INSKRIPSI
MASJID AL-WUSTHO PURA MANGKUNEGARA SOLO
Tim Peneliti:
Aan
Jaelani, dkk.
Puslitbang
Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat
Kementerian
Agama RI 2010
ABSTRACT
In order to
preaching and moral guidance, the mosque became the main means of the
ever-present in society. Not only in schools but in every town planning and the
central government in Java to build a mosque as a center of civilization.
Similarly, in the history of the Mataram kingdom in Surakarta, in every palace
is always accompanied with a mosque. In the palace there is a mosque Supreme
Kasunanan Surakarta Surakarta (1757 AD), was in the Palace Mangkunegaran there
is a mosque of Al-Wustho (1878-1918 AD). One of the mosque is quite important
to investigate is the Mosque of Al-Wustho Pura Mangkunegara. Masjid Al-Wustho
is filled with an inscription as decoration in the form of calligraphy that
meets almost all parts of the mosque building.
This study
uses historical research approach with five stages, namely the selection of
topics, gathering resources or heuristics, verification or historical criticism
aimed at processing the validity of sources, interpretation, in which includes
the analysis and synthesis, and writing of history or historiography.
The conclusion
of this study that the inscription on the mosque of Al-Wustho Pura Mangkunegara
indicate the identity art of calligraphy as a result of acculturation between
Islamic calligraphy with local cultural (Javanese). The contents of the
inscription in the form of texts of the Qur'an and Hadith in the form of
commands, prohibitions, and other religious messages are worth worship. The
function of the inscription on the Masjid Al-Wustho have meaning the identity
of Islam, while the functions of calligraphy as a medium of worship and
preaching, a means of artistic creativity and trimmer, and media communication.
Widely even has deep meaning since the mosque was built up in the future, namely
the meaning of Islamic identity and altitude position highly upholds the
sanctity and religious obligations that are inscripted in every aspect of life.
Key words: inskripsi
masjid, masjid al-Wustho Mangkunegaran, kaligrafi
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam sejarah Islam, peristiwa hijrah Nabi Muhammad
saw mempunyai posisi yang sangat penting. Banyak cendekiawan menafsirkan
peristiwa tersebut dari berbagai aspek, baik itu aspek politik sebagai awal
kelahiran negara Islam, hukum sebagai awal pembentukan hukum, maupun sosial
sebagai awal terbentuknya masyarakat Islam. Dari sisi sejarah, peristiwa
tersebut diabadikan oleh sahabat Nabi, Umar bin Khatab sebagai nama tahun Islam,
yaitu Hijriah. Ada
sebuah peristiwa penting pada saat hijrah nabi
yang mungkin luput dari perhatian banyak orang. Sesampai nabi Muhammad saw di Madinah yang
mula sekali beliau lakukan adalah membangun sebuah “masjid”, bukan kantor,
bukan rumah, apalagi istana. Meskipun beliau juga bertempat tinggal di
dalamnya, namun semua umat Islam tidak pernah menyebut bangunan itu sebagai
rumah tinggal pribadi.
Dalam bangunan tersebut yang kemudian dinamakan
dengan “Masjid Nabawi”, semua aktifitas keagamaan umat Islam di Madinah
dipusatkan, bukan hanya sekedar tempat sholat, tetapi juga sebagai tempat para
sahabat dan umat muslim lainnya bertanya tentang berbagai macam hal, bahkan
terkadang hingga urusan strategi peperangan di bicarakan dalam bangunan
tersebut.
Dalam penyebaran Islam ke Indonesia khususnya ke
tanah Jawa, ada pola yang hampir sama dilakukan oleh para penyebarnya Wali
Sanga, yaitu dengan mendirikan masjid Agung Demak yang didirikan pada abad ke
15 (1466 M/ 887H) berdasarkan Candra
Sengkala Lawang Bledeg, yang berbunyi “Nogo Mulat Saliro Wani, bermakna
tahun 1388 Saka atau 1466 M, atau 887 H. Banyak
masyarakat meyakini masjid ini menjadi tempat bermusyawarah Wali Sanga dalam
merumuskan langkah dan strategi dakwah penyebaran Islam di tanah Jawa.
