Minggu, 17 Juni 2012

PENGELOLAAN APBN DAN POLITIK ANGGARAN

PENGELOLAAN APBN DAN POLITIK ANGGARAN DI INDONESIA DALAM PERSPEKTIF EKONOMI ISLAM
Aan Jaelani
IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon

Abstrak
Kebijakan pembangunan dalam era reformasi mengedepankan paradigma pembangunan manusia yang menempatkan rakyat sebagai pelaku pembangunan dan menempatkan ekonomi daerah sebagai wahana mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Namun demikian, kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk APBN justru berlawanan arah dengan peran pemerintah yang semestinya mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif dengan metode sejarah dan metode vestehen. Pengelolaan APBN menunjukkan peran pemerintah dalam mengatur sumber-sumber pendapatan dan pembelanjaan publik. Praktek pengelolaan keuangan negara telah dilakukan sejak masa Nabi Muhammad yang digunakan untuk kepentingan pembangunan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan APBN pada era reformasi menggunakan struktur anggaran berbasis kenirja yang bertujuan meningkatkan kinerja pemerintahan dengan good governance yang menuntut adanya efektifitas, efisiensi, transparan, dan akuntabel dalam pengelolaannya. Meskipun demikian, penyalahgunaan anggaran berupa korupsi masih terjadi pada pengelolaan APBN ini.


Policy of promoting development in the reform era of human development paradigm that puts people as actors and placing local economic development as a vehicle for community welfare. However, government policy as outlined in the budget form precisely the opposite direction to the proper role of government welfare for the community. This study used a qualitative paradigm methods and methods vestehen history. Management of the state budget shows the government's role in regulating the sources of revenue and public expenditure. Financial management practices of the country has made ​​since the time of Prophet Muhammad are used for development purposes in the public welfare. Budget management in the reform era kenirja using structure-based budget that aims to improve the performance of government with good governance that requires the effectiveness, efficiency, transparency, and accountability in its management. However, the abuse of the budget of corruption still occurs in the management of this budget.

Keyword: APBN, politik anggaran, korupsi, ekonomi Islam.


