan
sahih data dengan memperhatikan konteksnya.[38]
Sedangkan metode sejarah kritis ditempuh dengan langkah-langkah menurut
norma-norma ilmu sejarah.[39]
Hal ini dikarenakan, meskipun pelaku, waktu, dan tempat berlainan, serta
sejarah tidak mungkin terulang lagi, namun secara makro memiliki ciri-ciri yang
hampir bersamaan. Metode ini digunakan pula untuk mengevaluasi data sekunder
yang dapat membedakan opini, interpretasi, dan pikiran-pikiran yang sifatnya subyektif-spekulatif,
sehingga akan diketahui tingkat biografis, geografis, kronologis, dan aspek
fungsionalnya.
B.
Pembahasan Hasil Penelitian
Studi
tentang pendapatan dan pengeluaran pemerintah dapat dikaji dengan menggunakan
teori peran negara dalam ekonomi. Teori peran negara akan digunakan untuk
menganalisis pengelolaan anggaran yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Sebab,
menurut Mardiasmo, anggaran merupakan pernyataan
mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu
yang dinyatakan dalam ukuran finansial. Sedangkan penganggaran atau proses
penyusunan anggaran adalah proses pengoperasional rencana dalam bentuk pengkualifikasian,
biasanya dalam bentuk unit moneter, untuk kurun waktu tertentu. Jadi,
penganggaran adalah proses atau metoda untuk mempersiapkan suatu anggaran.
Sedangkan menurut Anthony dan Govindarajan, proses penyusunan
anggaran pada dasarnya memiliki 4 tujuan utama yaitu: (1) menyelaraskan dengan
rencana strategik, (2) untuk mengkoordinasikan kegiatan dari beberapa bagian
dalam organisasi, (3) untuk memberikan tanggungjawab kepada manajer atau
pimpinan, guna mengotorisasi jumlah dana yang dapat digunakan, dan untuk
memberitahukan hasil yang mereka capai, serta (4) untuk mencapai kerjasama.
Karena demikian, pemerintah yang berkewajiban mengelola anggaran
bila dilihat
dari peran dan fungsi ekonomi menjadi perdebatan di kalangan ekonom sosialis
dan kapitalis. Secara umum, peran dan fungsi pemerintah tersebut terkait dengan
adanya upaya pencapaian tujuan pembangunan ekonomi
berupa tingkat kesejahteraan masyarakat yang optimal.[40]
Namun demikian, perlu tidaknya turut campur pemerintah dalam mencapai tujuan
tersebut diperdebatkan oleh sosialisme dan kapitalisme.
Kapitalisme yang memiliki semangat liberal dalam bentuk
yang murni menganggap pemerintah tidak perlu ikut campur dalam perekonomian
kecuali terkait dengan aturan-aturan yang tidak ditentukan oleh setiap individu
pelaku ekonomi. Dalam hal ini, setiap orang memiliki kebebasan secara mutlak
untuk mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam aspek ekonomi.
Para ekonom klasik yang dimotori Adam Smith[41]
menilai bahwa pemerintah memiliki tiga fungsi, yaitu bidang pertahanan dan
keamanan, keadilan sosial (tertib hukum), dan pekerjaan umum (sosial). Aliran
ini menganggap bahwa hal penting bagi pemerintah adalah tidak melakukan aktivitas
yang dikerjakan oleh para individu, melainkan pemerintah hanya melakukan
kegiatan ekonomi yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh individu atau
sektor swasta baik secara perorangan maupun bersama-sama.
Dalam pandangan John Stuart Mill,[42]
konsep di atas dapat dianalisis melalui keberadaan perusahaan. Perusahaan lebih
baik dijalankan oleh sektor swasta yang memang sudah tertarik untuk
mengusahakannya dan membiarkan usaha-usaha tersebut tanpa ada campur tangan
pemerintah, hanya saja memang ada beberapa pengecualiannya.
