Kamis, 21 Juni 2012

ISLAM, GENDER DAN FUNDAMENTALISME-RADIKAL DALAM POLITIK EKONOMI GLOBAL


ISLAM, GENDER DAN FUNDAMENTALISME-RADIKAL
DALAM POLITIK EKONOMI GLOBAL
Aan Jaelani
Dosen Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Jl. Perjuangan By Pass Sunyaragi Cirebon

 Abstrak
Peran perempuan termarginalisasi dalam ruang politik, ekonomi, dan sosial. Perempuan menjadi tidak berdaya akibat otoritas keagamaan dan struktur sosial yang represif. Perempuan cenderung menerima ketidakadilan dalam posisinya sebagai bagian dari masyarakat. Integrasi teori feminisme dan teori pekerjaan sosial membentuk teori feminisme radikal yang digunakan sebagai analisis ketidaksetaraan gender dalam politik ekonomi global. Kecenderungan perempuan terhadap pilihan ideologi fundamentalis-radikal dapat disebabkan oleh faktor kemiskinan dan kekurangan finansial.

 The role of women marginalized in the political space, economic, and social. Women to be helpless due to religious authority and repressive social structures. Women tend to accept the injustice in his position as part of the community. The integration of feminist theory and the theory of social work theory form a radical feminism that is used as a political analysis of gender inequalities in the global economy. The tendency of women to the option-radical fundamentalist ideology can be caused by poverty and lack of financial factors.

 Keywords: feminisme, fundamentalisme-radikal, teori pekerjaan sosial, politik ekonomi global 


Pendahuluan
Islam menganggap perempuan sebagai entitas penting dalam kehidupan manusia. Ada banyak bukti dari teks al-Qur’an dan hadits yang menyebutkan tentang peran wanita bagi perkembangan kehidupan manusia. Menurut al-Qur'an, perempuan memiliki kewajiban yang sama seperti laki-laki (QS. 9:71). Sayyid Quthb[1] memberikan argumen bahwa sifat masyarakat Islam menunjukkan adanya kesatuan dan hidup bersama-sama sebagai satu komunitas. Semua Muslim, pria dan wanita memiliki peran yang sama untuk saling membantu dalam melaksanakan kebaikan dan mencegah kejahatan. Para wanita, berdasarkan fakta-fakta di atas memiliki hak dan posisi yang sama dengan laki-laki. Islam tidak membuat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dengan adanya kewajiban yang sama dalam memberikan berkontribusi terhadap agama.
Fakta lain menunjukkan peran perempuan ini termarginalisasi dalam ruang politik, ekonomi, dan sosial. Perempuan menjadi tidak berdaya akibat otoritas keagamaan dan struktur sosial yang menganggap rendah dan sama sekali tidak memiliki peran apapun dalam kehidupan sosial. Perempuan cenderung menerima ketidakadilan dalam posisinya sebagai bagian dari masyarakat. Dalam bidang politik, perempuan tidak mampu berperan secara siginifikan, padahal dijadikan mesin pendulang suara dalam proses mekanisme kepemimpinan. Dalam bidang ekonomi, pekerjaan perempuan dan pendapatan yang diperolehnya tidak banyak mencukupi kebutuhan hidup. Di bidang pendidikan, perempuan tidak memiliki akses bahkan cenderung berpendidikan rendah dengan pilihan menjadi ibu rumah tangga. Berbagai masalah gender tersebut antara lain dipengaruhi politik ekonomi negara dalam mendesain peran perempuan di tengah-tengah publik, terutama di negara-negara yang masih mengalami “kolonisasi” akibat kebijakan politik internasional, dan tidak memiliki kemandirian secara politik dan ekonomi, ataupun negara yang sedang mengalami transformasi dalam mewujudkan identitas kebangsaaannya.
Pada beberapa negara muslim, ketidakberdayaan perempuan ini dicermati dengan perlunya suatu gerakan pembebasan atas ketidakberdayaan dan ketidakadilan terhadap perempuan. Di antara mereka mengadopsi sistem nilai fundamentalis Islam yang membawa gerakan ini sebagai bentuk radikalisme yang mempromosikan ketidaksetaraan berbasis gender, sedangkan gerakan-gerakan lainnya menganggap pentingnya kesetaraan gender dalam ruang publik.
Karena itu, tulisan ini akan mengeksplorasi bagaimana agama sebagai basis ideologi yang menumbuhkan gerakan radikal sebagai bagian dari teori feminis. Analisis politik ekonomi menjadi bagian penting ketika digunakan untuk menjelaskan posisi perempuan di ruang publik dan dimensi pendidikan yang memiliki peran utama dalam mempolakan suatu gerakan keagamaan, termasuk radikalisme di kalangan perempuan. Asumsi ini berawal adanya faktor-faktor penentu ekonomi bagi perempuan yang terlihat dalam bidang pekerjaan untuk memperoleh finansial. Faktor lainnya, kurangnya kesempatan ekonomi merupakan prediktor kuat sistem keyakinan fundamentalis-radikal dari kelas sosial ekonomi. Persoalan-persoalan inilah yang berimplikasi terhadap munculnya fundamentalisme-radikal yang diwakili perempuan dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.

