Jumat, 22 Juni 2012

INSKRIPSI MASJID AL-WUSTHO PURA MANGKUNEGARA SOLO

INSKRIPSI MASJID AL-WUSTHO PURA MANGKUNEGARA SOLO

Tim Peneliti:
Aan Jaelani, dkk.
Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian Agama RI 2010

 ABSTRACT
In order to preaching and moral guidance, the mosque became the main means of the ever-present in society. Not only in schools but in every town planning and the central government in Java to build a mosque as a center of civilization. Similarly, in the history of the Mataram kingdom in Surakarta, in every palace is always accompanied with a mosque. In the palace there is a mosque Supreme Kasunanan Surakarta Surakarta (1757 AD), was in the Palace Mangkunegaran there is a mosque of Al-Wustho (1878-1918 AD). One of the mosque is quite important to investigate is the Mosque of Al-Wustho Pura Mangkunegara. Masjid Al-Wustho is filled with an inscription as decoration in the form of calligraphy that meets almost all parts of the mosque building.
This study uses historical research approach with five stages, namely the selection of topics, gathering resources or heuristics, verification or historical criticism aimed at processing the validity of sources, interpretation, in which includes the analysis and synthesis, and writing of history or historiography.
The conclusion of this study that the inscription on the mosque of Al-Wustho Pura Mangkunegara indicate the identity art of calligraphy as a result of acculturation between Islamic calligraphy with local cultural (Javanese). The contents of the inscription in the form of texts of the Qur'an and Hadith in the form of commands, prohibitions, and other religious messages are worth worship. The function of the inscription on the Masjid Al-Wustho have meaning the identity of Islam, while the functions of calligraphy as a medium of worship and preaching, a means of artistic creativity and trimmer, and media communication. Widely even has deep meaning since the mosque was built up in the future, namely the meaning of Islamic identity and altitude position highly upholds the sanctity and religious obligations that are inscripted in every aspect of life.

Key words: inskripsi masjid, masjid al-Wustho Mangkunegaran, kaligrafi


BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dalam sejarah Islam, peristiwa hijrah Nabi Muhammad saw mempunyai posisi yang sangat penting. Banyak cendekiawan menafsirkan peristiwa tersebut dari berbagai aspek, baik itu aspek politik sebagai awal kelahiran negara Islam, hukum sebagai awal pembentukan hukum, maupun sosial sebagai awal terbentuknya masyarakat Islam. Dari sisi sejarah, peristiwa tersebut diabadikan oleh sahabat Nabi, Umar bin Khatab sebagai nama tahun Islam, yaitu Hijriah. Ada sebuah peristiwa penting pada saat hijrah nabi  yang mungkin luput dari perhatian banyak orang. Sesampai nabi Muhammad saw di Madinah yang mula sekali beliau lakukan adalah membangun sebuah “masjid”, bukan kantor, bukan rumah, apalagi istana. Meskipun beliau juga bertempat tinggal di dalamnya, namun semua umat Islam tidak pernah menyebut bangunan itu sebagai rumah tinggal pribadi.
Dalam bangunan tersebut yang kemudian dinamakan dengan “Masjid Nabawi”, semua aktifitas keagamaan umat Islam di Madinah dipusatkan, bukan hanya sekedar tempat sholat, tetapi juga sebagai tempat para sahabat dan umat muslim lainnya bertanya tentang berbagai macam hal, bahkan terkadang hingga urusan strategi peperangan di bicarakan dalam bangunan tersebut.
Dalam penyebaran Islam ke Indonesia khususnya ke tanah Jawa, ada pola yang hampir sama dilakukan oleh para penyebarnya Wali Sanga, yaitu dengan mendirikan masjid Agung Demak yang didirikan pada abad ke 15 (1466 M/ 887H) berdasarkan Candra Sengkala Lawang Bledeg, yang berbunyi “Nogo Mulat Saliro Wani, bermakna tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H. Banyak masyarakat meyakini masjid ini menjadi tempat bermusyawarah Wali Sanga dalam merumuskan langkah dan strategi dakwah penyebaran Islam di tanah Jawa.
Tidak mengherankan jika dalam rangka dakwah dan pembinaan akhaq umat, masjid menjadi sarana utama yang selalu harus ada. Tidak hanya di pesantren tetapi di setiap perencanaan tata kota dan pusat pemerintahan di Jawa membangun masjid seakan menjadi suatu keharusan. Begitu pula dalam sejarah kerajaan Mataram di Surakarta, di setiap keraton selalu didampingi dengan masjid. Di keraton Kasunanan Surakarta ada masjid Agung Surakarta (1757M), sedang di Keraton Mangkunegaran ada masjid Al-Wustho (1878-1918 M). Kedua masjid ini mempunyai arti yang penting bagi Umat Islam di Surakarta sejak dari awal berdirinya. Keduanya juga bisa diartikan sebagai simbol perhatian penguasa kepada agama terkait dengan gelaran sultan dengan Panotogomo yang artinya piñata agama (piñata agama).
Salah satu masjid yang menarik perhatian kami untuk diteliti adalah Masjid Al-Wustho Pura Mangkunegara. Sama halnya dengan masjid Agung Suarakarta, masjid Al-Wustho dipenuhi dengan inskripsi sebagai ragam hias berupa kaligrafi yang memenuhi hampir seluruh bagian bangunan masjid. Pada kesempatan ini titik fokus penelitian kami lebih pada inskripsi tersebut.
B.   Perumusan Masalah
Mengingat adanya berbagai keterbatasan teknis, maka penelitian ini akan kami batasi pada beberapa hal tertentu saja, antara lain; penelitian hanya akan dilakukan di kota Surakarta, obyek penelitiannya adalah masjid Al-Wustho di Pura Mangkunegara. Secara lebih khusus lagi kami hanya akan membatasi obyek kajiannya pada inskripsi saja, tidak pada hal-hal lain di luar hal tersebut.
Penelitian ini hendak mengekplorasi inskripsi yang menghiasi bangunan majid Al-Wustho, untuk itulah pertanyaan penelitian yang akan di jawab dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimanakah isi inskripsi pada masjid Al-Wustho?
2.      Bagaimanakah kritik teks pada masjid Al Wustho?
3.      Bagaimnakah fungsi penempatan dan fungsi kaligrafi pada inskripsi masjid Al Wustho?
C.   Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada pertanyaan penelitian tersebut di atas maka tujuan penelitian ini hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, yaitu:
1.      Untuk mengetahui bagaimanakah isi inskripsi pada masjid Al-Wustho
2.      Untuk memberikan kritik teks atas isi inskripsi pada masjid Al Wustho
3.      Untuk mengetahui fungsi penempatan dan fungsi kaligrafi pada inskripsi masjid Al Wustho.