Sedangkan sistem ekonomi sosialis tidak menghendaki
adanya kebebasan individu, sehingga kegiatan perekonomian harus dikuasai
pemerintah sebagai institusi atau lembaga yang mewakili para individu.[43]
Peran pemerintah dalam mengatur perekonomian tersebut untuk mengatur
perencanaan dan penggunaan faktor-faktor produksi, melaksanakan kegiatan
produksi, dan mengatur distribusi barang-barang konsumsi, mengatur pendidikan
serta kesehatan, dan lain sebagainya.[44]
Perkembangan ekonomi dewasa ini, tentu akan mempengaruhi
aliran/paham tersebut di atas, sehingga pada pertengahan abad ke 20 tidak ada
lagi sistem-sistem ekstrim yang murni, karena telah dirasakan berbagai
kekurangan dari sistem ekstrim yang murni tersebut. Akibatnya, sistem
perekonomian yang ada di sebagian besar negara di dunia sekarang ini, merupakan
sistem perekonomian yang bersifat campuran.
Khususnya Indonesia, sistem perekonomian yang dianut
adalah ekonomi Pancasila, yakni berdasarkan pada keselarasan, keserasian dan
keseimbangan hubungan antara individu dan masyarakat yang lahir dari
kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Jadi, bukannya menggabungkan hal-hal yang
baik dari sistem kapitalis dengan hal-hal yang baik dalam sistem sosialis,
walaupun dalam bentuknya yang nyata sistem perekonomian Indonesia mirip dengan
sistem ekonomi campuran.
Berdasarkan teori ekonomi analitis, fungsi ekonomi
pemerintah dilihat dari fungsi dan tujuan kebijakan anggaran belanja
pemerintah, sebagaimana diuraikan Musgrave[45]
pada karyanya, a Theory of Public Finance, dapat dikelompokkan menjadi 3
jenis, yaitu: pertama, allocation branch (to secure adjustments in the
allocation of resources), yaitu fungsi untuk menyediakan pemenuhan
terhadap public wants (kebutuhan publik); kedua adalah distribution
branch (to secure adjusments in the distribution of income and wealth), yaitu
fungsi politik anggaran belanja yang termasuk ”fungsi klasik” dengan kenyataan
adanya pengeluaran dan penerimaan pemerintah yang memiliki efek sosial ekonomi;
dan ketiga adalah stabilization branch (to secure economic stabilization), yaitu
fungsi mempertahankan tingkat penggunaan faktor-faktor produksi yang tinggi
dengan kestabilan nilai uang.
Teori
peran ekonomi pemerintah ini lebih lanjut akan digunakan untuk menganalisis
pengelolaan APBN dari perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawabannya,
sekaligus keterkaitan dengan adanya penyimpangan-penyimpangan di bidang
anggaran. Secara umum, politik anggaran pemerintah ini tidak dapat dilepaskan
dari pengaruh globalisasi di bidang ekonomi, termasuk pasar bebas. Pengelolaan
anggaran yang tidak transparan dan akuntabilitas oleh pemerintah akan
menyebabkan kondisi ekonomi semakin terpuruk dan tertinggal negara lain. Karena
itu, APBN yang dikelola pemerintah dalam menjalankan pembangunan seharusnya
dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sekaligus berperan dalam mengokohkan
nilai-nilai dan budaya bangsa Indonesia. Bukan sebaliknya, adanya alasan
ekonomi menjadikan rakyat semakin terpinggirkan, dan masyarakat Indonesia menjadi
“tamu” di rumah sendiri.
Dalam
konteks Indonesia, sebagaimana diungkapkan Sri-Edi Swasono,[46]
ada enam keprihatinan nasional seiring dengan perkembangan globalisasi yang
mempengaruhi rakyat Indonesia melalui pertanyaan-pertanyaan berikut:
Pertama,
mengapa pembangunan yang terjadi di Indonesia ini menggusur orang miskin dan
bukan menggusur kemiskinan ? akibatnya pembangunan menjadi proses dehumanisasi.
Kedua, mengapa
yang terjadi sekedar pembangunan di Indonesia dan bukan pembangunan Indonesia ?
orang asing yang membangun Indonesia dan menjadi pemegang konsesi bagi
usaha-usaha ekonomi strategis, sedang orang Indonesia menjadi penonton atau
pelayan globalisasi.