 Fundamentalisme dan Gerakan Radikal: Tipologi Teori Feminist Social Work[2]
Secara faktual, radikalisme Islam merupakan fenomena historis-sosiologis yang menjadi isu utama dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan media yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia.1 Banyak label-label yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk menyebut gerakan Islam radikal, dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis, militan, Islam kanan, fundamentalisme sampai terrorisme.[3]
Sejak akhir abad ke-20, menurut Almond, et.al., kebangkitan praktik keagamaan dalam bentuk fundamentalisme telah digambarkan sebagai "sejarah serangan balik" oleh tradisi keagamaan yang berusaha untuk memperlambat penyebaran sekularisasi dan mengurangi dampak negatif yang dirasakan dari kehidupan modern.[4] Dalam konteks feminisme, menurut Kaplan,[5] sistem kepercayaan fundamentalis biasanya istilah untuk kembali ke "zaman keemasan" dari beberapa masyarakat atau agama, ketika hampir tanpa pengecualian, laki-laki menikmati kekuasaan sosial dan ekonomi yang cukup besar dan hegemonik atas perempuan.
Namun demikian, Timur Kuran[6] menggambarkan bahwa gerakan fundamentalis ini tidak hanya mundur dalam melakukan pencarian identitas, melainkan juga mereka memiliki agenda politik yang berusaha untuk mengembalikan "kebajikan sosial yang hilang" di tengah masyarakat kontemporer secara spesifik dan tidak setara yang berimplikasi terhadap kebebasan dan keuntungan yang diberikan kepada laki-laki dan perempuan.
Dalam konteks politik global, fundamentalisme Islam dapat dihubungkan dengan realitas politik internasional maupun pemikiran dibalik realitas itu, atau diungkap Samuel Huntington[7] sebagai clash of civilizations, yang cukup mempengaruhi asumsi dan opini politik global pasca-Perang Dingin. Menurut Huntington,[8] fundamentalisme Islam pada umumnya diidentikkan dengan gerakan politik Islam, padahal ia hanyalah salah satu komponen dari kebangkitan Islam yang lebih luas. Kebangkitan-kebangkitan tersebut mencakup ide-ide, prektik-praktik, retorika, dan pengembalian ajaran Islam pada sumber-sumber aslinya, al-Qur’an dan Hadis yang dilakukan oleh umat Islam. sedangkan menurut pandangan Oliver Roy,[9] kemunculan fundamentalisme agama, bukan sekedar reaksi terhadap modernisasi, melainkan produk dari modernisasi itu sendiri.
Berbeda dengan tokoh sebelumnya, Bassam Tibi[10] menilai bahwa apapun garis perjuangannya, fundamentalisme bukan ekspresi dari kebangkitan agama, tetapi lebih merefleksikan ideologi semu yang berasal dari agama untuk memperbaiki dunia, sehingga jelas bertujuan politis. Tujuan mereka adalah islamisasi politik, untuk menggantikan tatanan dunia Barat yang sudah tidak lagi mereka percayai, yang didasari pada prinsip politik Islam, tentunya Islam yang telah mereka interpretasi.
Adapun radikalisme merupakan gerakan yang berpandangan kuno dan sering menggunakan kekerasan dalam mengajarkan keyakinan mereka. Pada sisi lain, Islam merupakan agama yang menekankan pentingnya sikap berdamai dan komitmen atas terciptanya perdamaian.[11] Islam tidak pernah membenarkan praktek penggunaan kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan, serta paham politik, termasuk juga pemahaman yang mengarahkan pada penindasan dan marginalisasi gender.
Meskipun demikian, fakta yang ada tidak bisa dibantah bahwa dalam perjalanan sejarahnya ada kelompok-kelompok Islam tertentu yang menggunakan jalan kekerasan untuk mencapai tujuan politis atau mempertahankan paham keagamaannya secara kaku yang dalam bahasa peradaban global sering disebut kelompok radikalisme Islam.
Jadi, istilah radikalisme lebih tepat digunakan dalam arti kelompok garis keras, yang berbeda dengan istilah fundamentalisme yang mengandung makna interpretable. Dalam tradisi pemikiran teologi keagamaan, fundamentalisme merupakan gerakan untuk mengembalikan seluruh perilaku dalam tatanan kehidupan umat Islam kepada al-Qur’an dan Hadits.[12] Istilah ini dapat dimaknai sebagai kelompok revivalis Islam, suatu kelompok yang berkeyakinan untuk menghidupkan kembali ajaran Islam pada masa Nabi. Namun, istilah fundamentalis juga terkadang disamakan dengan gerakan radikalisme. Penulis dalam tulisan ini akan menggunakan istilah fundamentalisme-radikal untuk mengkompromikan perbedaan makna dari kedua istilah ini.
Secara aplikatif, Islam fundamentalis ini telah melakukan serangkaian gerakan dengan tuntutan yang luar biasa ketat bagi ruang gerak perempuan. Selain keyakinan khas ideologi fundamentalis yang mendukung laki-laki atas perempuan dalam kesempatan kerja dan pendidikan, gerakan keagamaan ini lebih menggunakan kepercayaan tersebut sebagai dasar untuk praktek-praktek seperti jilbab, khitan perempuan, dan aksi radikal lain dalam bentuk kekerasan atau teror seperti pembunuhan massal.[13]
