ISLAM, GENDER DAN FUNDAMENTALISME-RADIKAL
DALAM POLITIK EKONOMI GLOBAL
Aan Jaelani
Dosen Pascasarjana IAIN Syekh
Nurjati Cirebon
Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon
Abstrak
Peran perempuan termarginalisasi dalam ruang
politik, ekonomi, dan sosial. Perempuan menjadi tidak berdaya akibat otoritas
keagamaan dan struktur sosial yang represif. Perempuan
cenderung menerima ketidakadilan dalam posisinya sebagai bagian dari masyarakat. Integrasi teori feminisme
dan teori pekerjaan sosial membentuk teori feminisme radikal yang digunakan
sebagai analisis ketidaksetaraan gender dalam politik ekonomi global.
Kecenderungan perempuan terhadap pilihan ideologi fundamentalis-radikal dapat
disebabkan oleh faktor kemiskinan dan kekurangan finansial.
The
role of women marginalized in the political space, economic, and social. Women
to be helpless due to religious authority and repressive social structures.
Women tend to accept the injustice in his position as part of the community.
The integration of feminist theory and the theory of social work theory form a
radical feminism that is used as a political analysis of gender inequalities in
the global economy. The tendency of women to the option-radical fundamentalist
ideology can be caused by poverty and lack of financial factors.
Keywords: feminisme,
fundamentalisme-radikal, teori pekerjaan sosial, politik ekonomi global
Pendahuluan
Islam
menganggap perempuan sebagai entitas penting dalam kehidupan manusia. Ada
banyak bukti dari teks al-Qur’an dan hadits yang menyebutkan tentang peran wanita
bagi perkembangan kehidupan manusia. Menurut al-Qur'an, perempuan memiliki
kewajiban yang sama seperti laki-laki (QS. 9:71). Sayyid Quthb[1]
memberikan argumen bahwa sifat masyarakat Islam menunjukkan adanya kesatuan dan
hidup bersama-sama sebagai satu komunitas. Semua Muslim, pria dan wanita
memiliki peran yang sama untuk saling membantu dalam melaksanakan kebaikan dan
mencegah kejahatan. Para wanita, berdasarkan fakta-fakta di atas memiliki hak dan
posisi yang sama dengan laki-laki. Islam tidak membuat perbedaan antara
laki-laki dan perempuan dengan adanya kewajiban yang sama dalam memberikan berkontribusi
terhadap agama.
Fakta lain menunjukkan peran perempuan ini
termarginalisasi dalam ruang politik, ekonomi, dan sosial. Perempuan menjadi
tidak berdaya akibat otoritas keagamaan dan struktur sosial yang menganggap
rendah dan sama sekali tidak memiliki peran apapun dalam kehidupan sosial. Perempuan
cenderung menerima ketidakadilan dalam posisinya sebagai bagian dari
masyarakat. Dalam bidang politik, perempuan tidak mampu berperan secara
siginifikan, padahal dijadikan mesin pendulang suara dalam proses mekanisme
kepemimpinan. Dalam bidang ekonomi, pekerjaan perempuan dan pendapatan yang
diperolehnya tidak banyak mencukupi kebutuhan hidup. Di bidang pendidikan,
perempuan tidak memiliki akses bahkan cenderung berpendidikan rendah dengan
pilihan menjadi ibu rumah tangga. Berbagai masalah gender tersebut antara lain
dipengaruhi politik ekonomi negara dalam mendesain peran perempuan di
tengah-tengah publik, terutama di negara-negara yang masih mengalami “kolonisasi”
akibat kebijakan politik internasional, dan tidak memiliki kemandirian secara
politik dan ekonomi, ataupun negara yang sedang mengalami transformasi dalam
mewujudkan identitas kebangsaaannya.
Pada beberapa negara muslim,
ketidakberdayaan perempuan ini dicermati dengan perlunya suatu gerakan
pembebasan atas ketidakberdayaan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Di
antara mereka mengadopsi sistem nilai fundamentalis
Islam yang membawa gerakan ini sebagai bentuk radikalisme yang mempromosikan ketidaksetaraan berbasis gender, sedangkan gerakan-gerakan lainnya menganggap
pentingnya kesetaraan gender dalam ruang publik.
Karena itu, tulisan ini akan mengeksplorasi bagaimana
agama sebagai basis ideologi yang menumbuhkan gerakan radikal sebagai bagian
dari teori feminis.
Analisis politik ekonomi menjadi bagian penting ketika digunakan untuk
menjelaskan posisi perempuan di ruang publik dan dimensi pendidikan yang
memiliki peran utama dalam mempolakan suatu gerakan keagamaan, termasuk
radikalisme di kalangan perempuan. Asumsi ini berawal adanya faktor-faktor penentu ekonomi bagi
perempuan yang terlihat dalam bidang pekerjaan untuk memperoleh
finansial. Faktor lainnya, kurangnya kesempatan ekonomi
merupakan prediktor kuat
sistem keyakinan
fundamentalis-radikal dari kelas sosial
ekonomi. Persoalan-persoalan inilah yang
berimplikasi terhadap munculnya fundamentalisme-radikal yang diwakili perempuan
dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
Secara
faktual, radikalisme Islam merupakan
fenomena
historis-sosiologis yang menjadi isu utama dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan
media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia.1 Banyak
label-label yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk
menyebut gerakan Islam radikal, dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam
kanan, fundamentalisme sampai terrorisme.[3]
Sejak akhir abad ke-20, menurut Almond,
et.al., kebangkitan praktik keagamaan dalam bentuk fundamentalisme telah
digambarkan sebagai "sejarah serangan balik" oleh tradisi keagamaan yang
berusaha untuk memperlambat penyebaran sekularisasi dan mengurangi dampak
negatif yang dirasakan dari kehidupan modern.[4]
Dalam konteks feminisme, menurut Kaplan,[5]
sistem kepercayaan fundamentalis biasanya istilah untuk kembali ke "zaman
keemasan" dari beberapa masyarakat atau agama, ketika hampir tanpa pengecualian,
laki-laki menikmati kekuasaan sosial dan ekonomi yang cukup besar dan hegemonik
atas perempuan.