Ketiga, mengapa
“daulat pasar” dibiarkan begitu berkuasa, sehingga menggusur “daulat rakyat”.
Keempat,
bukankah
seharusnya kita menjadi Tuan di negeri sendiri, menjadi “the master in our
own homeland, not just to become the host”, yang hanya melayani kebutuhan
globalisasi dan kepentingan mancanegara ?jadi, mengapa kita tetap menjadi kuli
di negeri sendiri, sekedar menjadi master of ceremony ? akibatnya
GDP berkembang lebih cepat dari GNP. Banyak ekonom lengah akan hal ini.
Kelima, kesejahteraan
rakyat tak kunjung tercapai, kesenjangan antara kaya dan miskin makin
meningkat.
Keenam, kesenjangan
antara kaya dan miskin yang membentukkan frustation-gap pada pihak si
miskin, yaitu gap antara aspirasi yang berkembang oleh dorongan iklan
konsumtif mewah dan makin meluasnya tarikan affluency pihak yang kaya
dengan segala absurditas yang telah menyertainya, telah mendorong ketimpangan
struktural dalam pemilikan.
Oleh
karena itu, kehidupan ekonomi Indonesia seharusnya menetapkan berlakunya
“demokrasi ekonomi” (Pasal 33 UUD 1945) sebagai penolakan terhadap liberalisme
ekonomi melalui pasar bebas. Demokrasi ekonomi Indonesia menegaskan hubungan
ekonomi berdasarkan mutualism and brotherhood (kebersamaan dan asas
kekeluargaan) menolak laissez-faire atau pasar bebas neoliberalistik. Dalam
wujudnya, demokrasi ekonomi ini meneguhkan kembali ekonomi rakyat.
C.
Penutup
1.
Kesimpulan
Pengelolaan
APBN menunjukkan peran pemerintah dalam mengatur sumber-sumber pendapatan dan
pembelanjaan sebagai suatu kewajiban dalam menciptakan kesejahteraan
masyarakat. APBN sebgaai bagian dari keuangan negara memiliki prinsip-prinsip,
sistem, dan struktur yang mengalami perubahan setiap periodik sesuai dengan
perkembangan nasional dan global.
Dalam konteks pengelolaan keuangan
negara, sejak masa Nabi Muhammad dan masa-masa berikutnya, pengelolaan keuangan
negara dalam wujudnya sekarang ini berupa APBN, telah memiliki mekanisme dan
pengelolaan yang bersifat khas sesuai dengan kondisi sosial, politik, dan
budaya yang melingkupinya. Karena itu, APBN digunakan untuk kepentingan
pembangunan dan politik anggaran yang memiliki komitmen dalam membela
kepentingan masyarakat.
2.
Rekomendasi
Pengelolaan
anggaran pada era reformasi sampai sekarang menggunakan struktur anggaran yang
disebut anggaran berbasis kinerja. Pola anggaran ini diharapkan dapat
meningkatkan kinerja pemerintahan dengan good governance yang menuntut
adanya efektifitas, efisiensi, transparan, dan akuntabel.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Yusuf. Kitab al-Kharaj. Beirut: Dar
al-Ma’arif, 1979.
Adam, Rainer, dkk. Persaingan dan Ekonomi
Pasar di Indonesia. Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung-Indonesia, 2006.
Ahmad,
Khurshid (ed.). Studies in Islamic Economics. Jeddah: King Abdul
Aziz University, 1980.
Ahmad, Mustaq. Business Ethics in Islam. Pakistan:
International Institute of Islamic Thought, 2001.
Al-Assal, A. Muhammad.dan Fathi Abd. Karim. Hukum Ekonomi Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus,
1999.
Al-Ghazali.
Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Fikr, 1998.
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali. al-Ahkam al-Sulthaniyah
wa-Wilayat al-Diniyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
Al-Shatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah.
Cairo: al-Maktabah al-Tijanyah al-Kubra, 1975.