A.  Latar Belakang
Perkembangan ekonomi global sekarang ini memiliki implikasi terhadap kesejahteraan negara. Batas dan kekuatan negara-bangsa semakin memudar, memencar kepada lokalitas, organisasi-organisasi independen, masyarakat madani, badan-badan supra-nasional (seperti NAFTA atau Uni Eropa), dan perusahaan-perusahaan multinasional. Mishra (2000) dalam bukunya Globalization and Welfare State menyatakan bahwa globalisasi telah membatasi kapasitas negara-bangsa dalam melakukan perlindungan sosial.
Pembangunan ekonomi sangat penting bagi kesejahteraan. Secara global dan khususnya di negara-negara industri maju, pertumbuhan ekonomi telah memperkuat integrasi dan solidaritas sosial, serta memperluas kemampuan dan akses orang terhadap pelayanan kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan perlindungan sosial. Namun demikian, analisis Edi Suharto, [1] pada banyak negara berkembang, globalisasi dan ekonomi pasar bebas telah memperlebar kesenjangan, menimbulkan kerusakan lingkungan, menggerus budaya dan bahasa lokal, serta memperparah kemiskinan.
Kebijakan privatisasi, pasar bebas dan ‘penyesuaian struktural’ (structural adjustment) yang ditekankan lembaga-lembaga internasional telah mendorong negara-negara berkembang ke dalam situasi dimana populasi miskin mereka hidup tanpa perlindungan. Meskipun pertumbuhan ekonomi penting, tetapi ia tidak secara otomatis melindungi rakyat dari berbagai resiko yang mengancamnya. Oleh karena itu, beberapa negara berkembang mulai menerapkan kebijakan sosial yang menyangkut pengorganisasian skema-skema jaminan sosial, meskipun masih terbatas dan dikaitkan dengan status dan kategori pekerja di sektor formal.
Karena demikian, pembangunan ekonomi di Indonesia perlu dilandasi dengan nilai-nilai moral, terutama aspek perdagangan yang menjadi sumber devisa negara. Perdagangan, dalam konteks syari’ah dan budaya Pancasila, menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia dalam bermu’amalah. Hubungan manusia dengan manusia yang lain memiliki ruang yang bebas, namun hubungan ini memiliki nilai transenden sebagai bentuk kegiatan ekonomi yang kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Allah. Jadi, kebebasan manusia, realitas ekonomi, dan akuntabilitas kepada Allah menjadi kerangka kerja bagi para pelaku bisnis, sehingga perdagangan yang dilakukan tidak dapat dilepaskan dari bagaimana niat–amal-tujuan perdagangan. Realitas inilah yang mendasari perdagangan bebas harus dikonsepsikan dari epistemologi tauhidi, yaitu Allah sebagai Realitas Absolut, yang mencakup prinsip-prinsip:[2]tauhid (QS. 41:53, 12:40, 6:162), rububiyah, khilafah (QS. 2:30, 35:39), tazkiyah, dan akuntabilitas (QS. 4:85, 10:108).
Dalam era pasar bebas, kegiatan ekonomi yang dilakukan bisa saja tidak memperhatikan masalah etika yang dapat mengakibatkan sesama pelaku ekonomi akan bertabrakan kepentingannya, sehingga kondisi ini bisa jadi menciptakan kekuatan yang dapat menghancurkan pelaku ekonomi lain. Karena itu, etika bisnis Islam menjadi kerangka acuan sebagai bentuk moralitas pelaku ekonomi. Etika bisnis ini dapat mencegah terjadinya distorsi pasar, sehingga berbagai bentuk larangan praktek ekonomi memberikan mashlahah bagi kehidupan manusia secara utuh.
Menurut Samuelson,[3] pemerintah telah memainkan peranan yang semakin meningkat dalam sistem ekonomi campuran modern. Hal ini tercermin dalam (1) pertumbuhan pengeluaran pemerintah; (2) pemerataan pendapatan oleh negara; dan (3) pengaturan langsung dari kehidupan ekonomi. Perubahan fungsi-fungsi pemerintah tercermin dalam kegiatan pemerintah meliputi: (1) pengawasan langsung; (2) konsumsi sosial dari barang publik; (3) stabilitas kebijakan keuangan negara dan moneter; (4) produksi pemerintah; dan (5) pengeluaran kesejahteraan.
Dalam mekanismenya, pasar mengalami kesulitan dalam menciptakan alokasi sumber-sumber ekonomi secara sempurna, sehingga mengalami kegagalan. Kegagalan pasar tersebut, seperti diungkapkan Murray N. Rothbard,[4] biasanya disebabkan oleh adanya common goods atau barang bersama, unsur ketidaksempurnaan pasar, barang publik dan eksternalitas, pasar tidak lengkap (incomplete market), keterbatasan atau kegagalan informasi, unemployment atau pengangguran, dan adanya ketidakpastian (uncertainty).
Dalam konteks Islam, peran negara dilakukan dalam rangka melanjutkan misi kenabian,[5] yaitu pencapaian al-maqashid al-shari‘ah (tujuan-tujuan syari‘ah).[6] Negara sebagai agen Tuhan untuk merealisasikan al-maqashid al-shari‘ah. Sebagai contoh, pada negara Islam pengalokasian sumber-sumber daya yang tidak sesuai dengan tujuan syara’ tidak dibenarkan. Karena itu, penerimaan keadilan dan persamaan menjadi komponen esensial dalam kebijakan publik (public policy). Jadi, kemaslahatan yang mengacu pada pemenuhan kebutuhan masyarakat menjadi kata kunci.
Demikian pula dalam ekonomi Pancasila, dimensi keadilan, persamaan hak, dan pengelolaan sumber daya alam digunakan untuk kepentingan masyarakat berdasarkan prinsip kemaslahatan. Cabang-cabang produksi bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan untuk hajat hidup orang banyak (Pasal 23 UUD 1945).
Sebagai contoh, selama 32 tahun Orde Baru, feodalisme, paternalisme dan absolutisme yang dilakukan pemerintah pada dasarnya merupakan kecenderungan ke arah sentralisaisme. Dalam kecenderungan semacam itu, otonomi, desentralisasi dan dekonsentrasi tidak akan berjalan.[7]
Untuk mempercepat pembangunan daerah, agenda utama dari era reformasi adalah otonomi daerah dan demokratisasi ekonomi. Tema sentral dari kebijaksanaan pembangunan dalam era reformasi adalah mengedepankan paradigma pembangunan manusia yang menempatkan rakyat sebagai pelaku pembangunan dan menempatkan ekonomi daerah sebagai wahana mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Namun demikian, kebijakan pemerintah yang dituangkan dalam bentuk APBN justru berlawanan arah dengan peran pemerintah yang semestinya mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakat. Fenomena politik anggaran dalam pengelolaan APBN di kalangan DPR yang memiliki wewenang untuk melakukan perubahan anggaran lebih menyebabkan terjadinya korupsi baik secara pribadi maupun kelompok.