D.  Tinjauan Pustaka
Dari penelusuran yang telah dilakukan ada beberapa karya tulis dan penelitian yang pernah ada tentang masjid Al-Wustho Pura Mangkunegaran, antara lain:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Lilik Budi Santoso dari Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2008, sebagai bahan penulisan skripsi S1, dengan judul “Karakteristik Bentuk Masjid Kerajaan Di Surakarta Kasus : Masjid Agung Surakarta Dan Masjid Al-Wustho Mangkunegaran”. Penelitian tersebut menitik beratkan pada aspek arsitektur dari sisi bentuk bangunan pada dua masjid yaitu masjid Agung dan Al-Wustho, tidak secara khusus menyoroti inskripsinya.
Kedua, Penelitian yang dilakukan oleh Nur Rahmawati Syamsiyah yang kemudian dipublikasikan dalam jurnal “Jurnal Teknik Gelagar”, Vol. 18, No. 01, April 2007, Fakultas Teknik UMS Surakarta, dengan judul “Transformasi Fungsi Mihrab Dalam Arsitektur Masjid Studi Kasus: Masjid-Masjid Jami’ Di Surakarta”. Penelitian tersebut memfokuskan penelitiannya pada mihrab masjid saja, tidak banyak menyoroti Inskrispsinya.
Ketiga, Penelitian skripsi oleh Myristica Arie Wrespati, di Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia, dengan judul “Masjid Al-Wustho Pura Mangkunegaran Tinjauan Bentuk dan Akulturasi”. Penelitiannya merupakan penelitian arkeologis yang menyoroti bentuk arsitektur sebagai suatu proses akulturasi. Penelitian ini juga tidak memfokuskan penelitian pada inkripsinya.
Keempat, Sebuah karya tulis oleh H. Nur Muhammad yang menulis sejarah ringkas masjid Al-Wustho dan mendeskripsikan inskripsinya. Makalah ini tidak dipublikasikan. Sayangnya beliau hanya mendeskripsikan inskripsi yang ada di luar bangunan masjid yaitu, pada gapura dan markis saja, tidak pada bagian dalamnya.
Berdasarkan penelusuran singkat inilah kami menduga belum ada yang melakukan penelitan sekaligus analisa pada teks-teks inskripsi pada masjid Al-Wustho.    

E.   Metodologi Penelitian
Menurut Kuntowijoyo[1], penelitian sejarah mempunyai lima tahapan yaitu: (1) pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber atau heuristik, (3) verifikasi atau kriktik sejarah yang bertujuan memproses keabsahan sumber, (4) interpretasi, yang didalamnya mencakup analisis dan sintesis, dan (5) penulisan sejarah atau historiografi.
Setelah menemukan topik yang menarik, maka dalam tahap selanjutnya dilakukan tahap heuristik, yaitu tahap mencari dan menemukan sumber, serta informasi. Pertama sekali dilakukan  studi kepustakaan dengan penelusuran informasi tentang karya tulis maupun penelitian yang pernah dilakukan mengenai masjid Al-Wustho Pura Mangkunegaran.
Tahap kedua adalah verifikasi atau kritik, yaitu proses analisa dan klasifikasi sumber dan data. Tahap ketiga adalah tahapan penafsiran data atau interpretasi yang telah dikritik baik berupa analisis maupun sintesis,  kemudian dirangkaikan sedemikian rupa sehingga menjadi suatu kesatuan fakta yang  ilmiah, dan logis. Tahap keempat atau tahap terakhir adalah penulisan, yaitu tahapan penulisan dengan merangkaikan fakta sebagai hasil interpretasi pada tahap ketiga menjadi sebuah narasi dalam bentuk tulisan.

F.   Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan laporan hasil penelitain ini akan disusun sebagai berikut :
Bab pertama, Pendahuluan, yang meliputi latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian,  tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Pada bab kedua akan membahas gambaran umum masjid Al-Wustho, yang pembahasannya meliputi: lokasi geografis, sejarah singkat, arsitektur bangunan, dan tata ruang.
Pada bab ketiga akan diuraikan deskripsi inskripsi Masjid Al-Wustho yang terdiri dari inskripsi pada gapura dan markis, inskripsi pada jendela, inskripsi pada kaca dalam jendela, dan inskripsi pada soko guru.
Pada bab keempat pembahasannya pada kritik dan interpretasi teks yang meliputi antara lain: kritik teks, analisis fungsi penempatan inskripsi, fungsi kaligrafi pada inskripsi masjid, yaitu sebagai media ibadah dan dakwah, sarana kreatifitas seni dan penghias, dan media komunikasi.
Bab kelima adalah kesimpulan.


BAB II
GAMBARAN UMUM MASJID AL-WUSTHO
PURA MANGKUNEGARA SURAKARTA

A.  Lokasi Geografis
Masjid Al-Wustho Pura Mangkunegara terletak di kota Surakarta, yang lokasi geografisnya  adalah pada 110 45’15-110 45’35” BT –7 36’00”-7 56’00” LS, dengan batas utara Pemkot Karanganyar dan Pemkot Boyolali, sebelah timur Pemkot Sukoharjo dan Pemkot Karanganyar, sebelah selatan Pemkot Sukoharjo, dan sebelah barat Pemkot Sukoharjo dan Karanganyar. Sedangkan posisi masjid secara geografis pada 110 º 49’ 17” BT dan 7º 33’ 55” LS[2]. Posisi masjid berada di sebelah barat  kompleks istana/Pura Mangkunegaran Surakarta yang dipisahkan dengan jalan R.A. Kartini,  di sisi utaranya bersebelah dengan Sekolah Dasar Muhammadiyah 1 Surakarta, sedangkan di sebelah barat masjid merupakan pemukiman penduduk yang cukup padat.
Sebelumnya masjid Al-Wustho terletak di wilayah Kauman, Pasar Legi, namun pada masa Adipati Mangkunagara II dipindah ke wilayah Banjarsari dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat kepada Pura Mangkunagaran.