Tidak mengherankan jika dalam rangka dakwah dan
pembinaan akhaq umat, masjid menjadi sarana utama yang selalu harus ada. Tidak
hanya di pesantren tetapi di setiap perencanaan tata kota dan pusat pemerintahan di Jawa membangun
masjid seakan menjadi suatu keharusan. Begitu pula dalam sejarah kerajaan
Mataram di Surakarta, di setiap keraton selalu didampingi dengan masjid. Di
keraton Kasunanan Surakarta
ada masjid Agung Surakarta (1757M), sedang di Keraton Mangkunegaran ada masjid
Al-Wustho (1878-1918 M). Kedua masjid ini mempunyai arti yang penting bagi Umat
Islam di Surakarta sejak dari awal berdirinya. Keduanya juga bisa diartikan
sebagai simbol perhatian penguasa kepada agama terkait dengan gelaran sultan
dengan Panotogomo yang artinya piñata agama (piñata agama).
Salah satu masjid yang menarik perhatian kami untuk
diteliti adalah Masjid Al-Wustho Pura Mangkunegara. Sama halnya dengan masjid
Agung Suarakarta, masjid Al-Wustho dipenuhi dengan inskripsi sebagai ragam hias
berupa kaligrafi yang memenuhi hampir seluruh bagian bangunan masjid. Pada
kesempatan ini titik fokus penelitian kami lebih pada inskripsi tersebut.
B. Perumusan
Masalah
Mengingat adanya
berbagai keterbatasan teknis, maka penelitian ini akan kami batasi pada
beberapa hal tertentu saja, antara lain; penelitian hanya akan dilakukan di kota Surakarta,
obyek penelitiannya adalah masjid Al-Wustho di Pura Mangkunegara. Secara lebih
khusus lagi kami hanya akan membatasi obyek kajiannya pada inskripsi saja,
tidak pada hal-hal lain di luar hal tersebut.
Penelitian ini hendak
mengekplorasi inskripsi yang menghiasi bangunan majid Al-Wustho, untuk itulah
pertanyaan penelitian yang akan di jawab dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1.
Bagaimanakah
isi inskripsi pada masjid Al-Wustho?
2.
Bagaimanakah
kritik teks pada masjid Al Wustho?
3.
Bagaimnakah
fungsi penempatan dan fungsi kaligrafi pada inskripsi masjid Al Wustho?
C. Tujuan
Penelitian
Berdasarkan pada pertanyaan penelitian tersebut di
atas maka tujuan penelitian ini hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
yaitu:
1.
Untuk
mengetahui bagaimanakah isi inskripsi pada masjid Al-Wustho
2.
Untuk
memberikan kritik teks atas isi inskripsi pada masjid Al Wustho
3.
Untuk
mengetahui fungsi penempatan dan fungsi kaligrafi pada inskripsi masjid Al
Wustho.
D. Tinjauan
Pustaka
Dari penelusuran yang
telah dilakukan ada beberapa karya tulis dan penelitian yang pernah ada tentang
masjid Al-Wustho Pura Mangkunegaran, antara lain:
Pertama,
penelitian yang dilakukan oleh Lilik Budi Santoso dari Fakultas Teknik Jurusan
Arsitektur Universitas Muhammadiyah Surakarta pada tahun 2008, sebagai bahan
penulisan skripsi S1, dengan judul “Karakteristik
Bentuk Masjid Kerajaan Di Surakarta Kasus : Masjid Agung Surakarta Dan Masjid
Al-Wustho Mangkunegaran”. Penelitian tersebut menitik beratkan pada aspek
arsitektur dari sisi bentuk bangunan pada dua masjid yaitu masjid Agung dan
Al-Wustho, tidak secara khusus menyoroti inskripsinya.
Kedua, Penelitian yang dilakukan oleh Nur Rahmawati
Syamsiyah yang kemudian dipublikasikan dalam jurnal “Jurnal Teknik Gelagar”,
Vol. 18, No. 01, April 2007, Fakultas Teknik UMS Surakarta, dengan judul
“Transformasi Fungsi Mihrab Dalam Arsitektur Masjid Studi Kasus: Masjid-Masjid
Jami’ Di Surakarta”. Penelitian tersebut memfokuskan penelitiannya pada mihrab
masjid saja, tidak banyak menyoroti Inskrispsinya.
Ketiga,
Penelitian
skripsi oleh Myristica Arie Wrespati, di Fakultas Ilmu Budaya
Jurusan Arkeologi Universitas Indonesia,
dengan judul “Masjid Al-Wustho Pura Mangkunegaran Tinjauan Bentuk
dan Akulturasi”. Penelitiannya merupakan penelitian arkeologis
yang menyoroti bentuk arsitektur sebagai suatu proses akulturasi. Penelitian
ini juga tidak memfokuskan penelitian pada inkripsinya.