Beberapa kondisi tersebut justru memiliki banyak dukungan perempuan muslim dan mengidentifikasi berbagai gerakan fundamentalis sosial dan politik yang mengekspresikan praktik-praktik dan kepercayaan mereka, dan sering secara sukarela berpartisipasi dalam bentuk praktek-praktek sendiri. Yang menarik dari gerakan fundamentalis gender ini berupa adanya adopsi kalangan perempuan terhadap sistem nilai yang justru membatasi aktivitas sosial mereka, partisipasi politik, dan ekonomi, bahkan secara ekstrim dapat mengakibatkan bahaya fisik bagi mereka.
Gerakan feminis radikal dapat dianalisis dalam konteks teori pekerjaan sosial (social work) dalam merepons arus globalisasi ekonomi yang mempengaruhi peran dan masa depan perempuan. Feminisme yang beraliansi dengan teori ini memiliki paradigma sendiri, yaitu feminist social work (pekerjaan sosial feminis).[14] Menurut Dominelli, gerakan yang muncul sejak tahun 1970-an ini bergerak dalam bidang organisasi sukarela dan aksi masyarakat yang kemudian mengembangkan lingkup gerakannya pada bidang pekerjaan sosial lainnya, seperti konseling, terapi organisasi, terapi kelompok, analis kebijakan sosial, dan penelitian pekerjaan sosial.[15]Gerakan ini dapat ditipologikan menjadi feminis liberal, sosial, dan radikal yang menyebabkan terjadinya class about welfare. [16]
Menurut Dominelli,[17] setiap gerakan feminis memiliki paradigma tersendiri terkait fokus utamanya pada ketidakadilan dan penindasan perempuan. Setiap aliran ini memiliki strategi dan pendekatan masing-masing dalam mengeliminasi ketidakadilan gender ini. Keberagaman aliran feminisme ini, menurut Edi Suharto,[18] menunjukkan bahwa feminisme cukup terbuka dalam merespon setiap kritik yang diarahkan oleh teori-teori lain, bahkan memiliki paradigma yang cair dan tidak dogmatis.
Liberalisme mengusung paradigma welfare state yang menekankan kebebasan individu dalam ruang publik, namun pemerintah memiliki peluang dengan menciptakan distribusi pendapatan secara merata, stabilisasi mekanisme pasar, dan penyediaan barang-barang publik. Saulnier[19] memandang bahwa teori feminis liberal menekankan pentingnya kesetaraan perempuan dengan laki-laki yang selama ini telah dilanggar masyarakat. Tokoh-tokoh pendukung teori ini seperti John Stuart Mill, Harriet Taylor, Anna Julia Copper, dan Fannie B. Williams. Peran wanita perlu diperhitungkan dan dimasukkan dalam struktur tanpa merubah struktur itu sendiri. Karena itu, perempuan memiliki kesempatan yang luas dalam pendidikan sebagai basis penting dalam melakukan perubahan sosial, penguatan perwakilan perempuan dalam ruang publik, dan kesempatan yang sama dalam bidang ekonomi agar mencapai kemandirian. Teori ini menempatkan pentingnya program-program pencegahan dan pengembangan kesempatan dalam meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat.
Sosialisme menentang paradigma welfare state yang membatasi peran pemerintah dan menekankan perubahan pada setiap individu dan kelompok. Laki-laki dan perempuan memiliki peran penting dalam memelihara keluarga, hanya tugas masing-masing yang secara tradisional membedakannya. Menurut Saulnier,[20]teori feminis sosialis ini menganjurkan agar perempuan tidak masuk dalam analisis kelas dan berhak atas pembayaran dari pekerjaan rumah yang dilakukannya dalam bentuk pekerjaan domestik. Teori ini menempatkan pula pentingnya pembentukkan kelompok-kelompok swadaya dan serikat pekerja berdasarkan analisis gender dan kelas. Karena demikian, upaya yang dapat dilakukan antara lain melibatkan pelayanan langsung dan rehabilitasi sosial-klinis untuk membantu orang agar dapat beradaptasi dengan lingkungan sosialnya. Tokoh aliran feminis ini seperti Marx dan Engels.
Adapun radikalisme memiliki asumsi bahwa masalah sosial menjadi situasi yang tidak terhindarkan dan selalu ada dalam sistem yang membedakan kelas, jenis kelamin, dan ras karena menciptakan ketidakadilan gender akibat perbedaan status sosial. Dalam analisis Saulnier,[21] teori ini menekankan pentingnya kemandirian wanita dalam ekonomi, menentang hak-hak seksual laki-laki atas perempuan, dan menyerang justifikasi keagamaan yang menindas wanita. Di samping itu, karena rakyat sendiri harus berjuang dan menguasai sumber-sumber, maka sistem sosial, politik, ekonomi harus dirubah dan direstrukturisasi secara menyeluruh. Karena itu, perubahan lingkungan secara aktif sangat penting, merancang advokasi-advokasi kelas dan aksi sosial-politik. Para tokoh pendukung teori ini seperti Marry Wollstonecraft dan Elizabeth Cuddy Stanton.
Meskipun ketiga teori feminis tersebut memiliki paradigma dan pendekatan yang berbeda, namun ada beberapa kesamaan dalam memandang persoalan gender, seperti menjunjung hak asasi wanita untuk terbebas dari penindasan, memberikan kesempatan pada wanita untuk berbicara atas dirinya sendiri, bersikap mandiri, dan melakukan perubahan, memetakan solusi-solusi kolektif yang menghargai individualitas dan keunikan setiap wanita, mengintegrasikan teori dan praktek, menghargai kontribusi wanita, dan mengunakan pengalaman-pengalam wanita dalam memahami realitas sosial.
 