Namun demikian, Timur Kuran[6]
menggambarkan bahwa gerakan fundamentalis ini tidak hanya mundur dalam
melakukan pencarian identitas, melainkan juga mereka memiliki agenda politik
yang berusaha untuk mengembalikan "kebajikan sosial yang hilang" di
tengah masyarakat kontemporer secara spesifik dan tidak setara yang berimplikasi
terhadap kebebasan dan keuntungan yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan.
Dalam
konteks politik global, fundamentalisme Islam dapat dihubungkan dengan realitas
politik internasional maupun pemikiran dibalik realitas itu, atau diungkap Samuel
Huntington[7] sebagai clash of
civilizations, yang
cukup mempengaruhi asumsi dan opini politik global pasca-Perang Dingin. Menurut Huntington,[8]
fundamentalisme Islam pada umumnya
diidentikkan
dengan gerakan politik Islam, padahal ia hanyalah salah satu komponen dari
kebangkitan Islam yang lebih luas. Kebangkitan-kebangkitan tersebut mencakup
ide-ide, prektik-praktik, retorika, dan pengembalian ajaran Islam pada
sumber-sumber aslinya, al-Qur’an
dan Hadis yang dilakukan oleh umat Islam. sedangkan menurut pandangan Oliver Roy,[9]
kemunculan fundamentalisme
agama, bukan sekedar reaksi terhadap modernisasi, melainkan produk dari
modernisasi itu sendiri.
Berbeda dengan tokoh sebelumnya, Bassam Tibi[10]
menilai bahwa apapun garis perjuangannya, fundamentalisme bukan ekspresi dari
kebangkitan agama, tetapi lebih merefleksikan ideologi semu yang berasal dari
agama untuk memperbaiki dunia, sehingga jelas bertujuan politis. Tujuan mereka
adalah islamisasi politik, untuk menggantikan tatanan dunia Barat yang sudah
tidak lagi mereka percayai, yang didasari pada prinsip politik Islam, tentunya
Islam yang telah mereka interpretasi.
Adapun radikalisme merupakan gerakan yang berpandangan kuno dan sering menggunakan kekerasan
dalam mengajarkan keyakinan mereka. Pada
sisi lain, Islam merupakan agama yang
menekankan pentingnya sikap berdamai dan komitmen atas terciptanya perdamaian.[11] Islam
tidak pernah membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan, serta paham politik,
termasuk juga pemahaman yang mengarahkan pada penindasan dan marginalisasi
gender.
Meskipun demikian, fakta
yang ada tidak bisa dibantah bahwa dalam
perjalanan sejarahnya ada kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan
politis atau mempertahankan paham
keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa
peradaban global sering disebut kelompok radikalisme Islam.
Jadi,
istilah radikalisme lebih
tepat digunakan dalam arti kelompok garis keras, yang berbeda
dengan istilah fundamentalisme yang
mengandung makna interpretable.
Dalam tradisi pemikiran teologi
keagamaan, fundamentalisme merupakan gerakan untuk mengembalikan seluruh perilaku dalam
tatanan kehidupan umat Islam kepada al-Qur’an dan Hadits.[12]
Istilah ini dapat dimaknai
sebagai kelompok revivalis Islam,
suatu kelompok yang berkeyakinan untuk menghidupkan kembali ajaran Islam
pada masa Nabi. Namun, istilah fundamentalis juga terkadang disamakan dengan gerakan radikalisme. Penulis dalam tulisan ini akan menggunakan istilah
fundamentalisme-radikal untuk mengkompromikan perbedaan makna dari kedua
istilah ini.
Secara aplikatif, Islam fundamentalis ini telah
melakukan serangkaian gerakan dengan tuntutan yang luar biasa ketat bagi
ruang gerak perempuan. Selain keyakinan khas ideologi
fundamentalis yang mendukung laki-laki atas perempuan dalam kesempatan kerja
dan pendidikan, gerakan keagamaan ini lebih menggunakan kepercayaan tersebut
sebagai dasar untuk praktek-praktek seperti jilbab, khitan perempuan, dan aksi
radikal lain dalam bentuk kekerasan atau teror seperti pembunuhan massal.[13]
Beberapa
kondisi tersebut justru memiliki banyak dukungan perempuan muslim dan mengidentifikasi berbagai
gerakan fundamentalis sosial dan politik yang mengekspresikan
praktik-praktik dan kepercayaan
mereka, dan sering secara sukarela berpartisipasi dalam bentuk
praktek-praktek sendiri. Yang menarik dari
gerakan fundamentalis gender ini berupa adanya adopsi kalangan perempuan terhadap sistem nilai yang justru
membatasi aktivitas sosial mereka, partisipasi politik, dan ekonomi, bahkan
secara ekstrim dapat mengakibatkan bahaya fisik bagi
mereka.