B.   Sejarah Singkat Masjid Al-Wustho
Pendirian masjid Mangkunegaran diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara I di Kadipaten Mangkunegaran sebagai masjid Lambang Panotogomo. Sebelumnya masjid ini terletak diwilayah Kauman, Pasar Legi, namun pada masa Mangkunegara II dipindah ke wilayah Banjarsari dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat dengan Puro Mangkunegaran. Mesjid Al Wustho Mangkunegaran dipugar besar-besaran oleh Paduka Pangeran Adipati Mangkunegaran VII, sekaligus menambahkan bangunan menara setinggi 25 meter pada tahun 1926. Menara tersebut pada awalnya digunakan untuk mengumandangkan azan ke empat penjuru dengan menggunakan empat orang muadzin.
Bangunan mesjid dirancang oleh Ir. Herman Thomas dan didirikan pada tahun 1878-1918. Maka, walaupun arsitektur berbentuk bangunan Jawa tetapi terdapat banyak pengaruh gaya kolonial. Gapura halaman masjid dibuat tahun 1917-1918, dengan dinding berhiaskan relief kaligrafi huruf Arab. Pengelolaan masjid dilakukan oleh para abdi dalem Pura Mangkunegaran, sehingga status masjid merupakan Masjid Puro Mangkunegaran. Luas masjid sekitar 4200 m² dengan batas pagar tembok keliling sebagian besar dimuka berbentuk lengkungan. Pemberian nama Al-wustho pada masjid Mangkunegaran pada tahun 1949 diberikan oleh Bopo Panghulu Puro Mangkunegaran Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi.
Pengelolaan masjid pada mulanya langsung di bawah Keraton Mangkunegara. Para pengurusnya diangkat oleh raja sehingga semua pegawai ta’mir masjid merupakan abdi dalem Keraton Mangkunegara. Kondisi pengelolaan seperti ini terjadi dari mulai awal berdiri pada zaman penjajahan Belanda, hingga Jepang mengambil alih Belanda, hingga masa kemerdekaan RI pada 1945.
Pasca Kemerdekaan ada perubahan situasi kenegaraan, dengan berdirinya Indonesia sebagai negara yang merdeka, membawa perubahan lain dalam pengelolaan dan status masjid. Melalui Putusan Menteri Dalam Negeri nomor E/23/6/7 tanggal 14 September 1948 Pengelolaan masjid diserahkan kepada Kementerian Agama RI, yang kemudian diperkuat dengan surat nomor: 50/2/7, tanggal 12 April 1952. Dalam putusan itu disebutkan antara lain bahwa masjid Al-Wustho akan diurus dan dipelihara oleh Kementerian Agama dengan mengikut sertakan eksponen masyarakat.
Konsekeunsi dari adanya putusan tersebut maka seluruh biaya pemeliharaan dan operasional masjid Al-Wustho dibebankan kepada anggaran Kementerian Agama. Akan tetapi sejak tahun 1974 Departemen Agama menghentikan semua bantuan biaya rutin tersebut dengan keluarnya surat edaran yang dikeluarkan oleh Direktorat Urais nomor: 117/BKMP/1974 tanggal 20 Desember 1974. Hal itu tidak saja berlaku bagi masjid Al-Wustho tetapi juga pada empat masjid yang ada di Kotamadya Surakarta. Sejak saat itu pengurus harus mencari sendiri dana untuk biaya operasional masjid Al-Wustho tanpa bantuan dari Departemen Agama, meskipun pengangkatan pengurusnya disahkan melalui surat keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah tersebut.  

C.   Arsitektur Bangunan
Walaupun bangunan masjid Al-Wustho berarsitektur Jawa tetapi terdapat banyak pengaruh gaya kolonial. Masjid ini merupakan masjid yang cukup unik karena terdapat hiasan kaligrafi Al-Qur’an di berbagai tempat, seperti pada pintu gerbang, pada markis/kuncungan, soko dan Maligin. Menara masjid Al-Wustho dibangun tahun 1926 pada masa Mangkunegaran VII. Dipergunakan untuk mengumandangkan adzan, Pada saat itu dibutuhkan 3-4 orang muadzin untuk adzan bersama-sama dalam menara ke 4 arah yang berbeda.
Luas komplek masjid Al-Wustho seluruhnya ada 400m2, dipisahkan dari daerah sekelilingnya dengan tembok keliling bagian belakang (barat) setinggi 3 meter.  Bagian halaman depan (timur) berbentuk lengkung menyerupai gunungan atau kubah dengan tinggi 3 meter. Gapura bagian depan juga berbentuk lengkung yang harmonis dengan bentuk pagar di kiri dan kanannya. Salah satu keunikan arsitektur masjid ini ada pada gapura tersebut yang dihiasi dengan kaligrafi Arab.
Dari bentuk arsitektur bangunan, hampir sama dengan bentuk bangunan masjid-masjid Jawa lainnya seperti masjid agung Demak, masjid Agung Keraton Yogyakarta, yang mengambil bentuk gaya arsitektur rumah Jawa dengan atap bangunan teras berbentuk limasan dan atap tumpang untuk bagian atap ruang utama, yang bersusun tiga. Bangunan tersebut mengandung makna filosofis Iman, Islam dan Ikhsan. Yang membedakannya dengan masjid lain adalah adanya markis atau kuncung yaitu semacam pintu utama menuju teras dengan tiga akses pintu masuk, yaitu di sisi kanan atau utara, sisi depan atau timur dan kiri atau selatan, yang pada masing-masing atasnya dihiasi dengan kaligrafi.

D.  Tata Ruang
Masjid Al-Wustho Pura Mangkunegaran terdiri dari:
1.      Serambi, berukuran Ukuran panjang 22 m lebar 11 m,  merupakan ruangan depan masjid dengan saka sebanyak 18 yang melambangkan umur Raden Mas Said (Mangkunagara I) ketika keluar dari Keraton Kasunanan Surakarta untuk dinobatkan sebagai Adipati Mangkunagaran. Di serambi terdapat bedug yang bernama Kanjeng Kyai Danaswara dan sebuah kentongan yang berbahan kayu jati yang cukup besar.
2.      Ruang Sholat Utama, dengan ukuran panjang 24 m dan lebar 22 m, merupakan ruang dalam dengan 4 soko guru dan 12 penyangga pembantu yang berhias huruf kaligrafi Al Quran. Dalam ruang utama ada mihrab dengan bingkai kayu berukir, sedang sebelah kanan atau utara mihrab ada sebuah mimbar dengan ukiran khas mataraman. Di bagian depan kaki mimbar yang menghadap ke timur terdapat figur dua ekor singa yang bagian kepalanya sudah hilang karena dipotong secara sengaja dengan gergaji. Hal ini dilakukan karena alasan agama yang melarang adanya patung di dalam masjid dan karena adanya keberatan dari beberapa orang jamaah.
3.      Maligin, bangunan ini terletak  di sebelah selatan  serambi berupa bangunan kecil membundar yang dibangun atas prakarsa Adipati Mangkunagara V, digunakan untuk melaksanakan khitanan bagi putra kerabat Mangkunagaran. Sejak pemerintahan Mangkunagara VII Maligin diperkenankan untuk digunakan oleh Muhammadiyah sebagai tempat khitanan masyarakat umum. 
4.      Pawasteren, merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk tempat sholat khusus wanita, bangunan ini menempel dengan ruang utama di sebelah selatan. Sebelum ada bangunan ini ada sekat pemisah untuk jamaah laki-laki dan perempuan yang ditempatkan di ruang utama. 
5.      Menara, dibangun tahun 1926 pada masa Mangkunagara VII. Digunakan untuk menyuarakan adzan. Pada saat itu dibutuhkan 3-4 orang muadzin untuk adzan bersama-sama dalam menara ke 4 arah yang berbeda. 
6.      Markis/Kuncungan, dengan ukuran luas 25 m2 berbentuk bujur sangkar dengan lengkungan tembok menyerupai kubah atau gunungan, tempat ini adalah akses utama menuju masjid, yang merupakan batas akhir  bagi kalangan non muslim yang tidak diperkenankan masuk lebih dalam  ke masjid.
7.      Gerbang atau Gapura, gapura berasal dari kata Ghafara yang artinya ampunan. Ada dua buah di sebelah timur yang lebih besar dan di bagian utara lebih kecil tanpa hiasan kaligrafi merupakan jalan pintas bagi penduduk di sekitar masjid.
http://mulyadi.staff.uns.ac.id/files/2010/06/denah-alwustho-300x299.png
Gambar 2.1
Denah Masjid Al-Wustho Pura Mangkunegara

BAB III
DESKRIPSI INSKRIPSI PADA MASJD AL-WUSTHO PURA MANGKUNEGARA

Inskripsi pada masjid Al Wustho berjumlah sekitar 41 buah yang terdiri atas 2 isnkripsi pada gapura (luar dan dalam), 3 inskripsi pada markis/kuncungan (depan, sisi kanan dan sisi kiri), 10 inskripsi pada jendela teras, 9 inskripsi pada pintu, 16 inskripsi pada soko guru di dalam ruang sholat, ditambah 1 inskripsi pada mihrab yang merupakan replica inskripsi pada gapura luar.