Radikalisme Gender dan Politik Ekonomi Global
Sekarang ini perempuan di negara-negara muslim memiliki salah satu pilihan, yaitu memegang keyakinan fundamentalis sekaligus menjadi masalah yang kompleks dan multifaces. Sebagai analisis, dapat dilakukan perbandingan antara bentuk perempuan pekerja ekonomi dan sosial yang dihadapkan dengan paham keagamaan fundamentalis vs sekuler. Dalam pemahaman tersebut, faktor-faktor primer sangat menentukan, terutama terkait dengan tekanan ekonomi yang berdampak besar dan signifikan terhadap sistem ideologi gender tentang agama, politik, dan peran perempuan dan statusnya dalam memaknai kitab suci. Ideologi feminis yang radikal dengan berbagai peluang yang ada boleh jadi tumbuh subur akibat keterbatasan sumber-sumber ekonomi, kesulitan dalam memperoleh pekerjaan yang menyebabkan pengangguran, akses pendidikan yang minimal, atau faktor kemiskinan yang justru menyebabkan perempuan untuk memilih sistem keyakinan dengan ideologi fundamentalis-radikal. Secara kualitatif, tentunya perlu rekonstruksi terhadap faktor-faktor penyebab bagi perempuan dalam menentukan sistem ideologi keagamaannya.
Secara umum, fundamentalisme-radikal merupakan suatu sistem kepercayaan komposit yang mencakup dua dimensi yang luas, yaitu pertama, preferensi yang konsisten dengan pandangan dunia yang secara sistematis tradisionalis memunculkan hegemoni laki-laki atas perempuan, dan kedua, kesalehan pribadi dan komitmen atas integrasi politik dan agama yang konsisten dengan nilai-nilai Islam yang konservatif. [22]
Para peneliti ilmu-ilmu sosial, seperti Esposito, Natchwey dan Tessler,[23] menemukan bahwa adanya dukungan massa bagi fundamentalisme sebagai gerakan sosial politik yang luas, khususnya di kalangan generasi komunitas perkotaan. Hal penting terutama pada keperluan identifikasi atas pemahaman faktor-faktor penentu fundamentalisme yang sangat relevan untuk memahami politik ekonomi global, dan eksplorasi berbagai motif yang menyuburkan fundamentalisme dalam berbagai kondisi budaya sebagai aksi atas realitas sosial yang ada dan tentunya pula, perlawanan terhadap pemahaman keagamaan dan penguasa yang otoriter. Dengan demikian, faktor ekonomi dapat menjadi penentu atas munculnya gerakan fundamentalis-radikal dibandingkan dengan sistem yang dibentuk dan diatur melalui kebijakan pemerintah.
Fundamentalisme mengacu pada setiap gerakan sosial-politik yang mengharuskan pengikutnya memiliki kepatuhan total terhadap doktrin untuk disebut 'fundamental', dan memiliki motivasi tinggi dalam melakukan tugas-tugas ilahi yang transendental dan membumi.[24]  Sedangkan menurut Antropolog, sosiolog, ilmuwan politik, dan ulama menegaskan bahwa fundamentalisme dan dukungan untuk praktik fundamentalis telah mengalami kebangkitan di akhir abad ke-20 sebagai bentuk neo-traditionalisme dalam budaya yang beragam dan mengakar dalam suatu proses sosial, ekonomi, dan politik.[25]
Kemunculan fundamentalisme dalam pandangan Marty & Appleby[26] hadir di tengah modernisasi yang cepat, sekularisasi, dan urbanisasi penduduk pedesaan tradisional yang mengakibatkan mereka menjadi semakin terputus dari masa lalu yang lebih religius. Fundamentalisme memberikan kritik atas adanya kesulitan ekonomi dan  kemunduran masyarakat akibat sekularisasi dan liberalisasi. Sehubungan dengan norma-norma gender, populasi urban bagi masyarakat baru mengalami kesulitan untuk menerima perubahan peran yang dimainkan oleh perempuan yang disertai dengan isu-isu modernitas, khususnya sebagai perempuan yang mulai bekerja di sektor non-tradisional.
Dalam pandangan Kaplan, gerakan ini bereaksi negatif terhadap pembebasan sosial dan ekonomi perempuan, terutama pola perubahan pada relasi laki-laki dan perempuan di daerah perkotaan,[27] suatu fenomena yang dihasilkan dari apa yang umumnya dijelaskan (untuk berbagai derajat) sebagai Islamisme, fundamentalisme, wahabisme, atau puritanisme, di mana Islam tradisional atau apa yang dianggap tradisional Islam dinilai dan naik posisi menjadi "status suci".[28]
Analisis Khaled Abou Fadl[29] menunjukkan bahwa salah satu aspek yang paling traumatis dari gerakan puritanisme Islam adalah efeknya pada perempuan, sebagai muslim yang berusaha untuk meningkatkan perasaan mereka menjadi “terberdaya” di dunia modernisasi. Gerakan-gerakan puritan disesuaikan dengan martabat perempuan yang menjadi simbol kehormatan untuk pria, dan cara termudah dan paling efektif untuk membuktikan legitimasi tradisionalis seseorang adalah dorongan untuk menetapkan UU yang ketat untuk perempuan.
Fundamentalisme semakin memusatkan perhatian pada isu-isu moralitas, terutama karena mereka berhubungan dengan reputasi dan kesucian perempuan yang terkait dengan status laki-laki berupa kehormatan. Hawley[30] berpendapat bahwa kelompok fundamentalis cenderung terintimidasi oleh otonomi perempuan dan merasa bahwa menjalankan kekuasaan atas wanita tetap menjadi salah satu dari sedikit aspek yang mengarahkan seseorang bisa melakukan kontrol dan membuktikan otoritasnya.