Gerakan
feminis radikal dapat dianalisis dalam konteks teori pekerjaan sosial (social
work) dalam merepons arus globalisasi ekonomi yang mempengaruhi peran dan masa
depan perempuan. Feminisme yang beraliansi dengan teori ini memiliki paradigma
sendiri, yaitu feminist social work (pekerjaan sosial feminis).[14]
Menurut Dominelli, gerakan yang muncul sejak tahun 1970-an ini bergerak dalam
bidang organisasi sukarela dan aksi masyarakat yang kemudian mengembangkan
lingkup gerakannya pada bidang pekerjaan sosial lainnya, seperti konseling,
terapi organisasi, terapi kelompok, analis kebijakan sosial, dan penelitian
pekerjaan sosial.[15]Gerakan
ini dapat ditipologikan menjadi feminis liberal, sosial, dan radikal yang
menyebabkan terjadinya class about welfare. [16]
Menurut
Dominelli,[17]
setiap gerakan feminis memiliki paradigma tersendiri terkait fokus utamanya
pada ketidakadilan dan penindasan perempuan. Setiap aliran ini memiliki
strategi dan pendekatan masing-masing dalam mengeliminasi ketidakadilan gender
ini. Keberagaman aliran feminisme ini, menurut Edi Suharto,[18]
menunjukkan bahwa feminisme cukup terbuka dalam merespon setiap kritik yang
diarahkan oleh teori-teori lain, bahkan memiliki paradigma yang cair dan tidak
dogmatis.
Liberalisme
mengusung paradigma welfare state yang menekankan kebebasan individu
dalam ruang publik, namun pemerintah memiliki peluang dengan menciptakan
distribusi pendapatan secara merata, stabilisasi mekanisme pasar, dan
penyediaan barang-barang publik. Saulnier[19]
memandang bahwa teori feminis liberal menekankan pentingnya kesetaraan perempuan
dengan laki-laki yang selama ini telah dilanggar masyarakat. Tokoh-tokoh pendukung teori ini seperti John
Stuart Mill, Harriet Taylor, Anna Julia Copper, dan Fannie B. Williams. Peran
wanita perlu diperhitungkan dan dimasukkan dalam struktur tanpa merubah
struktur itu sendiri. Karena itu, perempuan memiliki kesempatan yang luas dalam
pendidikan sebagai basis penting dalam melakukan perubahan sosial, penguatan
perwakilan perempuan dalam ruang publik, dan kesempatan yang sama dalam bidang
ekonomi agar mencapai kemandirian. Teori ini menempatkan pentingnya
program-program pencegahan dan pengembangan kesempatan dalam meningkatkan
kualitas kehidupan masyarakat.
Sosialisme
menentang paradigma welfare state yang membatasi peran pemerintah dan menekankan perubahan pada setiap individu
dan kelompok. Laki-laki dan perempuan memiliki peran
penting dalam memelihara keluarga, hanya tugas masing-masing yang secara
tradisional membedakannya. Menurut Saulnier,[20]teori feminis sosialis ini menganjurkan agar
perempuan tidak masuk dalam analisis kelas dan berhak atas pembayaran dari
pekerjaan rumah yang dilakukannya dalam bentuk pekerjaan domestik. Teori ini
menempatkan pula pentingnya pembentukkan kelompok-kelompok swadaya dan serikat
pekerja berdasarkan analisis gender dan kelas. Karena demikian, upaya yang
dapat dilakukan antara lain melibatkan pelayanan langsung dan rehabilitasi
sosial-klinis untuk membantu orang agar dapat beradaptasi dengan lingkungan
sosialnya. Tokoh aliran feminis ini seperti Marx dan Engels.
Adapun radikalisme memiliki asumsi bahwa
masalah sosial menjadi situasi yang tidak terhindarkan dan selalu ada dalam
sistem yang membedakan kelas, jenis kelamin, dan ras karena menciptakan
ketidakadilan gender akibat perbedaan status sosial. Dalam analisis Saulnier,[21]
teori ini menekankan pentingnya kemandirian wanita dalam ekonomi, menentang
hak-hak seksual laki-laki atas perempuan, dan menyerang justifikasi keagamaan
yang menindas wanita. Di samping itu, karena rakyat sendiri harus berjuang dan
menguasai sumber-sumber, maka sistem sosial, politik, ekonomi harus dirubah dan
direstrukturisasi secara menyeluruh. Karena itu, perubahan lingkungan secara aktif
sangat penting, merancang advokasi-advokasi kelas dan aksi sosial-politik. Para
tokoh pendukung teori ini seperti Marry Wollstonecraft dan Elizabeth Cuddy
Stanton.
Meskipun ketiga teori feminis tersebut
memiliki paradigma dan pendekatan yang berbeda, namun ada beberapa kesamaan
dalam memandang persoalan gender, seperti menjunjung hak asasi wanita untuk
terbebas dari penindasan, memberikan kesempatan pada wanita untuk berbicara
atas dirinya sendiri, bersikap mandiri, dan melakukan perubahan, memetakan
solusi-solusi kolektif yang menghargai individualitas dan keunikan setiap
wanita, mengintegrasikan teori dan praktek, menghargai kontribusi wanita, dan
mengunakan pengalaman-pengalam wanita dalam memahami realitas sosial.
Radikalisme Gender dan Politik Ekonomi Global
Sekarang ini perempuan di negara-negara muslim
memiliki salah satu pilihan, yaitu memegang keyakinan fundamentalis sekaligus
menjadi masalah yang kompleks dan multifaces. Sebagai analisis, dapat
dilakukan perbandingan antara bentuk perempuan pekerja ekonomi dan sosial yang
dihadapkan dengan paham keagamaan fundamentalis vs sekuler. Dalam pemahaman
tersebut, faktor-faktor primer sangat menentukan, terutama terkait dengan
tekanan ekonomi yang berdampak besar dan signifikan terhadap sistem ideologi
gender tentang agama, politik, dan peran perempuan dan statusnya dalam memaknai
kitab suci. Ideologi feminis yang radikal dengan berbagai peluang yang ada
boleh jadi tumbuh subur akibat keterbatasan sumber-sumber ekonomi, kesulitan
dalam memperoleh pekerjaan yang menyebabkan pengangguran, akses pendidikan yang
minimal, atau faktor kemiskinan yang justru menyebabkan perempuan untuk memilih
sistem keyakinan dengan ideologi fundamentalis-radikal. Secara kualitatif,
tentunya perlu rekonstruksi terhadap faktor-faktor penyebab bagi perempuan
dalam menentukan sistem ideologi keagamaannya.