Oleh karena masyarakat sendiri tidak akan mampu mengentaskan kemiskinan ekonomi dan sosial, maka untuk memberdayakan masyarakat, terutama masyarakat yang miskin diperlukan pemberdayaan awal (self empowerment) dari pihak luar terutama dari pemerintah. Bahkan, menurut Sri-Edi Swasono,[8] rakyat telah mengalami proses pemiskinan (impoverishment) dan pelumpuhan (disempowerment), yang terjadi seiring dengan pembangunan nasional yang mengabaikan orientasi kerakyatan.
Permasalahan lain sistem perdagangan bebas di era global ini bisa menjadi suatu alternatif bagi kemajuan ekonomi dengan meningkatnya pertumbuhan dan pembangunan, atau sebaliknya, justru ia menjadi persoalan baru bagi negara-negara tertentu, khususnya negara berkembang yang terpuruk kondisi ekonominya, termasuk pula Indonesia. Di samping itu, sistem ini dapat berlaku atau tidak bagi semua dan untuk kemakmuran bersama.
Dalam ekonomi Islam dan ekonomi Pancasila, negara memiliki hak untuk ikut campur (intervensi) dalam kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh individu-individu, baik untuk mengawasi kegiatan ini maupun untuk mengatur atau melaksanakan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak mampu dilaksanakan oleh individu-individu.
Kegiatan ekonomi bergerak menuju pasar bebas. Namun perkembangan yang ada cenderung menampakkan kompleksitas dan penyimpangan-penyimpangan etika dalam kegiatan ekonomi.[9] Atas dasar itulah, maka Ibnu Taimiyah, memandang perlu keterlibatan (intervensi) negara dalam aktifitas ekonomi dalam rangka melindungi hak-hak masyarakat dari ancaman kezaliman para pelaku bisnis yang ada, dan untuk kepentingan manfaat yang lebih besar. Dalam kaitan ini, maka intervensi negara dalam kegiatan ekonomi bertujuan menghapuskan kemiskinan sebagai kewajiban negara. Bagi Ibnu Taymiyah,[10] seseorang harus hidup sejahtera dan tidak tergantung pada orang lain, sehingga mereka bisa memenuhi sejumlah kewajibannya.
Dalam ekonomi Pancasila, secara jelas ditegaskan tujuan negara Indonesia dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yaitu untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, mensejahterakan kehidupan masyarakat, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial. Karena itu, negara Indonesia berkewajiban turut serta dalam mengatur kehidupan ekonomi masyarakat, yang semata-mata bertujuan untuk mensejahterakan mereka. Dalam hal ini, ekonomi kerakyatan menjadi identitas kebangsaan yang harus diperjuangkan dan dimanifestasikan dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Karena itu, menurut Sri-Edi Swasono,[11] pasar bebas atau perdagangan bebas tidak memperoleh tempat dalam ekonomi Indonesia, sebab berdasarkan ”daulat pasar” bukan ”daulat rakyat”. 
Pasar bebas pada prinsipnya lebih mementingkan sekelompok orang pemilik modal yang terus menanamkan cengkeraman ekonominya pada setiap kegiatan ekonomi. Karena itu, Undang-undang RI Nomor 38 Tahun 2008 tentang ASEAN Charter perlu dikritisi sebab berpihak pada kecenderungan pasar bebas yang diberlakukan di kawasan ASEAN, khususnya Indonesia.[12] Jika tidak, bagaimana dengan rakyat kita yang miskin, miskin ekonomi dan miskin sumber daya.
Pengurangan kemiskinan menjadi sebuah agenda penting kebijakan pembangunan di Indonesia selama ini. Angka statistik kemiskinan mengalami penurunan dari tahun ke tahun, tetapi tampaknya agenda pengurangan kemiskinan menjadi sebuah proyek besar yang tidak pernah akan selesai. Di masa lalu pengurangan kemiskinan menggunakan pendekatan yang terpusat, top down, mobilisasi, seragam dan berbasis proyek yang bersifat off budget.
Pada masa reformasi pendekatan pengurangan kemiskinan telah mengalami pergeseran ke arah yang lebih desentralis­tik, bottom up dan partisipatif, yang semua itu semakin canggih dikemas, menyusul lahirnya komitmen internasional dalam Millenium Development Goals (MDGs). Kini muncul sebuah konsep yang lebih bertenaga berupa anggaran pro rakyat miskin (pro poor budget), yang lahir bersamaan dengan konsep-konsep lain seperti anggaran alternatif, anggaran rakyat, anggaran partisi­patif (participatory budgeting) maupun anggaran yang responsif gender (gender budgeting). Didorong oleh lahirnya konsep-konsep baru itu, skema pendanaan pengurangan kemiskinan tidak lagi off budget, tetapi ia harus menyatu (integrasi) ke dalam (built in) sistem perencanaan dan pengang­garan. Dengan kata lain, pendekatan baru itu mengharuskan pengaru­sutamaan kemiskinan (poverty mainstreaming) dalam perencanaan dan pengganggaran.
Di Indonesia, kesepakatan MDGs diteruskan dengan komitmen pengarus-utamaan kemiskinan dan gender dalam perencanaan dan penggang­garan APBN/APBD sejak 2003/2004. Melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009 pemerintah berupaya (2004–2009) diharapkan dapat menurunkan persentase penduduk miskin menjadi 8,2 persen pada tahun 2009. Pada saat yang sama pemerintah juga telah mengeluarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) yang disusun melalui proses partisipatif dengan melibatkan seluruh stake­holders pembangunan di Indonesia. SNPK mengedepankan pendekatan berbasis hak (right-based approach) sebagai pendekatan utama dengan menegaskan pencapaian secara bertahap dan progresif (progressive realization) dalam penghormatan (respect), perlindungan (protect) dan pemenuhan (fulfill) hak dasar rakyat, memberikan perhatian terhadap per­wujudan kesetaraan dan keadilan gender, serta percepatan pengembangan wilayah.
Sedangkan dalam konteks penelolaan APBN, pengeluaran pemerintah yang terdapat dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) merupakan salah satu alat kebijakan fiskal pemerintah. Pemerintah dapat menggunakannya untuk mengelola perekonomian negara. APBN pada perkembangannya telah mengalami banyak perubahan struktur. APBN saat ini menggunakan sistem anggaran berbasis kinerja berdasarkan UU No.1 tahun 2004.