Fundamentalisme-Radikal sebuah Pilihan Perempuan
Persoalan penting terkait dengan pilihan rasional seorang perempuan untuk mengadopsi paham keagamaan fundamentalis-radikal. Analisis yang dibuat Hardacre[31] telah mengidentifikasi sejumlah alasan ekonomi dan budaya yang mungkin menjadi faktor penyebabnya, antara lain (1) takut dislokasi, sering dikaitkan dengan sentimen anti-kolonialis, (2) untuk mendapatkan upah yang cukup sebagaimana pekerja laki-laki, (3) kurangnya pendidikan dan informasi mutakhir, (4) keprihatinan atas sikap hegemoni laki-laki yang cenderung non-konformitas dan selalu dita’ati, (5) takut terhadap kerkaan Allah, dan (6) kesulitan membuat pilihan terhadap kondisi yang tidak dapat dielakkan. Dalam pandangan Mernissi[32]dan Piscatori,[33] faktor-faktor tersebut cenderung menekankan aspek-aspek budaya dan politik dari kemunculan fundamentalisme.
Kajian terbaru oleh para ilmuwan politik dengan analisis pada basis kelembagaan dan ekonomi mengarahkan ketidaksetaraan gender pada dukungan bagi norma-norma politik patriarkis dan kebijakan politik konservatif. Iverson dan Rosenbluth[34] berpendapat bahwa penerimaan norma-norma patriarkis terikat pola dalam pembagian kerja menurut jenis kelamin, dengan masyarakat yang didasarkan pada pertanian dan padat karya yang cenderung menguntungkan laki-laki atas perempuan. Hal ini konsisten dengan temuan Edlund dan Pande[35] dan Edlund, Haider, dan Pande[36] yang menunjukkan bahwa kesulitan ekonomi berkaitan dengan tingkat perceraian yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan perempuan dalam tatanan demokrasi meningkatkan peran untuk mendukung politisi berhaluan kiri.
Teori dan bukti berikut ini akan memperkuat kepentingan dalam determinan ekonomi dari keyakinan dan orientasi ideologis gender di dunia Muslim. Bukti yang mendukung motivasi ekonomi bagi kalangan perempuan dalam memegang ideologi fundamentalis tidak selalu menghalangi perempuan lainnya dengan alasan non-ekonomi. Dalam hal ini, apakah faktor kemiskinan menjadi pemicu bagi kemunculan ideologi fundamentalis di kalangan perempuan ?
Faktor kemiskinan dapat melahirkan ideologi fundamentalis dan fakta menunjukkan bahwa kemiskinan tersebut memunculkan komunitas demografis yang paling terpengaruh oleh fenomena ini. Deprivasi relatif dan keputusasaan akibat hidup mikin sebagai sumber frustrasi bagi kalangan muslim. Shimon Peres, dalam visinya tentang "Timur Tengah Baru" berpendapat bahwa fundamentalisme merupakan protes terhadap kepemilikan orang lain yang memicu kasus bahwa kemiskinan menyediakan lahan subur bagi sistem ideologi fundamentalis.[37]
Dalam pandangan Almond, et.al.,[38] mekanisme kausal dianggap bahwa keadaan ekonomi yang buruk mungkin menciptakan sikap dan keluhan di antara kelompok-kelompok tertentu dalam populasi, atau paling tidak kecenderungan mereka terhadap argumen-argumen, tema-tema, dan praktek-praktek  fundamentalis.
Meskipun demikian, isu-isu kemiskinan justru berbanding terbalik dan tidak menjadi faktor penentu bagi ideologi fundamentalis. Contoh kelaparan yang terjadi di Bangladesh tidak menyuburkan ideologi fundamentalis, dibandingkan dengan Arab Saudi yang kaya minyak justru ideologi fundamentalis dan dukungannya cenderung meningkat. Booming ekonomi tidak menjadi faktor perlawanan terhadap fundamentalisme  bahkan mungkin menyuburkan ideologi ini. Fakta lain, meskipun standar hidup terus meningkat di seluruh dunia Islam selama abad ke-20, namun dukungan untuk fundamentalisme juga meningkat.
Studi lain tentang fundamentalisme mengarah pada identifikasi diri ideologi ini pada tingkat individu telah memotong garis sosial ekonomi. Hasil penelitian Mahmood[39] memberikan informasi bahwa selama field study tentang gerakan Islam di Mesir, menemukan identitas perempuan dari berbagai latar belakang sosial ekonomi yang didukung Islamisme, berbeda dengan kebijakan konvensional yang memberikan dukungan terhadap Islam muncul hanya dari kalangan orang miskin.
Moghadam[40] juga menekankan bahwa preferensi fundamentalis bukan merupakan fungsi dari kelas di kalangan wanita. Sa’ad Eddin, sosiolog Mesir, seperti dikutip Ibrahim[41]telah menunjukkan pula bahwa ekstrimis Islam cenderung berpendidikan, memiliki mobilitas tinggi sebagai pria muda, bukan penghuni daerah kumuh, sebagaimana stereotif yang muncul selama ini. Bahkan, misalnya, anggota Ikhwanul Muslim di seluruh dunia Islam banyak yang berprofesi sebagai dokter, pengacara, dan insinyur. Meskipun hal ini tidak jelas, namun secara individu dan kelompok pemimpin gerakan fundamentalis ini akan memiliki jaringan yang luas jika berasal dari kalangan akademis, dibandingkan pemimpin yang berlatarbelakang berbeda. Secara umum, sekarang ini dukungan bagi fundamentalisme juga berkaitan secara khusus dengan preferensi dan keyakinan seorang muslim, sementara kalangan muslimah mungkin menghadapi serangkaian kendala  dan tantangan dalam sistem ideologis yang dianut sebelumnya.