Secara umum, fundamentalisme-radikal merupakan
suatu sistem kepercayaan komposit yang mencakup dua dimensi yang luas, yaitu pertama,
preferensi yang konsisten dengan pandangan dunia yang secara sistematis
tradisionalis memunculkan hegemoni laki-laki atas perempuan, dan kedua, kesalehan
pribadi dan komitmen atas integrasi politik dan agama yang konsisten dengan nilai-nilai
Islam yang konservatif. [22]
Para peneliti ilmu-ilmu sosial,
seperti Esposito, Natchwey dan Tessler,[23] menemukan bahwa adanya dukungan massa bagi
fundamentalisme sebagai gerakan sosial politik yang luas, khususnya di kalangan
generasi komunitas perkotaan. Hal penting terutama pada keperluan identifikasi
atas pemahaman faktor-faktor penentu fundamentalisme yang sangat relevan untuk
memahami politik ekonomi global, dan eksplorasi berbagai motif yang menyuburkan
fundamentalisme dalam berbagai kondisi budaya sebagai aksi atas realitas sosial
yang ada dan tentunya pula, perlawanan terhadap pemahaman keagamaan dan
penguasa yang otoriter. Dengan demikian, faktor ekonomi dapat menjadi penentu atas
munculnya gerakan fundamentalis-radikal dibandingkan dengan sistem yang
dibentuk dan diatur melalui kebijakan pemerintah.
Fundamentalisme mengacu pada setiap gerakan
sosial-politik yang mengharuskan pengikutnya memiliki kepatuhan total terhadap
doktrin untuk disebut 'fundamental', dan memiliki motivasi tinggi dalam
melakukan tugas-tugas ilahi yang transendental dan membumi.[24] Sedangkan
menurut Antropolog, sosiolog, ilmuwan politik, dan ulama menegaskan bahwa
fundamentalisme dan dukungan untuk praktik fundamentalis telah mengalami kebangkitan
di akhir abad ke-20 sebagai bentuk neo-traditionalisme dalam budaya yang
beragam dan mengakar dalam suatu proses sosial, ekonomi, dan politik.[25]
Kemunculan fundamentalisme dalam pandangan
Marty & Appleby[26]
hadir di tengah modernisasi yang cepat, sekularisasi, dan urbanisasi penduduk
pedesaan tradisional yang mengakibatkan mereka menjadi semakin terputus dari
masa lalu yang lebih religius. Fundamentalisme memberikan kritik atas adanya
kesulitan ekonomi dan kemunduran masyarakat
akibat sekularisasi dan liberalisasi. Sehubungan dengan norma-norma gender,
populasi urban bagi masyarakat baru mengalami kesulitan untuk menerima
perubahan peran yang dimainkan oleh perempuan yang disertai dengan isu-isu
modernitas, khususnya sebagai perempuan yang mulai bekerja di sektor non-tradisional.
Dalam pandangan Kaplan, gerakan ini bereaksi negatif terhadap
pembebasan sosial dan ekonomi perempuan, terutama pola perubahan pada relasi
laki-laki dan perempuan di daerah perkotaan,[27] suatu fenomena yang dihasilkan dari apa yang
umumnya dijelaskan (untuk berbagai derajat) sebagai Islamisme, fundamentalisme,
wahabisme, atau puritanisme, di mana Islam tradisional atau apa yang dianggap
tradisional Islam dinilai dan naik posisi menjadi "status suci".[28]
Analisis Khaled Abou Fadl[29]
menunjukkan bahwa salah satu aspek yang paling traumatis dari gerakan puritanisme
Islam adalah efeknya pada perempuan, sebagai muslim yang berusaha untuk
meningkatkan perasaan mereka menjadi “terberdaya” di dunia modernisasi. Gerakan-gerakan
puritan disesuaikan dengan martabat perempuan yang menjadi simbol kehormatan
untuk pria, dan cara termudah dan paling efektif untuk membuktikan legitimasi
tradisionalis seseorang adalah dorongan untuk menetapkan UU yang ketat untuk
perempuan.
Fundamentalisme semakin memusatkan perhatian
pada isu-isu moralitas, terutama karena mereka berhubungan dengan reputasi dan
kesucian perempuan yang terkait dengan status laki-laki berupa kehormatan.
Hawley[30]
berpendapat bahwa kelompok fundamentalis cenderung terintimidasi oleh otonomi
perempuan dan merasa bahwa menjalankan kekuasaan atas wanita tetap menjadi
salah satu dari sedikit aspek yang mengarahkan seseorang bisa melakukan kontrol
dan membuktikan otoritasnya.
Fundamentalisme-Radikal sebuah Pilihan Perempuan
Persoalan penting terkait dengan pilihan
rasional seorang perempuan untuk mengadopsi paham keagamaan fundamentalis-radikal.