Sejak tahun 1969 diterapkan sistem berimbang dan dinamis dalam penyusunan Anggaran Pendapatan Belanja Negara. Sistem anggaran berimbang dan dinamis ini menggantikan sistem anggaran sebelumnya pada masa orde lama yang belum membedakan antara anggran belanja dengan penerimaan. Pembedaan antara anggaran belanja dengan penerimaan akan mempermudah mengetahui berapa besar anggaran belanja pemerintah untuk sektor publik. Namun demikian, pengelolaan anggaran yang semakin efektif tersebut kurang berpihak pada tujuan pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Karena itu penelitian ini hendak menelusuri dan menganalisis peluang-peluang had­irnya reformasi kebijakan anggaran yang mengarah pada pro poor budget yang secara substansial mengandung tujuan-tu­juan pengurangan kemiskinan dan promosi kesejahteraan, dan tentunya mengurangi terjadinya penyimpangan anggaran. Tetapi, penelitian ini memiliki asumsi bahwa desain institusional itu penting tetapi tidak cukup untuk melahirkan APBN yang pro poor secara konk­ret. Berdasarkan masalah tersebut, maka masalah penelitian ini terkait bagaimana pendapatan dan pengeluaran pemerintah dalam perspektif keuangan negara ? bagaimana manajemen APBN dan politik anggaran di Indonesia pada era reformasi ? dan bagaimana pengelolaan APBN, politik anggaran dan pembangunan di Indonesia dalam perspektif ekonomi Islam ?
Kajian tentang pengelolaan anggaran terkait dengan keuangan negara dalam bentuk penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Karena itu, studi ini terkait dengan disiplin keuangan publik atau keuangan negara yang menekankan peran negara dalam pengelolaan anggaran untuk kesejahteraan masyarakat. Kebijakan pengelolaan anggaran pada setiap negara memiliki perbedaan akibat kondisi sosial, politik, ekonomi, dan khususnya pengaruh globalisasi, serta kepentingan-kepentingan pemerintah dalam upaya mensejahterakan rakyat.
Beberapa kajian literatur tentang peran dalam pengelolaan anggaran untuk kesejahteraan rakyat antara lain dapat dicatat karya Adam Smith,[13] An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations. Tokoh ini sebagai pelopor dalam kapitalisme yang memunculkan paradigme laissez-faire atau pasar bebas. Paul A. Samuelson[14] dalam Economics. Karya ini menjadi buku penting dalam kajian ilmu ekonomi yang membawa tradisi liberalisme dan pasar bebas sebagai karakter dari globalisasi ekonomi. Karena itu, Sri-Edi Swasono memberikan kritik terhadap budaya kampus yang menggunakan literatur ini tanpa kritik mendalam karena aksioma-aksioma liberalisme dan individualismenya.
Karya lain ditulis Robin W. Boadway and Neil Bruce[15] dalam Welfare Economics. Buku ini memberikan penjelasan tentang paradigma kesejahteraan ekonomi dalam perspektif kapitalisme. Alessandro Roncaglia[16] dalam The Wealth of Ideas: a History of Economic Thought memberikan penjelasan dengan analisis ekonomi tentang perkembangan pemikiran ekonomi klasik sampai neoliberalisme. Tulisan lain tentang hubungan negara dan pasar dapat dibaca Murray N. Rothbard[17] dalam Power and Market Government and the Economy. Buku ini penting untuk melihat dimensi peran dan pergulatan kekuatan pemerintah dan pasar dalam ekonomi. I. Wallerstein[18] dalam The Capitalist World-Economy mengungkapkan secara panjang sejarah kapitalisme dan globalisasi yang bergerak secara cepat di dunia modern.
Buku lain ditulis Susan George[19] dalam Republik Pasar Bebas yang memaparkan betapa sengitnya perang ide dan perang ideologi ekonomi pasar dalam menyebarkan neoliberalisme dan mempertahankan kapitalisme global. Shinichi Ichimura, et. al (eds.)[20] dalam Transition from Socialist to Market Economies: Comparison of European and Asian Experience menggambarkan pula kemenangan kapitalisme atas sosialisme.
Sedangkan kritik atas globalisasi dan pasar bebas antara lain karya Sri-Edi Swasono,[21] Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas, Yogyakarta: Pustep UGM, 2010 dan Mewaspadai Pasar Bebas (dalam Dari Lengser ke Lengser). Tokoh ekonomi rakyat ini banyak menghasilkan karya yang mengkritik globalisasi, pasar bebas, neoliberalime dan fokus pada memperjuangkan demokrasi ekonomi berbasis Pancasila. Rainer Adam, dkk.[22] dalam Persaingan dan Ekonomi Pasar di Indonesia memaparkan kondisi ekonomi Indonesia di tengah arus pasar bebas.
Tokoh lain adalah Mubyarto[23] yang menulis Reformasi Sistem Ekonomi Dari Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan. Karya ini cukup penting bukan hanya upaya akademik penulis dalam mengkritik kapitalisme melainkan juga bentuk perjuangan dalam mengimplementasikan ekonomi kerakyatan. Kemudian Indra Ismawan[24] dalam Sukses di Era Ekonomi Liberal Bagi Koperasi dan Perusahaan Kecil-Menengah. Buku ini memaparkan kiat-kiat koperasi dan perusahaan kecil-menengah dalam menghadapi era ekonomi liberal. Mahmud Thoha, dkk.,[25] dalam Globalisasi Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan memberikan analisis krisis ekonomi di Indonesia akibat globalisasi dan memberikan alternatif bagi pengembangan ekonomi kerakyatan.
Studi lain terkait dengan pengeluaran pemerintah sebagai bentuk pengelolaan anggaran, pertumbuhan ekonomi, dan kasus korupsi dalam pemerintahan antara lain Jamzy Zodik[26] meneliti hubungan pengeluaran pemerintah dan pertumbuhan ekonomi regional. Penelitian ini cukup baik menganalisis pengeluaran pemerintah Indonesia yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Namun, fakta lain tentang korupsi nampaknya tidak diungkapkan.
Anton Hermanto Gunawan[27] dalam Anggaran Pemerintah dan Inflasi di Indonesia memberikan penjelasan tentang hubungan anggaran pemerintah dan inflasi di Indonesia. Buku ini sangat relevan untuk mengungkap pola dan sistem pengelolaan APBN di Indonesia, namun hanya menganalisis kondisi ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru.
Ani Sri Rahayu[28] dalam Pengantar Kebijakan Fiskal memberikan gambaran tentang kebijakan fiskal yang terkait dengan perpajakan dan pengeluaran pemerintah Indonesia. Buku ini cukup baik menjelaskan struktur APBN dan pengelolaannya sejak masa reformasi, meskipun tidak banyak mengungkap persoalan-persoalan di bidang anggaran.
Tim Pengkajian SPKN BPKN[29] dalam Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan APBN/APBD menjelaskan secara legal dan institusional berbagai praktek korupsi dan upaya pemberantasannya dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Namun demikian, buku ini sangat sederhana dalam mengungkap politik anggaran dan penyimpangannya.