A. GAPURA


Gapura Depan
(Masuk)
Atas:
َاْلاِسْلامُ يَعْلَى وَلا يُعْلَى عَلَيْهِ
 (Agama Islam tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya)
Bawah:
أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ و أَشْهَدُ َأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
 (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)

IMG_1126







Gapura Depan
(Keluar)
Atas:
مِفْتَاحُ الصَّلاَةِ اَلطُّهُوْرُ  اَلطُّهُوْرُ نِصْفُ اْلِايْمَانِ
 (Kunci shalat adalah bersuci * Bersuci adalah sebagian dari Iman)
Bawah:
مَثَلُ الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ نَهَرٍ عَل يْ عَلَى بَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ فَمَا بَقِيَ مِنْ ذَالِكَ الدَّنًسُ
(Perumpamaan shalat lima waktu ibarat sungai yang mengalir di pintu salah seorang kamu apabila ia mandi lima kali setiap hari maka tidak akan ada sisa kotoran)

B. MARKIZ


IMG_1113
 






  Bagian Depan

Atas:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
 (Sesungguhnya shalat diwajibkan atas orang yang beriman pada waktu yang ditetapkan)
Bawah:
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
 (Shalat berjama’ah itu lebih baik dari shalat sendiri 27 derajat)
IMG_1114





Bagian Kanan

Atas:
فَبَشِّرْ عِبَاديَ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
 (Maka beri kabar gembiralah hambaku yang mendengarkan perkataan mereka mengikutinya dan berbuat baik)
Bawah:
مَنْ تَرَكَ الْجُمُعَةَ ثَلاَثًا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ كُتِبَ مُنَافِقًا
 (Barangsiapa yang meninggalkan jum`at tiga kali maka ia dicatat sebagai orang yang munafik)
IMG_1115





Bagian Kiri

Atas:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
 (Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah, taatlah kepada Rasul dan para pemimpin di antara kamu)
Bawah:
حِفْظُ دِيْنٍ ثُمَّ نَفْسِ مَالٍ نَسَبٍ وَ مِثْلُهَا عَقْلٍ عَرْضٍ قَدْ وَجَبَ
 (Menjaga agama, kemudian jiwa, harta dan demikian juga aqal, kehormatan adalah wajib)


BAB IV
KRITIK DAN INTERPRETASI TEKS INSKRIPSI
PADA MASJID AL-WUSTHO PURA MANGKUNEGARA

A.    Kritik Teks
Kritik teks ini bertujuan untuk mengkritisi teks (nas) yang terdapat pada inskripsi gapura dan markis dilihat dari aspek kebahasaan dan seni kaligrafi. Kedua aspek ini dilakukan karena inskripsi yang ada menggunakan teks berbahasa Arab dan seni kaligrafi Islam.

Gambar 3.1
Gapura Depan/Luar Masjid al-Wustho Pura Mangkunegara

 Aspek Kebahasaan
Pada kata “al-Isla>m”, terdapat perbedaan dari kaedah imla>iyyah dimana teks inskripsi dalam penulisan alif  setelah la>m sebelum si>n tidak menggunakan hamzah, pada secara kaedah harus menggunakan hamzah. Kemudian pada tanda baca huruf la>m yang terdapat setelah si>n sebelum alif  menggunakan tanda baca (h}arakat) fath}ah tegak, padahal secara kaedah adalah menggunakan h}arakat fath}ah miring.
Kemudian pada kata “wala> yu’la>”, juga terdapat perbedaan penggunaan tanda baca, dimana pada teks inskripsi pada tanda baca huruf la>m yang terdapat setelah waw dan sebelum ya>’ menggunakan h}arakat fath}ah tegak, namun secara kaedah imla>iyyah adalah menggunakan h}arakat fath}ah miring.
Kemudian pada kata “asyhadu” yang pertama, pada teks inskripsi gapura depan bawah juga terdapat perbedaan dengan kaedah imla>iyyah dimana tertulis pada alif awal dan tidak terdapat hamzah di atas alif  padahal secara kaedah bahwa hamzah qatha’ harus tertuliskan secara jelas tidak bisa hanya dengan menuliskan alif dan harakat, sebagaimana yang terdapat pada teks inskripsi. Hal perbedaan yang sama juga terdapat pada kata “an setelah kata “asyhadu” dimana teks inskripsi dalam menuliskan hamzah qatha’ tidak menggunakan hamzah di atas alif, kecuali hanya dengan menulis alif dan harakat fathah. Begitu pula yang terdapat pada kata “asyhadu” dan “an” kedua yang terdapat syahadah kepada Nabi Muhammad saw.
Selain itu, perbedaan antara teks inskripsi dengan kaedah imal>iyyah juga terdapat pada kata “la>” yang terdapat setelah kata “asyhadu” yang pertama dan sebelum kata “ila>ha” dimana teks inskripsi tertulis tanda baca la>m dengan menggunakan h}arakat fath}ah tegak, padahal secara kaedah menggunakan fath}ah miring.
Aspek Kaligrafi
Teks inskripsi pada gapura depan/luar, sebagaimana yang terdapat pada gambar 3.1 di atas, menunjukkan bahwa penulis ingin menulis teks dengan menggunakan kaligrafi dengan jenis khat} s\ulus\i>, dengan ragam dekorasi. Namun, jika diperhatiksn dari sisi kaedah kaligrafi Islam, terlihat bahwa inskripsi ini hanyalah menyerupai khat} s\ulus\i> namun tidak sesuai dari aspek kaedah yang ada. Hal tersebut dapat ditelusuri dari karaker huruf yang ditampilkan, seperti waw, ha>’, mi>m, da>l, dan lam yang berbeda, bahkan pada da>l dan la>m dapat tertukar bentuk karakter hurufnya.
Gambar 3.2
Gapura Depan/Dalam Masjid al-Wustho Pura Mangkunegara

Aspek Kebahasaan
Pada kata “mifta>h}”, terdapat perbedaan dari kaedah imla>iyyah dimana teks inskripsi dalam penulisan tanda baca inskripsi menggunakan (h}arakat) fath}ah tegak, padahal secara kaedah adalah menggunakan h}arakat fath}ah miring.
Kemudian pada kata “al-I<ma>n”, juga terdapat perbedaan dengan kaedah imla>iyyah dimana tertulis pada alif yang terdapat setelah huruf la>m dan sebelum ya>’ tidak terdapat hamzah di bawah alif  padahal secara kaedah bahwa hamzah qatha’ harus tertuliskan secara jelas tidak bisa hanya dengan menuliskan alif dan harakat, sebagaimana yang terdapat pada teks inskripsi.
Kemudian juga terdapat perbedaan penggunaan tanda baca, dimana pada teks inskripsi pada tanda baca huruf mi>m yang terdapat setelah ya>’ dan sebelum alif menggunakan h}arakat fath}ah tegak, namun secara kaedah imla>iyyah adalah menggunakan h}arakat fath}ah miring.
Kemudian pada teks inskripsi bagian bawah tidak ada kejelasan redaksi teks pada kata setelah “nahr” dan sebelum “’ala>”, berdasarkan hasil penelusuran peneliti dengan bantuan maktabah sya>milah bahwa ada banyak redaksi yang variatif yang menambahkan kata “ja>r” dan “ja>r gamr” serta “ja>r ‘az}b, bahkan d dalam kanz al-‘amal juz 7 halaman 310, sama sekali tidak menggunakan tambahan kata apa pun di antaranya.