Analisis yang dibuat Hardacre[31]
telah mengidentifikasi sejumlah alasan ekonomi dan budaya yang mungkin menjadi
faktor penyebabnya, antara lain (1) takut dislokasi, sering dikaitkan dengan
sentimen anti-kolonialis, (2) untuk mendapatkan upah yang cukup sebagaimana
pekerja laki-laki, (3) kurangnya pendidikan dan informasi mutakhir, (4)
keprihatinan atas sikap hegemoni laki-laki yang cenderung non-konformitas dan selalu
dita’ati, (5) takut terhadap kerkaan Allah, dan (6) kesulitan membuat pilihan terhadap
kondisi yang tidak dapat dielakkan. Dalam pandangan Mernissi[32]dan
Piscatori,[33] faktor-faktor tersebut cenderung menekankan
aspek-aspek budaya dan politik dari kemunculan fundamentalisme.
Kajian terbaru oleh para ilmuwan politik dengan
analisis pada basis kelembagaan dan ekonomi mengarahkan ketidaksetaraan gender pada
dukungan bagi norma-norma politik patriarkis dan kebijakan politik konservatif.
Iverson dan Rosenbluth[34]
berpendapat bahwa penerimaan norma-norma patriarkis terikat pola dalam
pembagian kerja menurut jenis kelamin, dengan masyarakat yang didasarkan pada
pertanian dan padat karya yang cenderung menguntungkan laki-laki atas
perempuan. Hal ini konsisten dengan temuan Edlund dan Pande[35]
dan Edlund, Haider, dan Pande[36]
yang menunjukkan bahwa kesulitan ekonomi berkaitan dengan tingkat perceraian
yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan perempuan dalam tatanan demokrasi meningkatkan
peran untuk mendukung politisi berhaluan kiri.
Teori dan bukti berikut ini akan memperkuat
kepentingan dalam determinan ekonomi dari keyakinan dan orientasi ideologis gender
di dunia Muslim. Bukti yang mendukung motivasi ekonomi bagi kalangan perempuan
dalam memegang ideologi fundamentalis tidak selalu menghalangi perempuan
lainnya dengan alasan non-ekonomi. Dalam hal ini, apakah faktor kemiskinan
menjadi pemicu bagi kemunculan ideologi fundamentalis di kalangan perempuan ?
Faktor kemiskinan dapat melahirkan ideologi fundamentalis
dan fakta menunjukkan bahwa kemiskinan tersebut memunculkan komunitas demografis
yang paling terpengaruh oleh fenomena ini. Deprivasi relatif dan keputusasaan akibat
hidup mikin sebagai sumber frustrasi bagi kalangan muslim. Shimon Peres, dalam
visinya tentang "Timur Tengah Baru" berpendapat bahwa fundamentalisme
merupakan protes terhadap kepemilikan orang lain yang memicu kasus bahwa
kemiskinan menyediakan lahan subur bagi sistem ideologi fundamentalis.[37]
Dalam pandangan Almond, et.al.,[38] mekanisme kausal dianggap bahwa keadaan
ekonomi yang buruk mungkin menciptakan sikap dan keluhan di antara
kelompok-kelompok tertentu dalam populasi, atau paling tidak kecenderungan mereka
terhadap argumen-argumen, tema-tema, dan praktek-praktek fundamentalis.
Meskipun demikian, isu-isu kemiskinan justru
berbanding terbalik dan tidak menjadi faktor penentu bagi ideologi
fundamentalis. Contoh kelaparan yang terjadi di Bangladesh tidak menyuburkan ideologi
fundamentalis, dibandingkan dengan Arab Saudi yang kaya minyak justru ideologi
fundamentalis dan dukungannya cenderung meningkat. Booming ekonomi tidak
menjadi faktor perlawanan terhadap fundamentalisme bahkan mungkin menyuburkan ideologi ini. Fakta
lain, meskipun standar hidup terus meningkat di seluruh dunia Islam selama abad
ke-20, namun dukungan untuk fundamentalisme juga meningkat.
Studi lain tentang fundamentalisme mengarah
pada identifikasi diri ideologi ini pada tingkat individu telah memotong garis
sosial ekonomi. Hasil penelitian Mahmood[39]
memberikan informasi bahwa selama field study tentang gerakan Islam di
Mesir, menemukan identitas perempuan dari berbagai latar belakang sosial
ekonomi yang didukung Islamisme, berbeda dengan kebijakan konvensional yang memberikan
dukungan terhadap Islam muncul hanya dari kalangan orang miskin.
Moghadam[40] juga menekankan bahwa preferensi
fundamentalis bukan merupakan fungsi dari kelas di kalangan wanita.
Sa’ad Eddin, sosiolog Mesir, seperti dikutip Ibrahim[41]telah
menunjukkan pula bahwa ekstrimis Islam cenderung berpendidikan, memiliki
mobilitas tinggi sebagai pria muda, bukan penghuni daerah kumuh, sebagaimana stereotif
yang muncul selama ini. Bahkan, misalnya, anggota Ikhwanul Muslim di seluruh
dunia Islam banyak yang berprofesi sebagai dokter, pengacara, dan insinyur. Meskipun
hal ini tidak jelas, namun secara individu dan kelompok pemimpin gerakan
fundamentalis ini akan memiliki jaringan yang luas jika berasal dari kalangan
akademis, dibandingkan pemimpin yang berlatarbelakang berbeda. Secara umum,
sekarang ini dukungan bagi fundamentalisme juga berkaitan secara khusus dengan
preferensi dan keyakinan seorang muslim, sementara kalangan muslimah mungkin
menghadapi serangkaian kendala dan
tantangan dalam sistem ideologis yang dianut sebelumnya.
Asumsi kedua terkait dengan pilihan gender
terhadap ideologi fundamentalis-radikal berupa kekurangan finansial.
Ketersediaan keuangan amat menentukan untuk kehidupan seorang perempuan.