Azmi, Sabahuddin. Islamic Economics: Public
Finance in Early Islamic Thought . New Delhi: Goodword Books, 2002.
Boadway, Robin W. dan Neil Bruce. Welfare
Economics. Oxford: Basil Blackwell, 1984.
Essid, Yassine. A Critique of The Origins of
Islamic Economic Thought. Leiden: E.J. Brill, 1995.
George, Susan, Republik Pasar Bebas, Jakarta:
INFID/Bina Rena Pariwara, 2002.
Hamdani, Ikhwan, Sistem Pasar, Jakarta: Nurinsani, 2003.
Ibn Khaldun. al-Muqaddimah Ibn Khaldun. Cairo:
Dar Ibn al-Haitham, 2005/1426.
Ibn Taymiyah. al-Hisbah fi al-Islam. Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.
Ibn Taymiyah. al-Siyasah al-Shar’iyah fi
Islah al-Ra’iy wa-al-Ra’iyah. Saudi Arabia: Dar ‘alam al-Fawa’id, t.t.
Ichimura, Shinichi, et. Al. (eds.). Transition
from Socialist to Market Economies: Comparison of European and Asian
Experience. New York; Palgrave Macmillan, 2009.
Islahi, Abdul Azim. Economic Concepts of
Ibnu Taimiyah. United Kingdom: The Islamic Foundation, 1996.
Ismawan, Indra, Sukses di Era Ekonomi
Liberal Bagi Koperasi dan Perusahaan Kecil-Menengah, Jakarta: Gramedia,
2001.
Mishra, Ramesh. Globalization and the Welfare State.
London: McMillan, 2000.
Mubyarto. Membangun
Sistem Ekonomi. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2000.
Mubyarto, Reformasi Sistem Ekonomi Dari
Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta: Aditya Media, 1999.
Naqvi, Haider. Ethics and Economics: an
Islamic Synthesis. London: The Islamic Foundation, 1981.
Roncaglia, Alessandro. The Wealth of Ideas:
a History of Economic Thought. New York: Cambridge University Press, 2006.
Rostows, W. The Stages of Economic Growth, a
Non-Communist Manifesto. Cambridge: Cambridge University Press, 1967.
Rothbard, Murray N., Power and Market
Government and the Economy, Kansas: Institute for Humane Studies, Inc.,
1977.
Samuelson,
Paul A., Economics, New York: McGraw-Hill Book Company, 2008.
Schumpeter, J.A. Capitalism, Socialism amd
Democracy. New York: Harper & Row, 1950.
Siddiqui, M.N. Role of the State in the
Economy:-An Islamic Perspective. The Islamic Foundation, UK., 1996.
Smith, Adam. An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations. (New Rochelle, N.Y : Arlington House, 1966.
Suharto, Edi. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama, 2005.
Swasono, Sri-Edi, Ekspose
Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas, Yogyakarta:
Pustep UGM, 2010.
Swasono, Sri-Edi, Kebersamaan dan Asas
Kekeluargaan: Mutualism and Britherhood, Jakarta: UNJ Press, 2005.
Swasono, Sri-Edi, Mewaspadai Pasar Bebas
(dalam Dari Lengser ke Lengser), Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
2001.
Swasono, Sri-Edi, “Pancasila, Humanisme, Pasal
33 UUD 1945, Kooperativisme, Menolak Liberalisme”, Orasi Ilmiah,
Universitas Pasundan Bandung, 19 Juli 2011.
Swasono, Sri Edi, Judicial Review Testimoni
Sri-Edi Swasono terhadap UU No. 38 Tahun 2008 tentang ASEAN Charter, Mahkamah
Konstitusi RI, 22 Juli 2011
Thoha, Mahmud, dkk., Globalisasi Krisis
Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan, Jakarta: Pustaka Quantum, 2002.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga .
Jakarta: Erlangga, 2003.
Umar Chapra, M. The Future of Economics: An
Islamic Perspective. Leicester: The Islamic Foundation, 2000.
Wallerstein, I. The Capitalist
World-Economy. New York: Cambridge University Press, 1979.