Aspek Kaligrafi
Teks inskripsi pada gapura depan/dalam, sebagaimana yang terdapat pada gambar 3.2 di atas, menunjukkan bahwa penulis ingin menulis teks dengan menggunakan kaligrafi dengan jenis khat} s\ulus\i>, dengan ragam dekorasi. Namun, jika diperhatiksn dari sisi kaedah kaligrafi Islam, terlihat bahwa inskripsi ini hanyalah menyerupai khat} s\ulus\i> namun tidak sesuai dari aspek kaedah yang ada. Terlebih jika diperhatikan secara seksama dari sisi karakter huruf dan simetrisnya dengan kaedah yang berlaku. Untuk penulisan huruf ra> saja ditulis secara tidak semetris kecuali yang dilakukan adalah menyesuaikan bingkai dekorasi yang diinginkan dari gapura.
Gambar 3.3
Markis Depan Masjid al-Wustho Pura Mangkunegara
Aspek Kebahasaan
Untuk markis depan masjid al-Wustho, sebagaimana tampak pada gambar 3.3 di atas, perbedaan hanya terdapat pada penulisan kata “’isyri>na” dimana perbedaan dimaksud ada pada penulisan huruf syi<n dan ra>’ yang mana kedua huruf tersebut lekuk (gigi) melebihi dari kaedah imla>iyyah yang berlalu.

Aspek Kaligrafi
Apa yang terdapat pada kritik pada gambar 3.1, 3.2 sebelumnya, adalah tidak berbeda jauh dengan kritik peneliti untuk inskripsi 3.3 ini. Dimana teks inskripsi pada markis depan, menunjukkan bahwa penulis ingin menulis teks dengan menggunakan kaligrafi dengan jenis khat} s\ulus\i>, dengan ragam dekorasi. Namun, jika diperhatiksn dari sisi kaedah kaligrafi Islam, terlihat bahwa inskripsi ini hanyalah menyerupai khat} s\ulus\i> namun tidak sesuai dari aspek kaedah yang ada. Hal tersebut dapat ditelusuri dari karaker huruf yang ditampilkan yang tidak simetris dalam penempatan huruf-huruf yang ada.
Gambar 3.4
Markis Kanan Masjid al-Wustho Pura Mangkunegara
Aspek Kebahasaan
Pada kata “fabasysyir”, terdapat perbedaan dari kaedah imla>iyyah dimana teks inskripsi dalam penulisan huruf syi>n ditulis dengan karakter huruf yang berbeda, yaitu lekuk (gigi) huruf syi>n pada teks inskripsi ini (gambar 3.4) lebih banyak. Kemudian perbedaan juga dapat ditemukan pada penulisan teks inskripsi kata “’iba>diya” dimana secara kaedah imla>iyyah huruf ya>’ yang berharakatan ditulis dengan memberikan tanda dua titik dibawah, sementara pada teks inskripsi ini tidak diberi titik. Sementara pada teks inskripsi bagian bawah dari gambar 3.4 ini tidak terdapat perbedaan yang menonjol.

Aspek Kaligrafi
Teks inskripsi pada markis kanan, sebagaimana yang terdapat pada gambar 3.4 di atas, menunjukkan bahwa penulis ingin menulis teks dengan menggunakan kaligrafi dengan jenis khat} s\ulus\i>, dengan ragam dekorasi. Namun, jika diperhatiksn dari sisi kaedah kaligrafi Islam, terlihat bahwa inskripsi ini hanyalah menyerupai khat} s\ulus\i> namun tidak sesuai dari aspek kaedah yang ada. Terlebih jika diperhatikan secara seksama dari sisi karakter huruf dan simetrisnya dengan kaedah yang berlaku. Untuk penulisan huruf da>l misalnya ditulis dengan lekukan menajam, sementara secara kaedah khat s\ulus\i> dituli dengan lengkungan yang tidak menajam.
Gambar 3.5
Markis Kiri Masjid al-Wustho Pura Mangkunegara

Aspek Kebahasaan
Untuk markis kiri pada gambar 3.5 di atas, tidak ditemukan perbedaan yang menonjol, kecuali peneliti penemukan perbedaan redaksi teks (nas}s}) dimana umumnya sebagaimana hasil penelusuran peneliti pada kitab-kitab hadist yang termuat dalam maktabah stamilah, tertulis huruf ‘at}af  s\umma  atau wa, namun pada markis tidak terdapat ‘at}af sebagaimana terlihat pada gambar 3.5 di kata “ma>l dan nasab”.

Aspek Kaligrafi
Apa yang terdapat pada kritik pada gambar 3.1, 3.2, 3.3, 3.4 sebelumnya, adalah tidak berbeda jauh dengan kritik peneliti untuk inskripsi 3.5 ini. Dimana teks inskripsi pada markis kiri ini, menunjukkan bahwa penulis ingin menulis teks dengan menggunakan kaligrafi dengan jenis khat} s\ulus\i>, dengan ragam dekorasi. Namun, jika diperhatiksn dari sisi kaedah kaligrafi Islam, terlihat bahwa inskripsi ini hanyalah menyerupai khat} s\ulus\i> namun tidak sesuai dari aspek kaedah yang ada. Hal tersebut dapat ditelusuri dari karaker huruf yang ditampilkan yang tidak simetris dalam penempatan huruf-huruf yang ada.
Kemudian pada markis kiri masjid al-Wustho, sebagaimana tampak pada gambar 3.5 di atas, perbedaan hanya terdapat pada penulisan kata “di>n” dimana perbedaan dimaksud ada pada penulisan huruf da>l yang mana secara kaeda s\ulusi> tidak ditulis dengan huruf yang menajam pada sisinya, namun ditulis secara melengkung.

B.    Analisis Fungsi Penempatan Inskripsi
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa jumlah inskripsi pada masjid Al Wustho Pura Mangkunegara berjumlah 41 buah. Semua inskripsi tersebut telah dipaparkan satu persatu sebelumnya, namun tidak semua inskripsi tersebut akan dianalisis fungsi penempatan dan fungsi kaligrafisnya. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan data terutama hasil wawancara sehingga tidak bisa dijelaskan secara lebih detil hubungan antara inskripsi dan penempatannya pada ruang dan tempat tertentu.
Pada bagian ini hanya akan dipaparkan analisis atas dua inskripsi pada masjid Al Wustho, yaitu inskripsi pada gapura dan markis/kuncungan. Penempatan inskripsi pada tempat-tempat lain pada masjid Al Wustho agaknya lebih disebabkan oleh pertimbangan ketepatan dan dekoratif semata, tanpa ada penjelasan lebih lanjut tentang alasan simbolik penempatan inskripsi tersebut. Adapun makna numerikal yang bisa dijelaskan terkait dengan inskripsi pada empat soko guru bagian dalam masjid (ruang sholat utama) menunjukan makna yang bermacam-macam; pertama, bisa bermakna empat pilar hukum Islam, yaitu Al Qur’an, hadist, Ijma, dan Ijtihad; kedua, empat inskripsi pada soko guru menandakan iman, Islam, Ikhsan, dan Istiqomah; ketiga bisa bermakna empat madzhab dalam konsep aktualisasi fiqh Islam.[3] Selebihnya, penempatan inskripsi pada tempat-tempat tertentu dalam masjid agaknya merupakan pertimbangan dekoratif semata.