Harapan perempuan biasanya memiliki pasangan yang sudah bekerja dan bukan
pengangguran. Menurut Hoodfar, hal ini sangat menguntungkan apalagi didukung dengan sumber daya ekonomi
yang tersedia dan kondisi pasar yang stabil dan menguntungkan, yang mendorong wanita
mencari pekerjaan di luar rumah.[42]Sebaliknya, dalam keadaan ekonomi yang kurang
menguntungkan, bagaimanapun juga pernikahan dapat berfungsi sebagai pengganti
ekonomi bagi pekerjaan yang dibayar dalam angkatan kerja.
Lebih lanjut, Hoodfar[43]
mengungkapkan, bahwa wanita dengan sistem ideologi fundamentalis memiliki nilai
sendiri dalam konteks pernikahan. Pernikahan di negara mayoritas muslim,
khususnya di kalangan non-elit, dipandang sebagai kontrak antara dua pihak dan
mungkin pengaturan ekonomi tunggal di mana perempuan akan berkomitmen sehidup-semati.
Penelitian yang dilakukan Rugh[44]
mengidentifikasi bahwa pemilihan pasangan pengantin memiliki nilai sangat
penting. Kehidupan keluarga di Mesir menunjukkan bahwa pasangan menjadi mitra
potensial yang memiliki hak mengatur kualifikasi, dan terutama perempuan harus
mencerminkan hal yang baik pada reputasi publik dari. Di antara ciri-ciri yang
paling sangat dihargai bagi pasangan pengantin adalah kesalehan dan
tradisionalisme. Menurut Watson, konservatisme moral, kehidupan sederhana, dan perilaku
keagamaan dianggap sebagai kualitas penting di semua tingkat masyarakat dari komunitas
perempuan di Kairo, komunitas perempuan di daerah kumuh yang dikenal sebagai
Kota Orang Mati[45] sampai
kalangan perempuan menengah dan kelas atas Mesir.
Dalam analisis Moghadam, muslim kontemporer menilai
bahwa keluarga adalah unit dasar dari masyarakat dan ibu memiliki peran kunci
dalam sosialisasi anak-anak, terutama dalam meningkatkan komitmen sebagai muslim
dan transmisi nilai-nilai buday.[46]
Status wanita, terutama ditentukan oleh kemampuannya untuk menjadi seorang
istri dan ibu yang baik.[47]
Para antropolog, seperti disinyalir Almond,
dkk.[48] melaporkan bahwa perempuan fundamentalis,
secara umum, yang didedikasikan untuk kepentingan utama dan peningkatan
struktur sosial patriarkis, dan mereka berkeyakinan bahwa pembentukan moral
anak-anak terhadap pengaruh masyarakat sekuler adalah tugas seorang ibu yang utama.
Karena demikian, kepatuhan terhadap nilai-nilai konservatif cenderung meningkatkan
motivasi perkawinan seorang perempuan.
Pada saat yang sama, kemampuan perempuan untuk
memperoleh posisi tertentu dalam ruang publik juga bergantung pada penerimaan
preferensi dalam cara yang justru sebaliknya. Sinyal eksternal berupa kesalehan
yang mungkin membantu perempuan dalam perkawinan justru sebenarnya dapat memarginalisasi
mereka ketika mencari pekerjaan. Banyak peluang kerja namun memiliki syarat
“belum menikah”.
Pandangan Barsoum[49]
menunjukkan bahwa pendidikan tinggi bukanlah kondisi yang cukup untuk
mendapatkan pekerjaan yang baik di Mesir, pengusaha juga berfungsi sebagai “penjaga
gerbang” dalam kompetisi individu-individu yang progresif dalam posisi
pekerjaan pada perusahaan multinasional. Sebagai contoh, secara terselubung
perempuan di Mesir telah menjadi subyek diskriminasi atas pekerjaan komersial, seperti
media televisi, iklan, perhotelan, dan segmen lain dari pasar pariwisata,[50] dan juga perusahaan asing sering memiliki
kebijakan tidak tertulis untuk tidak mempekerjakan wanita berjilbab.[51]
Perempuan dengan kelas sosial ekonomi yang
lebih tinggi dapat memegang keyakinan fundamentalisme, sebagaimana beberapa
dukungan kuat bagi gerakan Islam adalah wanita berpendidikan, seperti dokter
dan dosen, yang mungkin melihat peluang adanya kesempatan kerja yang bergengsi dengan
menyediakan layanan tingkat tinggi pada perempuan lain dalam aspek gender,[52]atau
untuk melayani dalam kapasitas kepemimpinan bagi gerakan massa Islam. Hal ini
juga menurut Moghadam, konsisten dengan pengamatan bahwa tingkat
tertinggi masyarakat dari beberapa negara Arab telah melihat peningkatan
polarisasi ideologi antara sekularis-garis keras dan tradisionalis-ekstrim.[53]
Dengan demikian, ketertarikan perempuan untuk
memilih ideologi fundamentalis dapat diamati dari beberapa faktor penyebabnya
antara lain kemiskinan dan kekurangan finansial dalam kehidupan mereka.
Tentunya, ideologi fundamentalis-radikal akan berkembang bila perempuan sebagai
anggotanya memiliki kondisi keuangan yang baik dengan pendidikan tinggi yang
dimilikinya. Namun penjelasan sebelumnya menunjukkan tidak ada parameter yang
pasti dari faktor-faktor penyebabnya untuk mengukur keterlibatan gender dalam
berbagai gerakan fundamentalis. Ini bermakna bahwa di negara-negara muslim atau
mayoritas muslim kecenderungan perempuan berpihak pada fundamentalisme lebih
disebabkan faktor psikologi, ekonomi, politik, dan budaya tergantung pada
seberapa besar masing-masing akan mempengaruhi kondisi perempuan tersebut.