Sedangkan kajian anggaran pemerintah sebagai bagian dari keuangan publik dalam ekonomi Islam dapat ditelusuri antara lain Yasin Ghadi dalam al-Amwal wa al-Amlak al-‘Ammah fi al-Islam wa Hukm al-I’tida’ ‘Alaiha[30] memberikan analisis hukum Islam tentang keuangan negara (al-mal al-‘am) yang dihubungkan dengan konsep harta dan pengelolaannya berdasarkan kaidah-kaidah syari’ah. Namun, karya ini kurang banyak mengungkap dimensi pengelolaan keuangan publik dan penerapannya melalui suatu politik anggaran.
Mahmud Julaid dalam Qira’at fi al-Maliyat al-‘Ammah fi al-Islam[31] melakukan analisis terhadap konsep keuangan publik (al-maliyat al-‘ammah) dan penerapannya dalam pemerintahan Islam pada masa klasik, namun relevansi pengelolaan keuangan negara dalam konteks pemerintahan sekarang ini tidak cukup memberi penjelasan yang lengkap.
M. Nejatullah Siddiqi melalui karyanya, Teaching Public Finance in Islamic Perspective,[32] menjelaskan secara komprehensif tentang keuangan publik Islam dan penerapannya dalam konteks ekonomi modern di negara-negara Muslim. Namun, karena karya ini lebih bercorak “modul” sebagai bahan kuliah, sehingga tidak ditemukan analisis mendalam tentang “diskusi” pengelolaan anggaran dari para pemikir ekonomi Islam.
Kajian penting keuangan publik dalam Islam dapat ditemukan pula pada karya Zafar Iqbal, an Islamic Perspective on Public Finance.[33] Karya ini mengungkap keuangan publik yang membahas secara komprehensif teori keadilan dalam ekonomi, teori pajak, teori anggaran, organisasi komersial sektor keuangan public, dan korupsi. Meskipun karya ini membandingkan teori-teori tersebut perspektif Islam dan Barat, namun kurang memberikan analisis politik ekonomi Islam.
Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif. Penelitian kualitatif terkait dengan penggunaan data kualitatif seperti teks, dokumen, hasil wawancara, dan observasi partisipan untuk memahami dan menjelaskan fenomena sosial.[34] Penelitian ini dibatasi dengan menggunakan studi pustaka, sehingga teks dan dokumen yang terkait dengan pengelolaan APBN akan dipakai sebagai salah satu sumber data yang akan dianalisis dan dideskripsikan, terutama data yang bisa diakses pada tingkat pemerintahan dan kementerian terkait.
Karena penelitian ini akan mengungkap peristiwa masa lalu, terutama mengungkap pengelolaan keuangan pada masa sejarah pemikiran ekonomi Islam, maka akan digunakan metode sejarah. Metode ini akan digunakan sebagai cara peneliti untuk memahami makna, masyarakat, serta konteks budaya dan sosial di mana masyarakat hidup di dalamnya. Metode ini juga digunakan untuk mereview biografi, sejarah dan informasi budaya yang bertujuan dapat menjelaskan dan menyikapi isu-isu saat itu dan interaksi di dalamnya.
Metode lain yang digunakan sesuai tujuan penelitian ini berupa metode vestehen[35] yang digunakan untuk memahami atas tafsiran-tafsiran yang terjadi di antara aktor, sekaligus memahami perspektif aktor (individual atau kolektif) yang diteliti dengan background kultural dan akademis peneliti sendiri.
Adapun informasi yang digunakan dalam studi ini berasal dari berbagai sumber yang berupa dokumen, teks-teks literatur dan hasil penelitian. Sumber informasi ini dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sumber primer dan sumber sekunder.
Pertama, sumber primer, terdiri dari peraturan-peraturan tentang pengelolaan keuangan negara, dokumen APBN dan RAPBN, karya-karya klasik tentang keuangan Negara, dan literatur yang sesuai dengan masalah penelitian ini. Kedua, sumber sekunder, berupa referensi pendukung yang dapat menafsirkan atau menjelaskan masalah penelitian yang tidak dapat ditemukan pada sumber primer. Sumber sekunder dalam bentuk hasil penelitian para sarjana (scholarly research literature) ini digunakan untuk melengkapi teks literatur (literary texts), di samping memberikan latar belakang informasi budaya, spiritual, dan sejarah, serta pemikiran ekonomi Islam. Hasil-hasil penelitian sarjana juga dapat membantu untuk mengeksplorasi dan memahami content dalam suatu konteks sosial yang diproduksi.[36]
Pada penelitian kualitatif, beberapa tahap digunakan dalam proses pengumpulan data.[37]  Tahap yang paling penting adalah identifikasi terhadap subyek – masyarakat atau tempat – yang akan diteliti. Data yang diperoleh akan dikumpulkan, diuji, dan dianalisis sesuai dengan rumusan masalah yang diteliti.
Tahap kedua adalah verifikasi terhadap sumber-sumber informasi atau data material yang ada. Data yang diperoleh akan diidentifikasi untuk memahami latar belakang, paradigma, dan struktur pengelolaan anggaran. Jadi, pada tahap ini akan difokuskan pada lingkungan sosial, budaya, dan politik yang membentuk lahirnya produk anggaran tersebut.
Tahap ketiga adalah evaluasi data. Sumber material berupa gagasan, budaya dan sejarah yang berbeda pada setiap periodisasinya, perubahan-perubahan yang terjadi, dan corak yang muncul dan terkait dengan pengelolaan anggaran yang  dijelaskan secara komparatif. Seluruh data ini akan diseleksi, diverifikasi, dan divalidasi secara otentik. Data yang terkumpul direview sesuai dengan sumbernya, kemudian diseleksi tingkat relevansinya dengan kategori sumber berdasarkan topik-topik yang akan dibahas dalam penelitian ini. Sebagai tahap akhir, dilakukan sintesis terhadap data dan pengorganisasiannya dalam bentuk interpretasi yang membahas masalah penelitian.
Sedangkan analisis data akan menggunakan metode analisis isi (content analysis) dan metode sejarah kritis. Content analysis adalah suatu teknik untuk membuat interferensi-interferensi yang dapat diulang (replicable) dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya.[38] Sedangkan metode sejarah kritis ditempuh dengan langkah-langkah menurut norma-norma ilmu sejarah.[39] Hal ini dikarenakan, meskipun pelaku, waktu, dan tempat berlainan, serta sejarah tidak mungkin terulang lagi, namun secara makro memiliki ciri-ciri yang hampir bersamaan. Metode ini digunakan pula untuk mengevaluasi data sekunder yang dapat membedakan opini, interpretasi, dan pikiran-pikiran yang sifatnya subyektif-spekulatif, sehingga akan diketahui tingkat biografis, geografis, kronologis, dan aspek fungsionalnya.