1. Fungsi Penempatan Inskripsi pada Gapura
          Inskripsi pada gapura luar masjid Al Wustho ada dua bagian, bagian atas bermakna “agama Islam itu tinggi dan tidak ada yang melebihi darinya”. sedangkan bagian bawah menunjukan kunci identitas keislaman seorang muslim berupa syahadat. Penempatan inskripsi pada gapura atau pintu gerbang masjid menegaskan identitas Islam yang ingin ditunjukan oleh masjid atau lebih tepatnya Pura mangkunegara. Masjid adalah penanda identitas masyarakat muslim. Identitas tersebut semakin kokoh dengan penegasan pada pintu masuk masjid yang menunjukan keluhuran dan ketinggian Islam. Begitu pula halnya syahadat merupakan penanda pertama identitas Islam.
            Identitas merupakan hal paling penting dalam kehidupan, baik identitas sosial, politik, ekonomi, budaya, maupun identitas religius. Identitas menunjukan eksistensi seseorang atau satu masyarakat. Islam menunjukan identitasnya lewat masjid dan inskripsi pada masjid Al Wustho (khususnya pada gerbang gapura depannya) agaknya hendak menegasan betapa tingginya identitas Islam tersebut. Inskripsi pada gapura masjid Al Wustho menunjukan posisi Islam yang luhur dan hal tersebut ditegaskan lagi melalui pengakuan akan Tuhan yang Esa dan pengakuan akan kerasulan Muhammad SAW. Memasuki pintu gerbang/gapura masjid Al Wustho artinya pengakuan akan ketinggian dan keluhuran Islam lewat pengakuan akan keesaan Tuhan dan kerasulan nabi Muhammad SAW.
            Dari segi bahasa, gapura juga berarti ghafura (pengampunan). Makna dari hal tersebut adalah bahwa siapa saja  yang memasuki gapura masjid artinya dia telah diampuni.[4] Penempatan inskripsi pada gapura masjid dan bagian-bagian inskripsi selanjutnya pada masjid Al Wustho menunjukan tahapan-tahapan (kontinuitas) yang diajarkan oleh Islam. Gapura adalah lorong masuk memasuki dunia atau situasi baru. Lorong atau gapura menunjukan identitas baru, menuju pada sesuatu yang baru yang diikuti oleh kewajiban baru dan akhirnya menuju pada status baru.[5] Dengan memasuki gapura masjid seseorang melakukan sebuah pengakuan akan keluhuran Islam dengan pengakuan akan keesaan Tuhan dan kerasulan nabi Muhammad. Tatkala pengakuan itu ada maka ia datang untuk diampuni (atau memohon ampunan).
            Makna penempatan inskripsi pada gapura dalam menunjukan kewajiban pertama dalam Fiqh Islam, yaitu thaharah (bersuci). Kesucian adalah sesuatu yang paling penting dalam Islam, baik suci lahir maupun batin. Dalam banyak kebudayaan dan agama, memasuki lorong/gerbang/gapura dituntut adanya keadaan yang suci. Kondisi suci (thaharah) adalah sebuah prasyarat untuk memasuki gapura menunju pada keislaman dengan ditegakannya sholat. Kesucian adalah keniscayaan dalam Islam, untuk memasuki tahap dan situasi baru dalam mengerjakan sholat, sehingga layak disebut sebagai orang Muslim.
Pengampunan (ghafuro) dan kesucian (thaharah) merupakan dua hal pertama yang harus dilakukan ketika seseorang akan memasuki masjid, sebab tanpa ketundukan dan kesucian seorang muslim tak dapat memasuki situasi dan kewajiban yang baru, yaitu mendirikan sholat.

2. Fungsi Penempatan Inskripsi pada Markis/Kuncungan       
          Markis  merupakan batas antara luar masjid dan bagian dalam masjid yang merupakan bangunan utama masjid Al Wustho. Bangunan markis ini juga merupakan batas antara muslim dan non muslim dalam memasuki areal masjid.[6]
            Dengan demikian dapat dikatakan bahwa markis merupakan batas atau pembeda antara yang sacral dan yang profane. Durkheim memahami sacred sebagai sesuatu yang suci, keramat, terlindung dari pelanggaran, dijaga kesucianya dari pencemaran, dosa, dan kekotoran (polluted). Sedangkan profan adalah keadaan yang biasa-biasa saja. Dua hal sacral dan profane adalah sesuatu yang berbeda dan tak bisa dicampuradukan[7].
Bagian yang sakral adalah dalam bagian utama masjid, yaitu tempat sholat, sedangkan bagian yang profane adalah bagian luar dari masjid. Hal ini menandakan bahwa Masjid adalah bukan bangunan yang tertutup dan eksklusif. Siapapun yang memasuki masjid adalah sebuah pengakuan akan identitas keislaman dan keluhuran Islam, akan tetapi masjid juga memiliki identitas kokoh yang tak bisa dimasuki oleh sembarang orang (non-muslim), juga orang-orang yang tidak dalam keadaan suci.
            Ketika seseorang sudah memasuki markis/kuncungan maka itu menadakan ia sudah memasuki tempat yang sacral/yang utama/yang suci. Ia sudah memasuki status baru dalam keadaan suci untuk menunaikan kewajibanya mendirikan sholat sebagai salah satu bentuk ketundukan dan penghambaan kepada Allah SWT. Karena itulah, Inskripsi pada markis depan menegaskan akan kewajiban shalat bagi siapa saja yang merasa diri sebagai orang Islam dan dalam keadaan suci. Pentingnya sholat terutama sholat jumat (bagi laki-laki) juga ditampilkan oleh inskripsi pada sisi kiri markis.
Disamping mengingatkan kewajiban sholat, isnkripsi lain lagi pada markis mengamanatkan keutamaan sholat berjamaah sejumlah 27 kali diabandingkan sholat sendiri. Seruan untuk sholat berjamaah menunjukan bagaimana Islam menempatkan kesatuan, kebersamaan dan komunitas atau sosial sebagai hal yang sangat penting.
            Inskripsi pada markis sisi kanan masji dmengamanatkan suatu kewajiban tidak hanya secara vertikal pada Allah SWT juga secara horizontal pada Rasul dan pemimpin (ulil amri). Inskripsi lain menunjukan lagi-lagi adalah kewajiban untuk menjaga identitas dan kehormatan diri sebagai orang Islam dengan cara menjaga agama, jiwa, harta, dan nama baik. Tiga inskripsi pada markis masjid agaknya mengamanat suatu kewajiban sebagai seorang muslim, ketika ia sudah memasuki lorong.gerbang.gapura yang mengubah statusnya dari keadaan tak suci, menjadi suci. Dan karena telah memasuki keadaan yang baru, situasi yang baru, situasi yang suci, maka ia dihadapkan pada kewajiban sebagai seorang muslim dengan status kesucinnya yang baru tersebut.
            Inskripsi yang ditunjukan oleh gapura dan markis pada masjid Al Wustho agaknya diharapkan tidak hanya diamanahkan pada lokal masjid sebagai simbol dan identitas islam, akan tetapi juga mengejewantah dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana inskripsi pada dua bagian masjid tersebut. Masjid dengan bagian kecil berupa inskripsinya adalah simbol-simbol religious yang coba ditorehkan para pembuat sejarah untuk menanamkan makna yang begitu dalam, tidak saja dalam lokus masjid, akan tetapi juga dalam pola kehidupan sehari-hari. Hal itu berarti bahwa identitas Islam yang begitu tinggi, kesucian, kewajiban dalam agama adalah hal-hal yang dipentingkan dalam kehidupan sebagai seorang muslim.