Keempat,
Sebuah
karya tulis oleh H. Nur Muhammad yang menulis sejarah ringkas masjid Al-Wustho
dan mendeskripsikan inskripsinya. Makalah ini tidak dipublikasikan. Sayangnya
beliau hanya mendeskripsikan inskripsi yang ada di luar bangunan masjid yaitu,
pada gapura dan markis saja, tidak pada bagian dalamnya.
Berdasarkan
penelusuran singkat inilah kami menduga belum ada yang melakukan penelitan sekaligus
analisa pada teks-teks inskripsi pada masjid Al-Wustho.
E. Metodologi
Penelitian
Menurut
Kuntowijoyo[1], penelitian sejarah mempunyai lima tahapan yaitu: (1)
pemilihan topik, (2) pengumpulan sumber atau heuristik, (3) verifikasi atau
kriktik sejarah yang bertujuan memproses keabsahan sumber, (4) interpretasi,
yang didalamnya mencakup analisis dan sintesis, dan (5) penulisan sejarah atau
historiografi.
Setelah
menemukan topik yang menarik, maka dalam tahap selanjutnya dilakukan tahap
heuristik, yaitu tahap mencari dan menemukan sumber, serta informasi. Pertama
sekali dilakukan studi kepustakaan
dengan penelusuran informasi tentang karya tulis maupun penelitian yang pernah
dilakukan mengenai masjid Al-Wustho Pura Mangkunegaran.
Tahap
kedua adalah verifikasi atau kritik, yaitu proses analisa dan klasifikasi
sumber dan data. Tahap ketiga adalah tahapan penafsiran data atau interpretasi
yang telah dikritik baik berupa analisis maupun sintesis, kemudian dirangkaikan sedemikian rupa
sehingga menjadi suatu kesatuan fakta yang
ilmiah, dan logis. Tahap
keempat atau tahap terakhir adalah penulisan, yaitu tahapan penulisan dengan
merangkaikan fakta sebagai hasil interpretasi pada tahap ketiga menjadi sebuah
narasi dalam bentuk tulisan.
F. Sistematika
Penulisan
Sistematika
penulisan laporan hasil penelitain ini akan disusun sebagai berikut :
Bab pertama,
Pendahuluan, yang meliputi latar belakang, perumusan masalah, tujuan
penelitian, tinjauan pustaka, metodologi
penelitian, dan sistematika penulisan.
Pada bab kedua
akan membahas gambaran umum masjid Al-Wustho, yang pembahasannya meliputi: lokasi
geografis, sejarah singkat, arsitektur bangunan, dan tata ruang.
Pada bab ketiga
akan diuraikan deskripsi inskripsi Masjid Al-Wustho yang terdiri dari inskripsi
pada gapura dan markis, inskripsi pada jendela, inskripsi pada kaca dalam
jendela, dan inskripsi pada soko guru.
Pada bab keempat
pembahasannya pada kritik dan interpretasi teks yang meliputi antara lain:
kritik teks, analisis fungsi penempatan inskripsi, fungsi kaligrafi pada
inskripsi masjid, yaitu sebagai media ibadah dan dakwah, sarana kreatifitas
seni dan penghias, dan media komunikasi.
Bab kelima adalah
kesimpulan.
BAB II
GAMBARAN
UMUM MASJID AL-WUSTHO
PURA
MANGKUNEGARA SURAKARTA
A. Lokasi
Geografis
Masjid Al-Wustho Pura Mangkunegara terletak di kota
Surakarta, yang lokasi geografisnya
adalah pada 110 45’15-110 45’35” BT –7 36’00”-7 56’00” LS, dengan batas
utara Pemkot Karanganyar dan Pemkot Boyolali, sebelah timur Pemkot Sukoharjo
dan Pemkot Karanganyar, sebelah selatan Pemkot Sukoharjo, dan sebelah barat
Pemkot Sukoharjo dan Karanganyar. Sedangkan posisi masjid secara geografis pada
110
º 49’
17” BT dan 7º 33’ 55” LS[2].
Posisi masjid
berada di sebelah barat kompleks istana/Pura Mangkunegaran Surakarta yang
dipisahkan dengan jalan R.A. Kartini, di
sisi utaranya bersebelah dengan Sekolah Dasar Muhammadiyah 1 Surakarta,
sedangkan di sebelah barat masjid merupakan pemukiman penduduk yang cukup
padat.