B.     Pembahasan Hasil Penelitian
Studi tentang pendapatan dan pengeluaran pemerintah dapat dikaji dengan menggunakan teori peran negara dalam ekonomi. Teori peran negara akan digunakan untuk menganalisis pengelolaan anggaran yang ditujukan untuk kesejahteraan rakyat. Sebab, menurut Mardiasmo, anggaran merupakan pernyataan mengenai estimasi kinerja yang hendak dicapai selama periode waktu tertentu yang dinyatakan dalam ukuran finansial. Sedangkan penganggaran atau proses penyusunan anggaran adalah proses pengoperasional rencana dalam bentuk pengkualifikasian, biasanya dalam bentuk unit moneter, untuk kurun waktu tertentu. Jadi, penganggaran adalah proses atau metoda untuk mempersiapkan suatu anggaran.
Sedangkan menurut Anthony dan Govindarajan, proses penyusunan anggaran pada dasarnya memiliki 4 tujuan utama yaitu: (1) menyelaraskan dengan rencana strategik, (2) untuk mengkoordinasikan kegiatan dari beberapa bagian dalam organisasi, (3) untuk memberikan tanggungjawab kepada manajer atau pimpinan, guna mengotorisasi jumlah dana yang dapat digunakan, dan untuk memberitahukan hasil yang mereka capai, serta (4) untuk mencapai kerjasama.
Karena demikian, pemerintah yang berkewajiban mengelola anggaran bila dilihat dari peran dan fungsi ekonomi menjadi perdebatan di kalangan ekonom sosialis dan kapitalis. Secara umum, peran dan fungsi pemerintah tersebut terkait dengan adanya upaya pencapaian tujuan pembangunan ekonomi berupa tingkat kesejahteraan masyarakat yang optimal.[40] Namun demikian, perlu tidaknya turut campur pemerintah dalam mencapai tujuan tersebut diperdebatkan oleh sosialisme dan kapitalisme.
Kapitalisme yang memiliki semangat liberal dalam bentuk yang murni menganggap pemerintah tidak perlu ikut campur dalam perekonomian kecuali terkait dengan aturan-aturan yang tidak ditentukan oleh setiap individu pelaku ekonomi. Dalam hal ini, setiap orang memiliki kebebasan secara mutlak untuk mengatur dirinya sendiri, termasuk dalam aspek ekonomi.
Para ekonom klasik yang dimotori Adam Smith[41] menilai bahwa pemerintah memiliki tiga fungsi, yaitu bidang pertahanan dan keamanan, keadilan sosial (tertib hukum), dan pekerjaan umum (sosial). Aliran ini menganggap bahwa hal penting bagi pemerintah adalah tidak melakukan aktivitas yang dikerjakan oleh para individu, melainkan pemerintah hanya melakukan kegiatan ekonomi yang sama sekali tidak pernah dilakukan oleh individu atau sektor swasta baik secara perorangan maupun bersama-sama.
Dalam pandangan John Stuart Mill,[42] konsep di atas dapat dianalisis melalui keberadaan perusahaan. Perusahaan lebih baik dijalankan oleh sektor swasta yang memang sudah tertarik untuk mengusahakannya dan membiarkan usaha-usaha tersebut tanpa ada campur tangan pemerintah, hanya saja memang ada beberapa pengecualiannya.
Sedangkan sistem ekonomi sosialis tidak menghendaki adanya kebebasan individu, sehingga kegiatan perekonomian harus dikuasai pemerintah sebagai institusi atau lembaga yang mewakili para individu.[43] Peran pemerintah dalam mengatur perekonomian tersebut untuk mengatur perencanaan dan penggunaan faktor-faktor produksi, melaksanakan kegiatan produksi, dan mengatur distribusi barang-barang konsumsi, mengatur pendidikan serta kesehatan, dan lain sebagainya.[44]
Perkembangan ekonomi dewasa ini, tentu akan mempengaruhi aliran/paham tersebut di atas, sehingga pada pertengahan abad ke 20 tidak ada lagi sistem-sistem ekstrim yang murni, karena telah dirasakan berbagai kekurangan dari sistem ekstrim yang murni tersebut. Akibatnya, sistem perekonomian yang ada di sebagian besar negara di dunia sekarang ini, merupakan sistem perekonomian yang bersifat campuran.
Khususnya Indonesia, sistem perekonomian yang dianut adalah ekonomi Pancasila, yakni berdasarkan pada keselarasan, keserasian dan keseimbangan hubungan antara individu dan masyarakat yang lahir dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Jadi, bukannya menggabungkan hal-hal yang baik dari sistem kapitalis dengan hal-hal yang baik dalam sistem sosialis, walaupun dalam bentuknya yang nyata sistem perekonomian Indonesia mirip dengan sistem ekonomi campuran.
Berdasarkan teori ekonomi analitis, fungsi ekonomi pemerintah dilihat dari fungsi dan tujuan kebijakan anggaran belanja pemerintah, sebagaimana diuraikan Musgrave[45] pada karyanya, a Theory of Public Finance, dapat dikelompokkan menjadi 3 jenis, yaitu: pertama, allocation branch (to secure adjustments in the allocation of resources), yaitu fungsi untuk menyediakan pemenuhan terhadap public wants (kebutuhan publik); kedua adalah distribution branch (to secure adjusments in the distribution of income and wealth), yaitu fungsi politik anggaran belanja yang termasuk ”fungsi klasik” dengan kenyataan adanya pengeluaran dan penerimaan pemerintah yang memiliki efek sosial ekonomi; dan ketiga adalah stabilization branch (to secure economic stabilization), yaitu fungsi mempertahankan tingkat penggunaan faktor-faktor produksi yang tinggi dengan kestabilan nilai uang.
Teori peran ekonomi pemerintah ini lebih lanjut akan digunakan untuk menganalisis pengelolaan APBN dari perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawabannya, sekaligus keterkaitan dengan adanya penyimpangan-penyimpangan di bidang anggaran. Secara umum, politik anggaran pemerintah ini tidak dapat dilepaskan dari pengaruh globalisasi di bidang ekonomi, termasuk pasar bebas. Pengelolaan anggaran yang tidak transparan dan akuntabilitas oleh pemerintah akan menyebabkan kondisi ekonomi semakin terpuruk dan tertinggal negara lain. Karena itu, APBN yang dikelola pemerintah dalam menjalankan pembangunan seharusnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sekaligus berperan dalam mengokohkan nilai-nilai dan budaya bangsa Indonesia. Bukan sebaliknya, adanya alasan ekonomi menjadikan rakyat semakin terpinggirkan, dan masyarakat Indonesia menjadi “tamu” di rumah sendiri. 
Dalam konteks Indonesia, sebagaimana diungkapkan Sri-Edi Swasono,[46] ada enam keprihatinan nasional seiring dengan perkembangan globalisasi yang mempengaruhi rakyat Indonesia melalui pertanyaan-pertanyaan berikut:
Pertama, mengapa pembangunan yang terjadi di Indonesia ini menggusur orang miskin dan bukan menggusur kemiskinan ? akibatnya pembangunan menjadi proses dehumanisasi.
Kedua, mengapa yang terjadi sekedar pembangunan di Indonesia dan bukan pembangunan Indonesia ? orang asing yang membangun Indonesia dan menjadi pemegang konsesi bagi usaha-usaha ekonomi strategis, sedang orang Indonesia menjadi penonton atau pelayan globalisasi.
Ketiga, mengapa “daulat pasar” dibiarkan begitu berkuasa, sehingga menggusur “daulat rakyat”.
Keempat, bukankah seharusnya kita menjadi Tuan di negeri sendiri, menjadi “the master in our own homeland, not just to become the host”, yang hanya melayani kebutuhan globalisasi dan kepentingan mancanegara ?jadi, mengapa kita tetap menjadi kuli di negeri sendiri, sekedar menjadi master of ceremony ? akibatnya GDP berkembang lebih cepat dari GNP. Banyak ekonom lengah akan hal ini.
Kelima, kesejahteraan rakyat tak kunjung tercapai, kesenjangan antara kaya dan miskin makin meningkat.
Keenam, kesenjangan antara kaya dan miskin yang membentukkan frustation-gap pada pihak si miskin, yaitu gap antara aspirasi yang berkembang oleh dorongan iklan konsumtif mewah dan makin meluasnya tarikan affluency pihak yang kaya dengan segala absurditas yang telah menyertainya, telah mendorong ketimpangan struktural dalam pemilikan.
Oleh karena itu, kehidupan ekonomi Indonesia seharusnya menetapkan berlakunya “demokrasi ekonomi” (Pasal 33 UUD 1945) sebagai penolakan terhadap liberalisme ekonomi melalui pasar bebas. Demokrasi ekonomi Indonesia menegaskan hubungan ekonomi berdasarkan mutualism and brotherhood (kebersamaan dan asas kekeluargaan) menolak laissez-faire atau pasar bebas neoliberalistik. Dalam wujudnya, demokrasi ekonomi ini meneguhkan kembali ekonomi rakyat.