Warde, Ibrahim. Islamic Finance in the
Global Economy. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2000.
[1] Edi
Suharto, Membangun Masyarakat
Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis
Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2005), 48.
[2]Ahmad Khurshid (ed.), Studies in Islamic
Economics (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1980), 178-179.
[3] Robert
J. Samuelson, “Pure Theory of Public Expenditure and Taxation”, pada karya J.
Margolis & H. Guitton (eds.), Public Economics (New York: St. Martin
Press, 1969), 98-123. Baca pula Bernard Salanie, Microeconomics of Market
Failure (Cambridge MA: MIT Press, 2000), 45-59.
[4] Ernesto
Screpanti and Stefano Zamagni, an Outline of the History of Economic Thought
(New York: Oxford University Press, 2005), 111-121.
[5]
Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa-al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 94.
[6] Baca
Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Shari‘ah (Cairo:
al-Maktabah al-Tijaniyah al-Kubra, 1975), vol. 2, 6-7.
[7] Sri-Edi
Swasono, Mendesak: Reformasi Peranan Daerah (dalam Dari Lengser ke Lengser),
Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2001.
[8] Sri-Edi
Swasono, Restrukturisasi, Keadilan Sosial dan Gobalisasi, Ceramah pada
Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Batam 29 Maret 2001.
[9]Muh.
al-Assal dan Fathi Abd. Karim, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta:Pustaka
Firdaus, 1999), 101-102. Lihat pula Sri-Edi Swasono, Mewaspadai Pasar Bebas
(dalam Dari Lengser ke Lengser), Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia,
2001.
[10] Ibn
Taymiyah, al-H{isbah fi al-Islam, 20-22.
[11] Sri-Edi
Swasono, “Pancasila, Humanisme, Pasal 33 UUD 1945, Kooperativisme, Menolak
Liberalisme”, Orasi Ilmiah, Universitas Pasundan Bandung, 19 Juli 2011.
[12] Lebih
lanjut baca Judicial Review Testimoni Sri-Edi Swasono terhadap UU No. 38
Tahun 2008 tentang ASEAN Charter di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi
RI, 22 Juli 2011.
[13] Adam
Smith, An Inquiry into the Nature and
Causes of The Wealth of Nations (New
Rochelle,, N.Y : Arlington House, 1966)
[14] Paul A. Samuelson, Economics (New York:
McGraw-Hill Book Company, 2008).
[15] Robin
W. Boadway and Neil Bruce, Welfare Economics (Oxford: Basil Blackwell,
1984).
[16]
Alessandro Roncaglia, The Wealth of Ideas: a History of Economic Thought (New
York: Cambridge University Press, 2006).
[17] Murray
N. Rothbard, Power and Market Government and the Economy (Kansas:
Institute for Humane Studies, Inc., 1977).
[18] I.
Wallerstein, The Capitalist World-Economy (New York: Cambridge
University Press, 1979)
[19] Susan
George, Republik Pasar Bebas (Jakarta: INFID/Bina Rena Pariwara, 2002).
[20]
Shinichi Ichimura, et. al (eds.), Transition from Socialist to Market
Economies: Comparison of European and Asian Experience (New York; Palgrave
Macmillan, 2009
[21] Sri-Edi
Swasono, Ekspose Ekonomika: Mewaspadai
Globalisasi dan Pasar Bebas, Yogyakarta:
Pustep UGM, 2010.
[22] Rainer Adam, dkk., Persaingan dan Ekonomi Pasar di Indonesia (Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung-Indonesia, 2004), 43.
[23]
Mubyarto, Reformasi Sistem Ekonomi Dari Kapitalisme Menuju Ekonomi
Kerakyatan (Yogyakarta: Aditya Media, 1999).
[24] Indra
Ismawan, Sukses di Era Ekonomi Liberal Bagi Koperasi dan Perusahaan
Kecil-Menengah (Jakarta: Gramedia, 2001).
[25] Mahmud
Thoha, dkk., Globalisasi Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan (Jakarta:
Pustaka Quantum, 2002).