Sebelumnya masjid
Al-Wustho terletak di wilayah Kauman, Pasar Legi, namun pada masa Adipati
Mangkunagara II dipindah ke wilayah Banjarsari dengan pertimbangan letak masjid
yang strategis dan dekat kepada Pura Mangkunagaran.
B. Sejarah Singkat
Masjid Al-Wustho
Pendirian masjid Mangkunegaran diprakarsai oleh
Kanjeng Gusti Pangeran Aryo Adipati Mangkunegara I di Kadipaten Mangkunegaran
sebagai masjid Lambang Panotogomo. Sebelumnya masjid ini terletak diwilayah
Kauman, Pasar Legi, namun pada masa Mangkunegara II dipindah ke wilayah
Banjarsari dengan pertimbangan letak masjid yang strategis dan dekat dengan
Puro Mangkunegaran. Mesjid Al Wustho Mangkunegaran dipugar besar-besaran oleh
Paduka Pangeran Adipati Mangkunegaran VII, sekaligus menambahkan bangunan
menara setinggi 25 meter pada tahun 1926. Menara tersebut pada awalnya
digunakan untuk mengumandangkan azan ke empat penjuru dengan menggunakan empat
orang muadzin.
Bangunan mesjid
dirancang oleh Ir. Herman Thomas dan didirikan pada tahun 1878-1918. Maka,
walaupun arsitektur berbentuk bangunan Jawa tetapi terdapat banyak pengaruh
gaya kolonial. Gapura halaman masjid dibuat tahun 1917-1918, dengan dinding
berhiaskan relief kaligrafi huruf Arab. Pengelolaan masjid dilakukan oleh para
abdi dalem Pura Mangkunegaran, sehingga status masjid merupakan Masjid Puro
Mangkunegaran. Luas masjid sekitar 4200 m² dengan batas pagar tembok keliling
sebagian besar dimuka berbentuk lengkungan. Pemberian nama Al-wustho pada
masjid Mangkunegaran pada tahun 1949 diberikan oleh Bopo Panghulu Puro
Mangkunegaran Raden Tumenggung K.H. Imam Rosidi.
Pengelolaan masjid
pada mulanya langsung di bawah Keraton Mangkunegara. Para pengurusnya diangkat
oleh raja sehingga semua pegawai ta’mir masjid merupakan abdi dalem Keraton
Mangkunegara. Kondisi pengelolaan seperti ini terjadi dari mulai awal berdiri
pada zaman penjajahan Belanda, hingga Jepang mengambil alih Belanda, hingga
masa kemerdekaan RI pada 1945.
Pasca Kemerdekaan
ada perubahan situasi kenegaraan, dengan berdirinya Indonesia sebagai negara
yang merdeka, membawa perubahan lain dalam pengelolaan dan status masjid.
Melalui Putusan Menteri Dalam Negeri nomor E/23/6/7 tanggal 14 September 1948
Pengelolaan masjid diserahkan kepada Kementerian Agama RI, yang kemudian
diperkuat dengan surat nomor: 50/2/7, tanggal 12 April 1952. Dalam putusan itu
disebutkan antara lain bahwa masjid Al-Wustho akan diurus dan dipelihara oleh
Kementerian Agama dengan mengikut sertakan eksponen masyarakat.
Konsekeunsi dari
adanya putusan tersebut maka seluruh biaya pemeliharaan dan operasional masjid
Al-Wustho dibebankan kepada anggaran Kementerian Agama. Akan tetapi sejak tahun
1974 Departemen Agama menghentikan semua bantuan biaya rutin tersebut dengan
keluarnya surat edaran yang dikeluarkan oleh Direktorat Urais nomor:
117/BKMP/1974 tanggal 20 Desember 1974. Hal itu tidak saja berlaku bagi masjid
Al-Wustho tetapi juga pada empat masjid yang ada di Kotamadya Surakarta. Sejak
saat itu pengurus harus mencari sendiri dana untuk biaya operasional masjid
Al-Wustho tanpa bantuan dari Departemen Agama, meskipun pengangkatan pengurusnya
disahkan melalui surat keputusan yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintah
tersebut.
C. Arsitektur
Bangunan
Walaupun bangunan masjid Al-Wustho
berarsitektur Jawa tetapi terdapat banyak pengaruh gaya kolonial. Masjid ini merupakan masjid
yang cukup unik karena terdapat hiasan kaligrafi Al-Qur’an di berbagai tempat,
seperti pada pintu gerbang, pada markis/kuncungan, soko dan Maligin. Menara
masjid Al-Wustho dibangun tahun 1926 pada masa Mangkunegaran VII. Dipergunakan
untuk mengumandangkan adzan, Pada saat itu dibutuhkan 3-4 orang muadzin untuk
adzan bersama-sama dalam menara ke 4 arah yang berbeda.