C.     Penutup
1.      Kesimpulan
Pengelolaan APBN menunjukkan peran pemerintah dalam mengatur sumber-sumber pendapatan dan pembelanjaan sebagai suatu kewajiban dalam menciptakan kesejahteraan masyarakat. APBN sebgaai bagian dari keuangan negara memiliki prinsip-prinsip, sistem, dan struktur yang mengalami perubahan setiap periodik sesuai dengan perkembangan nasional dan global.
Dalam konteks pengelolaan keuangan negara, sejak masa Nabi Muhammad dan masa-masa berikutnya, pengelolaan keuangan negara dalam wujudnya sekarang ini berupa APBN, telah memiliki mekanisme dan pengelolaan yang bersifat khas sesuai dengan kondisi sosial, politik, dan budaya yang melingkupinya. Karena itu, APBN digunakan untuk kepentingan pembangunan dan politik anggaran yang memiliki komitmen dalam membela kepentingan masyarakat.

2.      Rekomendasi
Pengelolaan anggaran pada era reformasi sampai sekarang menggunakan struktur anggaran yang disebut anggaran berbasis kinerja. Pola anggaran ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja pemerintahan dengan good governance yang menuntut adanya efektifitas, efisiensi, transparan, dan akuntabel.



DAFTAR PUSTAKA


Abu Yusuf. Kitab al-Kharaj. Beirut: Dar al-Ma’arif, 1979.
Adam, Rainer, dkk. Persaingan dan Ekonomi Pasar di Indonesia. Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung-Indonesia, 2006.
Ahmad,  Khurshid (ed.). Studies in Islamic Economics. Jeddah: King Abdul Aziz University, 1980.
Ahmad, Mustaq. Business Ethics in Islam. Pakistan: International Institute of Islamic Thought, 2001.
Al-Assal, A. Muhammad.dan Fathi Abd. Karim. Hukum  Ekonomi Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999.
Al-Ghazali. Ihya’ ‘Ulum al-Din. Beirut: Dar al-Fikr, 1998.
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali. al-Ahkam al-Sulthaniyah wa-Wilayat al-Diniyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1996.
Al-Shatibi, Abu Ishaq. al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari‘ah. Cairo: al-Maktabah al-Tijanyah al-Kubra, 1975.
Azmi, Sabahuddin. Islamic Economics: Public Finance in Early Islamic Thought . New Delhi: Goodword Books, 2002.
Boadway, Robin W. dan Neil Bruce. Welfare Economics. Oxford: Basil Blackwell, 1984.
Essid, Yassine. A Critique of The Origins of Islamic Economic Thought. Leiden: E.J. Brill, 1995.
George, Susan, Republik Pasar Bebas, Jakarta: INFID/Bina Rena Pariwara, 2002.
Hamdani, Ikhwan, Sistem Pasar,  Jakarta: Nurinsani, 2003.
Ibn Khaldun. al-Muqaddimah Ibn Khaldun. Cairo: Dar Ibn al-Haitham, 2005/1426.
Ibn Taymiyah. al-Hisbah fi al-Islam. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Arabiyah, t.t.
Ibn Taymiyah. al-Siyasah al-Shar’iyah fi Islah al-Ra’iy wa-al-Ra’iyah. Saudi Arabia: Dar ‘alam al-Fawa’id, t.t.
Ichimura, Shinichi, et. Al. (eds.). Transition from Socialist to Market Economies: Comparison of European and Asian Experience. New York; Palgrave Macmillan, 2009.
Islahi, Abdul Azim. Economic Concepts of Ibnu Taimiyah. United Kingdom: The Islamic Foundation, 1996.
Ismawan, Indra, Sukses di Era Ekonomi Liberal Bagi Koperasi dan Perusahaan Kecil-Menengah, Jakarta: Gramedia, 2001.
Mishra, Ramesh. Globalization and the Welfare State. London: McMillan, 2000.
Mubyarto. Membangun Sistem Ekonomi. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2000.
Mubyarto, Reformasi Sistem Ekonomi Dari Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan, Yogyakarta: Aditya Media, 1999.
Naqvi, Haider. Ethics and Economics: an Islamic Synthesis. London: The Islamic Foundation, 1981.
Roncaglia, Alessandro. The Wealth of Ideas: a History of Economic Thought. New York: Cambridge University Press, 2006.
Rostows, W. The Stages of Economic Growth, a Non-Communist Manifesto. Cambridge: Cambridge University Press, 1967.
Rothbard, Murray N., Power and Market Government and the Economy, Kansas: Institute for Humane Studies, Inc., 1977.
Samuelson, Paul A., Economics, New York: McGraw-Hill Book Company, 2008.
Schumpeter, J.A. Capitalism, Socialism amd Democracy. New York: Harper & Row, 1950.
Siddiqui, M.N. Role of the State in the Economy:-An Islamic Perspective. The Islamic Foundation, UK., 1996.
Smith, Adam. An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations. (New Rochelle, N.Y : Arlington House, 1966.
Suharto, Edi. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama, 2005.
Swasono, Sri-Edi, Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas, Yogyakarta: Pustep UGM, 2010.
Swasono, Sri-Edi, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan: Mutualism and Britherhood, Jakarta: UNJ Press, 2005.
Swasono, Sri-Edi, Mewaspadai Pasar Bebas (dalam Dari Lengser ke Lengser), Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2001.
Swasono, Sri-Edi, “Pancasila, Humanisme, Pasal 33 UUD 1945, Kooperativisme, Menolak Liberalisme”, Orasi Ilmiah, Universitas Pasundan Bandung, 19 Juli 2011.
Swasono, Sri Edi, Judicial Review Testimoni Sri-Edi Swasono terhadap UU No. 38 Tahun 2008 tentang ASEAN Charter, Mahkamah Konstitusi RI, 22 Juli 2011
Thoha, Mahmud, dkk., Globalisasi Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan, Jakarta: Pustaka Quantum, 2002.
Todaro, Michael P. dan Stephen C. Smith. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga . Jakarta: Erlangga, 2003.
Umar Chapra, M. The Future of Economics: An Islamic Perspective. Leicester: The Islamic Foundation, 2000.
Wallerstein, I. The Capitalist World-Economy. New York: Cambridge University Press, 1979.
Warde, Ibrahim. Islamic Finance in the Global Economy. Edinburgh: Edinburgh University Press, 2000.



[1] Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2005), 48.

[2]Ahmad  Khurshid (ed.), Studies in Islamic Economics (Jeddah: King Abdul Aziz University, 1980), 178-179.

[3] Robert J. Samuelson, “Pure Theory of Public Expenditure and Taxation”, pada karya J. Margolis & H. Guitton (eds.), Public Economics (New York: St. Martin Press, 1969), 98-123. Baca pula Bernard Salanie, Microeconomics of Market Failure (Cambridge MA: MIT Press, 2000), 45-59.

[4] Ernesto Screpanti and Stefano Zamagni, an Outline of the History of Economic Thought (New York: Oxford University Press, 2005), 111-121.

[5] Al-Mawardi, Adab al-Dunya wa-al-Din (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), 94.

[6] Baca Abu Ishaq al-Shatibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Shari‘ah (Cairo: al-Maktabah al-Tijaniyah al-Kubra, 1975), vol. 2, 6-7.

[7] Sri-Edi Swasono, Mendesak: Reformasi Peranan Daerah (dalam Dari Lengser ke Lengser), Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2001.

[8] Sri-Edi Swasono, Restrukturisasi, Keadilan Sosial dan Gobalisasi, Ceramah pada Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Batam 29 Maret 2001.