C.    Fungsi Kaligrafi pada Inskripsi Gapura dan Markis/Kuncungan
Inskripsi masjid dalm bentuk kaligrafi, sebagaimana jenis seni lainnya memiliki fungsi tertentu. Dalam hal ini menurut pandangan Sedyawati, kesenian memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan masyarakat, yaitu penyaluran daya cipta, penyaluran kebutuhan rasa keindahan, sarana pencarian nafkah, sarana pembentukan rasa solidaritas kelompok, dan lain-lain (Sedyawati dan Darmono, 1982:6).[8] Fungsi-fungsi seni tersebut kadangkala muncul secara serentak, tetapi kemungkinan hanya beberapa bagian saja yang muncul.
Dalam hubungannya dengan inskripsi pada masjid al-Wustho Pura Mangkunegara, khususnya pada gapura dan markis, paling tidak memiliki beberapa fungsi antara lain sebagai media ibadah dan dakwah, penyaluran kreatifitas seni dan penghias, dan media komunikasi.

1. Media Ibadah dan Dakwah
Inskripsi dalam bentuk kaligrafi tidak dapat dilepaskan dari nilai ibadah dan dakwah, karena setiap karya seni Islam selalu bertujuan untuk mengagungkan nama Allah. Hal ini seperti ditegaskan Akbar (1995:1-2),[9] bagi kaligrafer kegiatan menulis ayat-ayat Allah adalah dzikr Allah. Kegiatan ini mengandung pahala yang nilainya selalu diperoleh oleh para penulisnya secara terus-menerus.
Menurut Hossein Nashr, kaligrafi merupakan dasar dari seni yang tiada habis-habisnya serta tak pernah berhenti merangsang ingatan (dzikr) kepada Allah bagi mereka yang mampu merenungkannya.[10] Hal ini terlihat pula pada inskripsi gapura dan markis Masjid Al-Wustho Pura Mangkunegara yang bernuansa religius dan mengandung nilai-nilai ibadah. Bagi pembacanya, ia akan melafalkan bagian dari ayat al-Qur’an dan diberikan pahala oleh Allah. Bahkan, seseorang yang membaca dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik berupa kandungan ayat al-Qur’an maupun hadits tentu juga bernilai ibadah kepada Allah. Hal ini nampak pada beberapa teks yang mengajak untuk melaksanakan shalat fardhu tepat pada waktunya, keutamaan melaksanakan shalat berjama’ah, perintah untuk selalu “bersuci” dan dalam keadaan “suci” sebagai bagian dari iman, dan nilai-nilai ibadah lainnya.
Di samping sebagai media ibadah, inskripsi masjid berupa kaligrafi berfungsi pula sebagai media dakwah. Kaligrafi yang terdapat pada masjid biasanya berupa teks-teks perintah dan larangan yang dikutip dari Al-Qur’an dan Hadits, kalimat-kalimat berisi nasehat, ajakan, dan peringatan yang ditulis oleh para ulama yang ditujukan kepada pembaca. Fungsi dakwah ini nampak jelas pada kaligrafi yang terdapat pada gapura dan markis Masjid Al-Wustho yang banyak memberikan nasehat, ajakan, dan peringatan kepada pembaca (khususnya para jama’ah shalat) untuk meningkatkan keimanan, misalnya ajakan untuk melaksanakan perintah Allah, rasul-Nya, dan ulil amri, melaksanakan maqashid al-syari’ah sebagaimana yang digagas Imam Syatibi dalam al-Muwafaqat, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Fungsi Dakwah ini sebagaimana diungkapkan pula oleh Muhammad Thoha (sesepuh masjid) dalam wawancara yang dilakukan tim peneliti,[11] bahwa ketika seorang Muslim mulai masuk gapura masjid, ia akan menemukan makna teks untuk meninggikan agama Islam dan membaca kalimat syahadat. Teks-teks ini bermakna bahwa seorang Muslim memiliki derajat yang tinggi, karena itu harus selalu menjunjung tinggi kalimat Allah. Kemudian pada saat meninggalkan masjid, seorang Muslim diingatkan untuk memperhatikan pentingnya bersuci sebagai kunci shalat. Bahkan dipertegas dengan teks di bawahnya pada gapura bahwa perumpamaan shalat fardhu sebagaimana ibarat sungai yang mengalir di pintu, sehingga seorang Muslim selalu hidup dalam keadaan suci.
Makna dakwah dapat ditemui pula pada markis masjid. Pada markis tersebut menunjukkan perintah shalat fardhu tepat pada waktunya dan diutamakan shalat berjama’ah (sisi depan), perintah dakwah untuk memberikan kabar gembira bagi siapa saja yang melaksanakan perbuatan baik dan mengikutinya, dan ancaman sebagai “munafiq” bagi Muslim yang meninggalkan shalat Jum’at sebanyak tiga kali secara berurut, kecuali alasan darurat (sisi kanan), serta perintah menta’ati Allah, Rasul-Nya dan ulil amri yang disertai untuk melaksanakan syari’at sesuai dengan tujuan-tujuannya (maqashid al-syari’ah) (sisi kiri).
Pada markis ini pula, inskripsi tersebut memiliki makna politik yang menempatkan non-Muslim (ketika bertamu) pada bagian kiri markis dan dilarang untuk memasuki masjid. [12] Secara tersirat, bermakna pula mengajak non-Muslim untuk memeluk agama Islam dengan memberikan “kabar gembira”, misalnya dalam bentuk penjelasan tentang kebenaran agama Islam, ukhuwah Islamiyah, dan sebagainya.