[26] Jamroni
Sodik,”Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Regional: Studi Kasus
Data Panel di Indonesia”, Jurnal
Ekonomi Pembangunan, Vol. 12 , No. 1, Universitas Islam Indonesia, 2007.
[27] Anton Hermanto Gunawan, Anggaran Pemerintah dan Inflasi di
Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991)
[28]
Ani Sri Rahayu, Pengantar Kebijakan Fiskal (Jakarta: Bumi Aksara, 2010).
[29]
Tim Pengkajian SPKN BPKN, Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi pada
Pengelolaan APBN/APBD (Jakarta: BPKP, 2002).
[30]
Yasin Ghadi, al-Amwa>l wa al-Amla>k al-‘A>mma>h fi> al-Isla>m
wa H{ukm al-I’tida’ ‘Alaiha> (Mu’tah: Mu’assasah Ra>m, 1994).
[31] Mahmud Julaid, Qira>’at
fi> al-Ma>li>ya>t al-‘A>mma>h fi> al-Isla>m (Jeddah:
IDB-IRTI, 1995/1415).
[32]
M. Nejatullah Siddiqi, Teaching Public Finance in Islamic Perspective
(Jeddah: Centre for Research in Islamic Economics King Abdul Aziz
University, 1413/1992).
[33] Zafar Iqbal, an Islamic
Perspective on Public Finance (Australia: University of South Australia,
2003).
[34] Denzin
K.N. & Lincoln S.Y., Hand Book of Qualitative Research (US: Sage
Publications Inc, 2000).
[35]
Baca lebih lanjut Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian
Sosial-Agama (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), 109-111.
[36]
Altheide, D.L, Qualitative Media Analysis: Qualitative Research Methods
Series. No. 38, (CA: SAGA, Thousand Oaks, 1996), 8.
[37] Creswell,
J.W., Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five
Traditions (CA: SAGA, Thousand Oaks, , 1998), 110-111.
[38]
Klaus Krippendorf, Content Analysis, Penerjemah: Faridj Wajidi, Analisis Isi
(Jakarta: Rajawali Pers, 1991), 15. Baca pula Noeng Muhadjir, Metodologi
Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), 49-51.
[39]
Noegroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Jakarta:
Yayasan Idayu, 1978), 112. Lihat pula Kartini Kartono, Pengantar Metodologi
Riset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1990), 243-253.
[40] Lihat karya
David Osborne and Ted Gaebler, Reinventing Government: How The
Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector (Addison – Wesly
Publishing Company, Inc., 1992).
[41] Baca lebih lanjut karya Adam
Smith, The Wealth of Nations (London: J.M. Dens and Sons, 1977).
[42] John Stuart Mill, Principles of Political Economy (London:
Longman’s Green and Co., 1921), Buku V, Bab II.
[43] Diskusi terbaru tentang sistem
ekonomi sosialis yang mengalami transisi paradigma menuju ekonomi pasar dapat
dibaca Shinichi Ichimura, et. al (eds.), Transition from Socialist to Market
Economies: Comparison of European and Asian Experience (New York; Palgrave
Macmillan, 2009), khususnya pada bagian III “The Role of the State and Market
in Transition”, 145-227.
[44] Lihat Shinichi Ichimura, et. al
(eds.), Transition from Socialist to Market Economies: Comparison of
European and Asian Experience (New York; Palgrave Macmillan, 2009),
151-153.
[45]Richard A. Musgrave, a Theory
of Public Finance (New York: Mc-Graw-Hill, 1959). Baca pula John F. Due
& Ann F. Friedlaender, Government Finance (New York: Richard D.
Irwin, Inc. 1981). Untuk edisi Indonesia diterjemahkan Rudy Sitompul dan Ellen
Gunawan, Keuangan Negara: Perekonomian Sektor Publik (Jakarta: Erlangga,
1984), 4-5. Baca pula Gareth D. Myles, Public Economics (Cambridge, UK.:
Cambridge University Press), 1995.
[46] Sri-Edi
Swasono, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan: Mutualism and Britherhood (Jakarta:
UNJ Press, 2005), 234-238.