Luas komplek masjid Al-Wustho
seluruhnya ada 400m2, dipisahkan dari daerah sekelilingnya dengan tembok
keliling bagian belakang (barat) setinggi 3 meter. Bagian halaman depan (timur) berbentuk
lengkung menyerupai gunungan atau kubah dengan tinggi 3 meter. Gapura bagian
depan juga berbentuk lengkung yang harmonis dengan bentuk pagar di kiri dan
kanannya. Salah satu keunikan arsitektur masjid ini ada pada gapura tersebut
yang dihiasi dengan kaligrafi Arab.
Dari bentuk arsitektur bangunan, hampir
sama dengan bentuk bangunan masjid-masjid Jawa lainnya seperti masjid agung
Demak, masjid Agung Keraton Yogyakarta, yang mengambil bentuk gaya arsitektur
rumah Jawa dengan atap bangunan teras berbentuk limasan dan atap tumpang untuk
bagian atap ruang utama, yang bersusun tiga. Bangunan tersebut mengandung makna
filosofis Iman, Islam dan Ikhsan. Yang membedakannya dengan masjid lain adalah
adanya markis atau kuncung yaitu semacam pintu utama menuju teras dengan tiga
akses pintu masuk, yaitu di sisi kanan atau utara, sisi depan atau timur dan
kiri atau selatan, yang pada masing-masing atasnya dihiasi dengan kaligrafi.
D. Tata Ruang
Masjid Al-Wustho
Pura Mangkunegaran terdiri dari:
1.
Serambi, berukuran
Ukuran panjang 22 m lebar 11 m, merupakan ruangan
depan masjid dengan saka sebanyak 18 yang melambangkan umur Raden Mas Said
(Mangkunagara I) ketika keluar dari Keraton Kasunanan Surakarta untuk
dinobatkan sebagai Adipati Mangkunagaran. Di serambi terdapat bedug yang
bernama Kanjeng Kyai Danaswara dan sebuah kentongan yang berbahan kayu jati
yang cukup besar.
2.
Ruang Sholat
Utama, dengan ukuran panjang 24 m dan lebar 22 m, merupakan ruang dalam dengan
4 soko guru dan 12 penyangga pembantu yang berhias huruf kaligrafi Al Quran. Dalam
ruang utama ada mihrab dengan bingkai kayu berukir, sedang sebelah kanan atau
utara mihrab ada sebuah mimbar dengan ukiran khas mataraman. Di bagian depan
kaki mimbar yang menghadap ke timur terdapat figur dua ekor singa yang bagian
kepalanya sudah hilang karena dipotong secara sengaja dengan gergaji. Hal ini
dilakukan karena alasan agama yang melarang adanya patung di dalam masjid dan
karena adanya keberatan dari beberapa orang jamaah.
3.
Maligin, bangunan
ini terletak di sebelah selatan serambi berupa bangunan kecil membundar yang
dibangun atas prakarsa Adipati Mangkunagara V, digunakan untuk melaksanakan
khitanan bagi putra kerabat Mangkunagaran. Sejak pemerintahan Mangkunagara VII
Maligin diperkenankan untuk digunakan oleh Muhammadiyah sebagai tempat khitanan
masyarakat umum.
4.
Pawasteren,
merupakan bangunan tambahan yang dipergunakan untuk tempat sholat khusus
wanita, bangunan ini menempel dengan ruang utama di sebelah selatan. Sebelum
ada bangunan ini ada sekat pemisah untuk jamaah laki-laki dan perempuan yang
ditempatkan di ruang utama.
5.
Menara, dibangun
tahun 1926 pada masa Mangkunagara VII. Digunakan untuk menyuarakan adzan. Pada
saat itu dibutuhkan 3-4 orang muadzin untuk adzan bersama-sama dalam menara ke
4 arah yang berbeda.
6.
Markis/Kuncungan,
dengan ukuran luas 25 m2 berbentuk bujur sangkar dengan lengkungan tembok
menyerupai kubah atau gunungan, tempat ini adalah akses utama menuju masjid,
yang merupakan batas akhir bagi kalangan
non muslim yang tidak diperkenankan masuk lebih dalam ke masjid.
7.
Gerbang atau Gapura, gapura berasal dari kata Ghafara yang artinya ampunan. Ada dua
buah di sebelah timur yang lebih besar dan di bagian utara lebih kecil tanpa
hiasan kaligrafi merupakan jalan pintas bagi penduduk di sekitar masjid.