Asumsi kedua terkait dengan pilihan gender terhadap ideologi fundamentalis-radikal berupa kekurangan finansial. Ketersediaan keuangan amat menentukan untuk kehidupan seorang perempuan. Harapan perempuan biasanya memiliki pasangan yang sudah bekerja dan bukan pengangguran. Menurut Hoodfar, hal ini sangat menguntungkan apalagi didukung dengan sumber daya ekonomi yang tersedia dan kondisi pasar yang stabil dan menguntungkan, yang mendorong wanita mencari pekerjaan di luar rumah.[42]Sebaliknya, dalam keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan, bagaimanapun juga pernikahan dapat berfungsi sebagai pengganti ekonomi bagi pekerjaan yang dibayar dalam angkatan kerja.
Lebih lanjut, Hoodfar[43] mengungkapkan, bahwa wanita dengan sistem ideologi fundamentalis memiliki nilai sendiri dalam konteks pernikahan. Pernikahan di negara mayoritas muslim, khususnya di kalangan non-elit, dipandang sebagai kontrak antara dua pihak dan mungkin pengaturan ekonomi tunggal di mana perempuan akan berkomitmen sehidup-semati.
Penelitian yang dilakukan Rugh[44] mengidentifikasi bahwa pemilihan pasangan pengantin memiliki nilai sangat penting. Kehidupan keluarga di Mesir menunjukkan bahwa pasangan menjadi mitra potensial yang memiliki hak mengatur kualifikasi, dan terutama perempuan harus mencerminkan hal yang baik pada reputasi publik dari. Di antara ciri-ciri yang paling sangat dihargai bagi pasangan pengantin adalah kesalehan dan tradisionalisme. Menurut Watson, konservatisme moral, kehidupan sederhana, dan perilaku keagamaan dianggap sebagai kualitas penting di semua tingkat masyarakat dari komunitas perempuan di Kairo, komunitas perempuan di daerah kumuh yang dikenal sebagai Kota Orang Mati[45] sampai kalangan perempuan menengah dan kelas atas Mesir.
Dalam analisis Moghadam, muslim kontemporer menilai bahwa keluarga adalah unit dasar dari masyarakat dan ibu memiliki peran kunci dalam sosialisasi anak-anak, terutama dalam meningkatkan komitmen sebagai muslim dan transmisi nilai-nilai buday.[46] Status wanita, terutama ditentukan oleh kemampuannya untuk menjadi seorang istri dan ibu yang baik.[47]
Para antropolog, seperti disinyalir Almond, dkk.[48] melaporkan bahwa perempuan fundamentalis, secara umum, yang didedikasikan untuk kepentingan utama dan peningkatan struktur sosial patriarkis, dan mereka berkeyakinan bahwa pembentukan moral anak-anak terhadap pengaruh masyarakat sekuler adalah tugas seorang ibu yang utama. Karena demikian, kepatuhan terhadap nilai-nilai konservatif cenderung meningkatkan motivasi perkawinan seorang perempuan.
Pada saat yang sama, kemampuan perempuan untuk memperoleh posisi tertentu dalam ruang publik juga bergantung pada penerimaan preferensi dalam cara yang justru sebaliknya. Sinyal eksternal berupa kesalehan yang mungkin membantu perempuan dalam perkawinan justru sebenarnya dapat memarginalisasi mereka ketika mencari pekerjaan. Banyak peluang kerja namun memiliki syarat “belum menikah”.
Pandangan Barsoum[49] menunjukkan bahwa pendidikan tinggi bukanlah kondisi yang cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang baik di Mesir, pengusaha juga berfungsi sebagai “penjaga gerbang” dalam kompetisi individu-individu yang progresif dalam posisi pekerjaan pada perusahaan multinasional. Sebagai contoh, secara terselubung perempuan di Mesir telah menjadi subyek diskriminasi atas pekerjaan komersial, seperti media televisi, iklan, perhotelan, dan segmen lain dari pasar pariwisata,[50] dan juga perusahaan asing sering memiliki kebijakan tidak tertulis untuk tidak mempekerjakan wanita berjilbab.[51]
Perempuan dengan kelas sosial ekonomi yang lebih tinggi dapat memegang keyakinan fundamentalisme, sebagaimana beberapa dukungan kuat bagi gerakan Islam adalah wanita berpendidikan, seperti dokter dan dosen, yang mungkin melihat peluang adanya kesempatan kerja yang bergengsi dengan menyediakan layanan tingkat tinggi pada perempuan lain dalam aspek gender,[52]atau untuk melayani dalam kapasitas kepemimpinan bagi gerakan massa Islam. Hal ini juga menurut Moghadam, konsisten dengan pengamatan bahwa tingkat tertinggi masyarakat dari beberapa negara Arab telah melihat peningkatan polarisasi ideologi antara sekularis-garis keras dan tradisionalis-ekstrim.[53]
Dengan demikian, ketertarikan perempuan untuk memilih ideologi fundamentalis dapat diamati dari beberapa faktor penyebabnya antara lain kemiskinan dan kekurangan finansial dalam kehidupan mereka. Tentunya, ideologi fundamentalis-radikal akan berkembang bila perempuan sebagai anggotanya memiliki kondisi keuangan yang baik dengan pendidikan tinggi yang dimilikinya. Namun penjelasan sebelumnya menunjukkan tidak ada parameter yang pasti dari faktor-faktor penyebabnya untuk mengukur keterlibatan gender dalam berbagai gerakan fundamentalis. Ini bermakna bahwa di negara-negara muslim atau mayoritas muslim kecenderungan perempuan berpihak pada fundamentalisme lebih disebabkan faktor psikologi, ekonomi, politik, dan budaya tergantung pada seberapa besar masing-masing akan mempengaruhi kondisi perempuan tersebut.