2. Sarana Kreativitas Seni dan Fungsi Penghias
Inskripsi berupa kaligrafi pada masjid Al-Wustho, khususnya pada bagian gapura dan markis merupakan sarana penyalur kreatifitas seni dari penulisnya. Dalam hal ini, penulis kaligrafi masjid Al-Wustho, yaitu Penghulu Pura Mangkunegara Raden Tumenggung K.H. Imam Rosyidi. Kreatifitas dari K.H. Imam Rosyidi ini telah menunjukkan adanya paduan seni kaligrafi Islam dengan unsur-unsur seni lokal, sehingga muncul karya kaligrafi beridentitas Mangkunegara.
Pola hias tradisional yang sudah berkembang sebelumnya di Mangkunegara dikonstruk sedemikian rupa sehingga menghasilkan karya kaligrafis yang indah tanpa menghilangkan karakter tulisannya. Hal ini semakin harmonis dan nampak seimbang dengan bentuk kuncup pada gapura dan markis masjid, suatu nilai seni yang indah dan berdampak pada jiwa seseorang yang meresapi ketika melihatnya.
Fungsi lainnya adalah sebagai penghias masjid secara umum. Ketika seseorang melewati gapura dan markis masjid Al-Wustho dengan nilai estetika dan esotorisnya akan menilai keindahan masjid dan merasakan kedamaian untuk beribadah didalamnya. Masjid semakin indah dengan arsitektur yang khas dengan bentuk gapura dan markis yang dihiasi dengan tulisan-tulisan kaligrafi.

3. Media Komunikasi
Dalam berkomunikasi seseorang menyampaikan pesan tidak hanya melalui lisan melainkan pula melalui tulisan, apalagi tulisan yang indah dalam bentuk kaligrafi. Inskripsi yang berupa kaligrafi pada gapura dan markis masjid dapat dijadikan sebagai media komunikasi, yaitu sebagai alat untuk menyampaikan maksud tertentu, termasuk didalamnya komunikasi politik.
Masjid Al-Wustho Pura Mangkunegara merupakan simbol “panatagama” (penjaga dan pelaksana ajaran agama).[13] Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Thoha tersirat makna komunikasi politik saat itu terkait dengan peran dan eksistensi sultan dengan para abdi dalem mapun masyarakat secara umum. Khusus pelaksanaan shalat Jum’at, biasanya Sultan menangani langsung para abdi dalem dengan “mengabsen” mereka pada saat pelaksanaan shalat Jum’at. Bagi abdi dalem yang tidak melaksanakan shalat Jum’at, akan diberikan sanksi sampai dengan pemecatan.[14]
Makna komunikasi politik, misalnya terdapat pada teks sisi kiri markis tentang perintah mentaati Allah, Rasul-Nya, dan ulil amri (sultan). Pada bagian bawah, tertulis pula tentang pentingnya menegakkan maqashid al-syari’ah. Paling tidak, teks-teks tersebut dapat meneguhkan otoritas sultan sebagai institusi “panatagama”, sekaligus pelaksanaan dari peran keagamaan tersebut.

BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.  Inskripsi pada masjid Al-Wustho Pura Mangkunegara berjumlah 41 buah  yang menunjukkan penegasan akan identitas seni kaligrafi Mangkunegara sebagai hasil akulturasi antara kaligrafi Islam dengan budaya lokal (Jawa).  Isi inskripsi dalam bentuk teks-teks Al-Qur’an dan Hadits yang berupa perintah, larangan, dan pesan-pesan religius lainnya yang bernilai ibadah.
2.  Fungsi inskripsi pada Masjid Al-Wustho mengamanatkan suatu makna yang sangat dalam terkait dengan identitas Islam dan fungsi masjid sebagai penanda identitas keislaman. Fungsi kaligrafi yang hendak ditunjukan oleh inskripsi pada masjid Al Wustho berupa fungsi sebagai media ibadah dan dakwah, sarana kreatifitas seni dan penghias, dan media komunikasi.
3.  Inskripsi yang terdapat pada masjid Al Wustho (khususnya pada gapura dan markis) tidak berhenti pada makna lokus masjid semata, akan tetapi adalah makna yang agaknya tidak saja  ingin ditanamkan dalam setiap sendi kehidupan masyarakat muslim pada saat masjid tersebut didirikan, akan tetapi juga dalam konteks masyarakat saat in; bahwa identitas dan ketinggian posisi Islam yang sangat menjunjung tinggi kesucian dan kewajiban agama adalah hal yang harus selalu diinskripsikan dalam setiap lini kehidupan.

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Ali, 1995, Kaidah Menulis dan Karya-karya Master Kaligrafi Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al-Mawardi, Abu Hasan Ali, 2005, Ahkam al-Sulthaniyah wa Wilayat al-Diniyah, Beirut: Dar al-Fikr.
Durkheim, Emile. 1992. Sejarah Agama; The Elementary Form of The Religious Life. New York free Press.
Hadi W.M., Abdul, 2000, Islam Cakrawala Estetik dan Budaya, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Makin, Nurul, 1995, Kapita Selekta Kaligrafi Islam, Jakarta: Panjimas.
Safadi, Yasin Hamid, 1986, Kaligrafi Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Schimmel, Annemarie, 1970, Islamic Calligraphy, Leiden: E.J. Brill.
Sedyawati, Edi dan Sapardi Djoko Darmono, 1982, Beberapa Masalah Perkembangan Kesenian Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: UI-Press.
Turner, Victor. 1967. The Forest of Symbols. New York: Cornell University Press.
Wiryoprawiro, Zin M., 1986, Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur, Surabaya: Bina Ilmu.


[1] Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Tiara Wacana, Yogyakarta 1994.
[2] Data geografis didapat dari www/googleerth.com.
[3] Berdasarkan wawancara dengan pak Thoha, pengurus Masjid al Wustho, tanggal 29 Oktober 2010.
[4] Wawancara dengan Pak Thoha, Pengurus Masjid Al Wustho, tanggal 29 Oktober 2010.
[5] Turner, 1967, The Forest Of Symbol. New York: Cornell University Press.
[6] Wawancara dengan Pak Thoha, Pengurus Masjid Al Wustho, tanggal 29 Oktober 2010.

[7] Durkheim, Emile, Sejarah Agama; The Elementary of The Religious Life, New York: Free Press.
[8] Sedyawati dan Darmono, Beberapa Masalah Perkembangan Kesenian Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: UI-Press 1982, hlm. 6.
[9] Ali Akbar, Kaidah Menulis dan Karya-karya Master Kaligrafi Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1995, hlm. 1-2.
[10] Lihat lebih lanjut Abdul Hadi W.M., Islam Cakrawala Estetik dan Budaya, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000.
[11] Wawancara Tim Peneliti dengan sesepuh Masjid Al-Wustho, Muhammad Thoha, pada hari Selasa, 26 Oktober 2010.
[12] Wawancara Tim Peneliti dengan sesepuh Masjid Al-Wustho, Muhammad Thoha, pada hari Selasa, 26 Oktober 2010.
[13] Lihat misalnya karya Abu Hasan Ali Al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah wa Wilayat al-Diniyah, Beirut: Dar al-Fikr, 2005. Al-Mawardi mengemukakan bahwa tugas utama seorang khalifah adalah “li hirasat al-din wa siyasat ad-dunya” (untuk memelihara ajaran agama dan mengatur dunia). Hal ini nampak pula dalam tradisi politik Jawa-Islam yang telah memadukan konsep Islam dengan kultur Jawa (penguasa sebagai titisan dewa), bahwa seorang penguasa adalah khalifah Allah di muka bumi yang salah satu tugasnya berupa memelihara ajaran agama.
[14] Wawancara Tim Peneliti dengan sesepuh Masjid Al-Wustho, Muhammad Thoha, pada hari Selasa, 26 Oktober 2010.