Penutup
Islam
memberikan peluang kepada perempuan untuk “membebaskan diri” secara mandiri
dari ketidakadilan dan marginalisasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang
mengikatnya. Upaya pembebasan diri dari ketidaksetaraan gender ini tumbuh dan
berkembang menjadi suatu ideologi fundamentalis-radikal dalam memperjuangkan
hak-hak pembebasannya. Keterlibatan gender dalam pergumulan fundamentalis bisa
disebabkan akibat faktor kemiskinan dan kekurangan finansial, dan tentunya
masih banyak faktor penyebab lainnya. Dalam hal ini, gerakan feminis radikal
mengarahkan diri pada penciptaan situasi yang menempatkan perempuan dalam ruang
publik tanpa perlu mengganti struktur yang ada. Karena itu, bagi feminisme-radikal ini perubahan
lingkungan secara aktif sangat penting dengan merancang advokasi-advokasi kelas
dan aksi sosial-politik.
DAFTAR PUSTAKA
Abou El Fadl, Khaled M. 2001. And God Knows the Soldiers: The Authoritative and the Authoritarian in Islamic Discourse. New York: University Press of America.
Almond, Gabriel A., R. Scott Appleby, and Emmanuel Sivan. 2003. Strong Religion: TheRise of Fundamentalisms around the World. Chicago: University of Chicago Press.
Binder, Leonard. 1988. Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Chicago: University of Chicago Press.
Brink, Judy and Joan Mencher, eds. 1997. Mixed Blessings: Gender and Religious Fundamentalism Cross Culturally. London: Routledge.
Dominelli, Lena.
“Feminist Theory”, Martin Davin, (ed.). 2002. Companion to Social Work. Oxferd:
Blackwell.
Edlund, Lena, Laila Haider, and Rohini Pande. 2005. “Unmarried Parenthood
and Redistributive Politics.” Journal of the European Economic Association. 3(1): 95-119.
El Sirgany, Sarah. 2006. “Veiled women face discrimination in the
workplace and public spaces.” The Daily Star Egypt, 22 November.
Esposito, John. 1982. Women in Muslim Family Law. Syracuse, NY: Syracuse University Press.
Esposito, John. 1999. The Islamic
Threat: Myth or Reality? Oxford: Oxford
University Press.
Hawley, John Stratton, ed. 1994. Fundamentalism and Gender. New York: Oxford University Press.
Hessini, Leila. 1994. “Wearing the Hijab in Contemporary Morocco: Choice
and Identity.” Reconstructing Gender in the Middle East. Fatma Muge Gocek and Shiva Salaghi, editors. New York: Columbia University Press.
Hoodfar, Homa. 1997. Between
Marriage and the Market: Intimate Politics and Survival in Cairo. Berkeley:
University of California Press.
Ismail, Salwa. 2006. Political Life
in Cairo’s New Quarters: Encountering the Everyday State. Minneapolis:
University of Minnesota Press.
Kaplan, Lawrence, ed. 1992. Fundamentalism in Comparative Perspective. Amherst, MA: University of Massachusetts Press.
Karam, Azza M. 1998. Women,
Islamisms and the State: Contemporary Feminisms in Egypt. New York: St.
Martin’s Press.
Kepel, Gilles. 1985. The Prophet and
the Pharaoh: Muslim Extremism in Egypt. Berkeley: University of California Press.
Kuran, Timur. 1993. “Fundamentalisms and the Economy.” Fundamentalisms and the State: Remaking Polities, Economies, and Militance. Marty E. Martin and R. Scott Appleby, eds. Chicago: University of Chicago Press.
Mahmood, Saba. 2005. Politics of
Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton: Princeton University Press.
Marty, Martin E. and R. Scott Appleby, eds. 1995. Fundamentalisms Comprehended. Chicago: University of Chicago Press.
Mernissi, Fatima. 1987. Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society. Bloomington: Indiana University Press.
Moghadam, Valentine M. 1993. Modernizing Women: Gender and Social Change in the Middle East. Cairo: American University in Cairo Press.
Moghadam, Valentine M. 2002. “Islamic Feminism and Its Discontents:
Toward a Resolution of the Debate.” Signs: Journal of Women in Culture and Society. 27(4).
Parson, J. Rush, et.al. The Integration of
Social Work Practise. Pacific Groof: Brooks/Cool.
Piscatori, James. 1994.
“Accounting for Islamic Fundamentalisms.” Marty E. Martin and R.
Scott Appleby, eds. Accounting for Fundamentalisms: The Dynamic Character of Movements.
Chicago: University of Chicago Press.
Rashad, Hoda, Magued Osman, and Farzaneh Roudi-Fahimi. 2005. Marriage in the Arab World. Population
Reference Bureau.
Rugh, Andrea. 1985. Family in
Contemporary Egypt. Cairo: American University in Cairo Press.
Saulnier, Christine Flynn. 2002. Feminist Theory and Social Work:
Approaches and Aplication. New Yor: The Hawort Press.
Soeharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat
Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Watson, Helen. 1992. Women in the
City of the Dead. London: C. Hurst and Co.
Winter, Bronwyn. 2001. “Fundamental Misunderstandings: Issues in Feminist
Approaches to Islamism.” Journal of Women’s History. 13(1): 9-41.
Zuhur, Sherifa. 1992. Revealing Reveiling: Islamist Gender Ideology in Modern Egypt. Albany: State University of New York Press.
End Note
[1] Sayyid Quthb, Fi
Zilal al-Qur’an, Bayrut: Dar al-Shuruq, 1980, vol. 3, 1674.
[2] Secara lengkap
dapat dibaca Saulnier, Feminist Theory and Social
Work: Approaches and Aplication, New Yor: The Hawort Press, 2002, dan Edi Suharto, Membangun
Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan
Sosial dan pekerjaan Sosial, Bandung: Refika Aditama, 2005.