[9]Muh. al-Assal dan Fathi Abd. Karim, Hukum Ekonomi Islam (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1999), 101-102. Lihat pula Sri-Edi Swasono, Mewaspadai Pasar Bebas (dalam Dari Lengser ke Lengser), Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2001.

[10] Ibn Taymiyah, al-H{isbah fi al-Islam, 20-22.

[11] Sri-Edi Swasono, “Pancasila, Humanisme, Pasal 33 UUD 1945, Kooperativisme, Menolak Liberalisme”, Orasi Ilmiah, Universitas Pasundan Bandung, 19 Juli 2011.

[12] Lebih lanjut baca Judicial Review Testimoni Sri-Edi Swasono terhadap UU No. 38 Tahun 2008 tentang ASEAN Charter di Ruang Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi RI, 22 Juli 2011.

[13] Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations (New Rochelle,, N.Y : Arlington House, 1966)

[14] Paul A. Samuelson, Economics (New York: McGraw-Hill Book Company, 2008).

[15] Robin W. Boadway and Neil Bruce, Welfare Economics (Oxford: Basil Blackwell, 1984).

[16] Alessandro Roncaglia, The Wealth of Ideas: a History of Economic Thought (New York: Cambridge University Press, 2006).

[17] Murray N. Rothbard, Power and Market Government and the Economy (Kansas: Institute for Humane Studies, Inc., 1977).

[18] I. Wallerstein, The Capitalist World-Economy (New York: Cambridge University Press, 1979)

[19] Susan George, Republik Pasar Bebas (Jakarta: INFID/Bina Rena Pariwara, 2002).

[20] Shinichi Ichimura, et. al (eds.), Transition from Socialist to Market Economies: Comparison of European and Asian Experience (New York; Palgrave Macmillan, 2009

[21] Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas, Yogyakarta: Pustep UGM, 2010.

[22] Rainer Adam, dkk., Persaingan dan Ekonomi Pasar di Indonesia (Jakarta: Friedrich Nauman Stiftung-Indonesia, 2004), 43.

[23] Mubyarto, Reformasi Sistem Ekonomi Dari Kapitalisme Menuju Ekonomi Kerakyatan (Yogyakarta: Aditya Media, 1999).

[24] Indra Ismawan, Sukses di Era Ekonomi Liberal Bagi Koperasi dan Perusahaan Kecil-Menengah (Jakarta: Gramedia, 2001).

[25] Mahmud Thoha, dkk., Globalisasi Krisis Ekonomi dan Kebangkitan Ekonomi Kerakyatan (Jakarta: Pustaka Quantum, 2002).

[26] Jamroni Sodik,”Pengeluaran Pemerintah dan Pertumbuhan Ekonomi Regional: Studi Kasus Data Panel di Indonesia”,  Jurnal Ekonomi Pembangunan, Vol. 12 , No. 1, Universitas Islam Indonesia, 2007.

[27] Anton Hermanto Gunawan,  Anggaran Pemerintah dan Inflasi di Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1991)

[28] Ani Sri Rahayu, Pengantar Kebijakan Fiskal (Jakarta: Bumi Aksara, 2010).

[29] Tim Pengkajian SPKN BPKN, Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Korupsi pada Pengelolaan APBN/APBD (Jakarta: BPKP, 2002).

[30]  Yasin Ghadi, al-Amwa>l wa al-Amla>k al-‘A>mma>h fi> al-Isla>m wa H{ukm al-I’tida’ ‘Alaiha> (Mu’tah: Mu’assasah Ra>m, 1994).

[31] Mahmud Julaid, Qira>’at fi> al-Ma>li>ya>t al-‘A>mma>h fi> al-Isla>m (Jeddah: IDB-IRTI, 1995/1415).

[32]  M. Nejatullah Siddiqi, Teaching Public Finance in Islamic Perspective (Jeddah: Centre for Research in Islamic Economics King Abdul Aziz University, 1413/1992).

[33] Zafar Iqbal, an Islamic Perspective on Public Finance (Australia: University of South Australia, 2003).

[34] Denzin K.N. & Lincoln S.Y., Hand Book of Qualitative Research (US: Sage Publications Inc, 2000).

[35] Baca lebih lanjut Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi Penelitian Sosial-Agama (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2001), 109-111.

[36] Altheide, D.L, Qualitative Media Analysis: Qualitative Research Methods Series. No. 38, (CA: SAGA, Thousand Oaks, 1996), 8.

[37] Creswell, J.W., Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions (CA: SAGA, Thousand Oaks, , 1998), 110-111.

[38] Klaus Krippendorf, Content Analysis, Penerjemah: Faridj Wajidi, Analisis Isi (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), 15. Baca pula Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), 49-51.

[39] Noegroho Notosusanto, Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Jakarta: Yayasan Idayu, 1978), 112. Lihat pula Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1990), 243-253.

[40] Lihat karya David Osborne and Ted Gaebler, Reinventing Government: How The Entrepreneurial Spirit is Transforming The Public Sector (Addison – Wesly Publishing Company, Inc., 1992).

[41] Baca lebih lanjut karya Adam Smith, The Wealth of Nations (London: J.M. Dens and Sons, 1977).

[42] John Stuart Mill, Principles of Political Economy (London: Longman’s Green and Co., 1921), Buku V, Bab II.

[43] Diskusi terbaru tentang sistem ekonomi sosialis yang mengalami transisi paradigma menuju ekonomi pasar dapat dibaca Shinichi Ichimura, et. al (eds.), Transition from Socialist to Market Economies: Comparison of European and Asian Experience (New York; Palgrave Macmillan, 2009), khususnya pada bagian III “The Role of the State and Market in Transition”, 145-227.

[44] Lihat Shinichi Ichimura, et. al (eds.), Transition from Socialist to Market Economies: Comparison of European and Asian Experience (New York; Palgrave Macmillan, 2009), 151-153.

[45]Richard A. Musgrave, a Theory of Public Finance (New York: Mc-Graw-Hill, 1959). Baca pula John F. Due & Ann F. Friedlaender, Government Finance (New York: Richard D. Irwin, Inc. 1981). Untuk edisi Indonesia diterjemahkan Rudy Sitompul dan Ellen Gunawan, Keuangan Negara: Perekonomian Sektor Publik (Jakarta: Erlangga, 1984), 4-5. Baca pula Gareth D. Myles, Public Economics (Cambridge, UK.: Cambridge University Press), 1995.

[46] Sri-Edi Swasono, Kebersamaan dan Asas Kekeluargaan: Mutualism and Britherhood (Jakarta: UNJ Press, 2005), 234-238.