Penutup
Islam memberikan peluang kepada perempuan untuk “membebaskan diri” secara mandiri dari ketidakadilan dan marginalisasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya yang mengikatnya. Upaya pembebasan diri dari ketidaksetaraan gender ini tumbuh dan berkembang menjadi suatu ideologi fundamentalis-radikal dalam memperjuangkan hak-hak pembebasannya. Keterlibatan gender dalam pergumulan fundamentalis bisa disebabkan akibat faktor kemiskinan dan kekurangan finansial, dan tentunya masih banyak faktor penyebab lainnya. Dalam hal ini, gerakan feminis radikal mengarahkan diri pada penciptaan situasi yang menempatkan perempuan dalam ruang publik tanpa perlu mengganti struktur yang ada. Karena itu, bagi feminisme-radikal ini perubahan lingkungan secara aktif sangat penting dengan merancang advokasi-advokasi kelas dan aksi sosial-politik.

DAFTAR PUSTAKA

Abou El Fadl, Khaled M. 2001. And God Knows the Soldiers: The Authoritative and the Authoritarian in Islamic Discourse. New York: University Press of America.
Almond, Gabriel A., R. Scott Appleby, and Emmanuel Sivan. 2003. Strong Religion: TheRise of Fundamentalisms around the World. Chicago: University of Chicago Press.
Binder, Leonard. 1988. Islamic Liberalism: A Critique of Development Ideologies. Chicago: University of Chicago Press.
Brink, Judy and Joan Mencher, eds. 1997. Mixed Blessings: Gender and Religious Funda­mentalism Cross Culturally. London: Routledge.
Dominelli, Lena. “Feminist Theory”, Martin Davin, (ed.). 2002. Companion to Social Work. Oxferd: Blackwell.
Edlund, Lena, Laila Haider, and Rohini Pande. 2005. “Unmarried Parenthood and Redis­tributive Politics.” Journal of the European Economic Association. 3(1): 95-119.
El Sirgany, Sarah. 2006. “Veiled women face discrimination in the workplace and public spaces.” The Daily Star Egypt, 22 November.
Esposito, John. 1982. Women in Muslim Family Law. Syracuse, NY: Syracuse University Press.
Esposito, John. 1999. The Islamic Threat: Myth or Reality? Oxford: Oxford University Press.
Hawley, John Stratton, ed. 1994. Fundamentalism and Gender. New York: Oxford Univer­sity Press.
Hessini, Leila. 1994. “Wearing the Hijab in Contemporary Morocco: Choice and Iden­tity.” Reconstructing Gender in the Middle East. Fatma Muge Gocek and Shiva Salaghi, editors. New York: Columbia University Press.
Hoodfar, Homa. 1997. Between Marriage and the Market: Intimate Politics and Survival in Cairo. Berkeley: University of California Press.
Ismail, Salwa. 2006. Political Life in Cairo’s New Quarters: Encountering the Everyday State. Minneapolis: University of Minnesota Press.
Kaplan, Lawrence, ed. 1992. Fundamentalism in Comparative Perspective. Amherst, MA: University of Massachusetts Press.
Karam, Azza M. 1998. Women, Islamisms and the State: Contemporary Feminisms in Egypt. New York: St. Martin’s Press.
Kepel, Gilles. 1985. The Prophet and the Pharaoh: Muslim Extremism in Egypt. Berkeley: University of California Press.
Kuran, Timur. 1993. “Fundamentalisms and the Economy.” Fundamentalisms and the State: Remaking Polities, Economies, and Militance. Marty E. Martin and R. Scott Appleby, eds. Chicago: University of Chicago Press.
Mahmood, Saba. 2005. Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton: Princeton University Press.
Marty, Martin E. and R. Scott Appleby, eds. 1995. Fundamentalisms Comprehended. Chicago: University of Chicago Press.
Mernissi, Fatima. 1987. Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society. Bloomington: Indiana University Press.
Moghadam, Valentine M. 1993. Modernizing Women: Gender and Social Change in the Middle East. Cairo: American University in Cairo Press.
Moghadam, Valentine M. 2002. “Islamic Feminism and Its Discontents: Toward a Resolution of the Debate.” Signs: Journal of Women in Culture and Society. 27(4).
Parson, J. Rush, et.al. The Integration of Social Work Practise. Pacific Groof: Brooks/Cool.
Piscatori, James. 1994. “Accounting for Islamic Fundamentalisms.” Marty E. Martin and R. Scott Appleby, eds. Accounting for Fundamentalisms: The Dynamic Character of Movements. Chicago: University of Chicago Press.
Rashad, Hoda, Magued Osman, and Farzaneh Roudi-Fahimi. 2005. Marriage in the Arab World. Population Reference Bureau.
Rugh, Andrea. 1985. Family in Contemporary Egypt. Cairo: American University in Cairo Press.
Saulnier, Christine Flynn. 2002. Feminist Theory and Social Work: Approaches and Aplication. New Yor: The Hawort Press.
Soeharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama.
Watson, Helen. 1992. Women in the City of the Dead. London: C. Hurst and Co.
Winter, Bronwyn. 2001. “Fundamental Misunderstandings: Issues in Feminist Approaches to Islamism.” Journal of Women’s History. 13(1): 9-41.
Zuhur, Sherifa. 1992. Revealing Reveiling: Islamist Gender Ideology in Modern Egypt. Albany: State University of New York Press.