[3] Rifat Akhter, “Global Economy,
Gender Equality, and Domestic Violence: A Cross-National Study." Department of Sociology,
Southern Illinois University Carbondale,
2006, 56-65.
[4]
Baca Almond, et.al., Strong
Religion: TheRise of Fundamentalisms around the World. Chicago: University of Chicago Press, 2003, 20.
[5] Lawrence Kaplan, ed., Fundamentalism in Comparative Perspective. Amherst, MA: University of Massachusetts Press, 1992, 30.
[6]
Timur Kuran, “Fundamentalisms and the Economy.” Fundamentalisms and the State: Remaking Polities, Economies, and Militance, Marty E. Martin and R. Scott Appleby, eds. Chicago: University of Chicago Press, 1993, 290.
[7] Baca
Huntington, Democracys Third Wave, The Global Resurgence of Democracy,
Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1996.
[8] Ibid.
[9] Lebih lanjut
baca Oliver Roy, Globalised Islam:
The Search for a New Ummah, London: Hurst & Co., 2001.
[10] Baca Bassam
Tibi, Ancaman Fundamentalisme, Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia
Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.
[11] Untuk
bacaan gerakan fundamentalis dan radikal keagamaan antara lain Jamhari dan
Jajang Jahroni (Peny.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2004, Omar Narasi, Inside the Jihad: Teroris atau
Tentara Tuhan?, terj. Dina Mardiana, Jakarta: Zahra, 2007, N.C. Asthana and
Anjali Nirman, Urban Terrorism: Myths and Realities, Jaipur, India: Mrs.
Shashi Jain for Pointer Publishers, 2009, dan Azra, The
Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia, Crownest, Aust: AAAS &
Allen Unwin; Honolulu: University of Hawaii Press; Leiden: KITLV Press, 2004.
[12] Lisa Blaydes & Drew A. Linzer , The Political Economy of Women’s Support for Fundamentalist Islam, Stanford University, 2007, 13-21.
[13] Ibid.
[15] Lihat Dominelli, “Feminist Theory”, Martin
Davin, (ed.), Companion to Social Work, Oxferd: Blackwell, 2002, 98-100.
[17] Dominelli, op.cit.,
100-101.
[18] Edi Suharto, Membangun
Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan
Sosial dan pekerjaan Sosial, Bandung: Refika Aditama, 2005, 27-28.
[20] Ibid.,
23-26.
[21] Ibid.,
28-32.
[22] Ibid., 36-43.
[23]
Baca Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality? Oxford: Oxford University Press, 1999, 90-93.
[24] Dominelli, op.cit.,
102-105.
[25] Brink dan Mencher, eds., Mixed
Blessings: Gender and Religious Fundamentalism Cross Culturally. London: Routledge, 1997, 67-86.
[26] Marty & Appleby, eds., Fundamentalisms Comprehended, Chicago:
University of Chicago Press, 2005, 118-139..
[27] Kaplan, ed., Fundamentalism in Comparative Perspective, Amherst, MA: University of Massachusetts Press, 1992, 102-118.
[29]
Lebih lanjut baca Khaled Abou
Fadl, And God Knows the Soldiers:
The Authoritative and the Authoritarian
in Islamic Discourse, New York:
University Press of America, 2001, 98-110.
[30] Hawley, ed., Fundamentalism and Gender.
New York: Oxford University Press., 2004, 112-123.
[31] Lihat Martin E. Marty and R. Scott Appleby, eds. Op.cit.,
176-178.
[32] Mernissi, Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society, Bloomington: Indiana University Press Mernissi, 1987, 78-95.
[33] Piscatori, “Accounting for Islamic
Fundamentalisms”, pada Marty E. Martin and R. Scott Appleby, eds. Accounting
for Fundamentalisms: The Dynamic Character of Movements. Chicago:
University of Chicago Press, 1994, 45-58.
[34] Lihat Edlund dan Pande, “Why Have Women Become
Left-Wing? The Political Gender Gap
And The Decline In Marriage.” The
Quarterly Journal of Economics, 2002, 117(3).
[35] Ibid.
[36] Edlund, Haider, dan Pande, “Unmarried Parenthood and Redistributive Politics.” Journal of the European Economic Association, 2005,
3(1): 95-119.
[37]
Lihat Kepel, The Prophet and the Pharaoh: Muslim Extremism in
Egypt. Berkeley: University of California Press, 1985, dan Zuhur, Revealing
Reveiling: Islamist Gender Ideology in Modern Egypt, Albany:
State University of New York Press, 1992.
[39] Mahmood, Politics of Piety: The
Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton: Princeton
University Press, 2005, 98-99.
[40] Baca Moghadam, Modernizing Women: Gender and Social Change in the Middle East, Cairo: American University in Cairo Press, 1993, 76-81.
[41] Ibrahim, “Anatomy of Egypt’s Militant
Islamic Groups: Methodological
Note and Preliminary Findings.” International Journal of Middle East Studies, 1980, 12
Note and Preliminary Findings.” International Journal of Middle East Studies, 1980, 12
[42] Hoodfar, Between Marriage and the Market: Intimate
Politics and Survival in Cairo. Berkeley: University of California Press, 1997,
78-89.
[45]
Helen Watson, Women in the City of the Dead, London: C. Hurst and Co., 1992, 45-54.
[49] Ibid.
[50] El Sirgany, “Veiled women face discrimination in the
workplace and public spaces.” The Daily Star
Egypt, 22 November 2006.
[51] Hatem, “Economic and Political Liberalization in Egypt and the Demise of State Feminism.” International Journal of Middle East Studies, 2004, 24.