 End Note

[1] Sayyid Quthb, Fi Zilal al-Qur’an, Bayrut: Dar al-Shuruq, 1980, vol. 3, 1674.
[2] Secara lengkap dapat dibaca Saulnier, Feminist Theory and Social Work: Approaches and Aplication, New Yor: The Hawort Press, 2002, dan Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan pekerjaan Sosial, Bandung: Refika Aditama, 2005.
[3] Rifat Akhter, “Global Economy, Gender Equality, and Domestic Violence: A Cross-National Study." Department of Sociology, Southern Illinois University Carbondale, 2006, 56-65.
[4] Baca Almond, et.al., Strong Religion: TheRise of Fundamentalisms around the World. Chicago: University of Chicago Press, 2003, 20.
[5] Lawrence Kaplan, ed., Fundamentalism in Comparative Perspective. Amherst, MA: University of Massachusetts Press, 1992, 30.
[6] Timur Kuran, “Fundamentalisms and the Economy.” Fundamentalisms and the State: Remaking Polities, Economies, and Militance, Marty E. Martin and R. Scott Appleby, eds. Chicago: University of Chicago Press, 1993, 290.
[7] Baca Huntington, Democracys Third Wave, The Global Resurgence of Democracy, Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1996.
[8] Ibid.
[9] Lebih lanjut baca Oliver Roy,  Globalised Islam: The Search for a New Ummah, London: Hurst & Co., 2001.
[10] Baca Bassam Tibi, Ancaman Fundamentalisme, Rajutan Islam Politik dan Kekacauan Dunia Baru, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000. 
[11] Untuk bacaan gerakan fundamentalis dan radikal keagamaan antara lain Jamhari dan Jajang Jahroni (Peny.), Gerakan Salafi Radikal di Indonesia, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004, Omar Narasi, Inside the Jihad: Teroris atau Tentara Tuhan?, terj. Dina Mardiana, Jakarta: Zahra, 2007, N.C. Asthana and Anjali Nirman, Urban Terrorism: Myths and Realities, Jaipur, India: Mrs. Shashi Jain for Pointer Publishers, 2009, dan Azra, The Origins of Islamic Reformism in Southeast Asia, Crownest, Aust: AAAS & Allen Unwin; Honolulu: University of Hawaii Press; Leiden: KITLV Press, 2004.
[12] Lisa Blaydes & Drew A. Linzer , The Political Economy of Women’s Support for Fundamentalist Islam, Stanford University, 2007, 13-21.
[13] Ibid.
[14] Saulnier, op.cit., 16-18.
[15]  Lihat Dominelli, “Feminist Theory”, Martin Davin, (ed.), Companion to Social Work, Oxferd: Blackwell, 2002, 98-100.
[16] Saulnier, op.cit., 20-22.
[17] Dominelli, op.cit., 100-101.
[18] Edi Suharto, Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan pekerjaan Sosial, Bandung: Refika Aditama, 2005, 27-28.
[19] Saulnier, op.cit., 22-23.
[20] Ibid., 23-26.
[21] Ibid., 28-32.
[22] Ibid., 36-43.
[23] Baca Esposito, The Islamic Threat: Myth or Reality? Oxford: Oxford University Press, 1999, 90-93.
[24] Dominelli, op.cit., 102-105.
[25] Brink dan Mencher, eds., Mixed Blessings: Gender and Religious Funda­mentalism Cross Culturally. London: Routledge, 1997, 67-86.
[26] Marty & Appleby, eds., Fundamentalisms Comprehended, Chicago: University of Chicago Press, 2005, 118-139..
[27] Kaplan, ed., Fundamentalism in Comparative Perspective, Amherst, MA: University of Massachusetts Press, 1992, 102-118.
[28] Esposito, Women in Muslim Family Law. Syracuse, NY: Syracuse University Press., 1982, 56-58.
[29] Lebih lanjut baca Khaled Abou Fadl, And God Knows the Soldiers: The Authoritative and the Authoritarian in Islamic Discourse, New York: University Press of America, 2001, 98-110.
[30] Hawley, ed., Fundamentalism and Gender. New York: Oxford Univer­sity  Press., 2004, 112-123.
[31] Lihat Martin E. Marty and R. Scott Appleby, eds. Op.cit., 176-178.
[32] Mernissi, Beyond the Veil: Male-Female Dynamics in Modern Muslim Society, Bloomington: Indiana University Press Mernissi, 1987, 78-95.
[33] Piscatori, “Accounting for Islamic Fundamentalisms”, pada Marty E. Martin and R. Scott Appleby, eds. Accounting for Fundamentalisms: The Dynamic Character of Movements. Chicago: University of Chicago Press, 1994, 45-58.
[34] Lihat Edlund dan Pande, “Why Have Women Become Left-Wing? The Polit­ical Gender Gap And The Decline In Marriage.” The Quarterly Journal of Economics, 2002, 117(3).
[35] Ibid.
[36] Edlund, Haider, dan Pande, “Unmarried Parenthood and Redis­tributive Politics.” Journal of the European Economic Association, 2005, 3(1): 95-119.
[37] Lihat Kepel, The Prophet and the Pharaoh: Muslim Extremism in Egypt. Berkeley: University of California Press, 1985, dan Zuhur, Revealing Reveiling: Islamist Gender Ideology in Modern Egypt, Albany: State University of New York Press, 1992.
[38] Almond, et.al., op.cit., 36-40.
[39] Mahmood, Politics of Piety: The Islamic Revival and the Feminist Subject. Princeton: Princeton University Press, 2005, 98-99.
[40] Baca Moghadam,  Modernizing Women: Gender and Social Change in the Middle East, Cairo: American University in Cairo Press, 1993, 76-81.
[41] Ibrahim, “Anatomy of Egypt’s Militant Islamic Groups: Methodological
Note and Preliminary Findings.” International Journal of Middle East Studies, 1980, 12
[42]  Hoodfar,  Between Marriage and the Market: Intimate Politics and Survival in Cairo. Berkeley: University of California Press, 1997, 78-89.
[43]  Ibid.
[44] Rugh,  Family in Contemporary Egypt, Cairo: American University in Cairo Press, 1985.
[45] Helen Watson, Women in the City of the Dead, London: C. Hurst and Co., 1992, 45-54.
[46] Moghadam, op.cit., 100.
[47] Rasyad, et.al., Marriage in the Arab World, Population Reference Bureau, 2005, 67-68.
[48] Almond, et.al., op.cit., 11-12.
[49] Ibid.
[50] El Sirgany, “Veiled women face discrimination in the workplace and public spaces.” The Daily Star Egypt, 22 November 2006.
[51] Hatem, “Economic and Political Liberalization in Egypt and the Demise of State Feminism.” International Journal of Middle East Studies, 2004, 24.
[52] Moghadam, op.cit., 148.
[53] Ibid.

  (Jurnal Equalita, IAIN Syekh Nurjati Cirebon, 2011)