Gambar
2.1
Denah
Masjid Al-Wustho Pura Mangkunegara
BAB
III
DESKRIPSI
INSKRIPSI PADA MASJD AL-WUSTHO PURA MANGKUNEGARA
Inskripsi pada masjid Al Wustho berjumlah sekitar
41 buah yang terdiri atas 2 isnkripsi pada gapura (luar dan dalam), 3 inskripsi
pada markis/kuncungan (depan, sisi kanan dan sisi kiri), 10 inskripsi pada
jendela teras, 9 inskripsi pada pintu, 16 inskripsi pada soko guru di dalam
ruang sholat, ditambah 1 inskripsi pada mihrab yang merupakan replica inskripsi
pada gapura luar.
A. GAPURA
Gapura
Depan
(Masuk)
|
Atas:
َاْلاِسْلامُ يَعْلَى وَلا يُعْلَى عَلَيْهِ
(Agama Islam tinggi dan tidak ada yang lebih
tinggi darinya)
Bawah:
أَشْهَدُ
أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ و أَشْهَدُ َأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ
(Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah
dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah)
|
Gapura
Depan
(Keluar)
|
Atas:
مِفْتَاحُ
الصَّلاَةِ اَلطُّهُوْرُ اَلطُّهُوْرُ
نِصْفُ اْلِايْمَانِ
(Kunci shalat adalah bersuci * Bersuci adalah
sebagian dari Iman)
Bawah:
مَثَلُ
الصَّلَوَاتِ الْخَمْسِ كَمَثَلِ نَهَرٍ عَل يْ عَلَى بَابِ أَحَدِكُمْ يَغْتَسِلُ مِنْهُ كُلَّ
يَوْمٍ خَمْسَ مَرَّاتٍ فَمَا بَقِيَ مِنْ ذَالِكَ الدَّنًسُ
(Perumpamaan shalat lima waktu ibarat sungai
yang mengalir di pintu salah seorang kamu apabila ia mandi lima kali setiap
hari maka tidak akan ada sisa kotoran)
|
B. MARKIZ
Bagian Depan
|
Atas:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
(Sesungguhnya shalat
diwajibkan atas orang yang beriman pada waktu yang ditetapkan)
Bawah:
صَلاَةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ
بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
(Shalat berjama’ah itu lebih baik dari shalat
sendiri 27 derajat)
|
|||
Bagian
Kanan
|
Atas:
فَبَشِّرْ
عِبَاديَ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
(Maka beri kabar gembiralah hambaku yang
mendengarkan perkataan mereka mengikutinya dan berbuat baik)
Bawah:
مَنْ تَرَكَ
الْجُمُعَةَ ثَلاَثًا مِنْ غَيْرِ ضَرُورَةٍ كُتِبَ مُنَافِقًا
(Barangsiapa yang meninggalkan jum`at tiga
kali maka ia dicatat sebagai orang yang munafik)
|
|||
Bagian
Kiri
|
Atas:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آَمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي
الْأَمْرِ مِنْكُمْ
(Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada
Allah, taatlah kepada Rasul dan para pemimpin di antara kamu)
Bawah:
حِفْظُ دِيْنٍ
ثُمَّ نَفْسِ مَالٍ نَسَبٍ وَ مِثْلُهَا عَقْلٍ عَرْضٍ قَدْ وَجَبَ
(Menjaga agama, kemudian jiwa, harta dan
demikian juga aqal, kehormatan adalah wajib)
|
BAB
IV
KRITIK
DAN INTERPRETASI TEKS INSKRIPSI
PADA
MASJID AL-WUSTHO PURA MANGKUNEGARA
A. Kritik Teks
Kritik teks ini bertujuan untuk mengkritisi teks (nas) yang
terdapat pada inskripsi gapura dan markis dilihat dari aspek kebahasaan dan
seni kaligrafi. Kedua aspek ini dilakukan karena inskripsi yang ada menggunakan
teks berbahasa Arab dan seni kaligrafi Islam.
Gambar
3.1
Gapura
Depan/Luar Masjid al-Wustho Pura Mangkunegara
Aspek
Kebahasaan
Pada kata “al-Isla>m”,
terdapat perbedaan dari kaedah imla>iyyah dimana teks inskripsi dalam
penulisan alif setelah la>m sebelum si>n tidak menggunakan hamzah,
pada secara kaedah harus menggunakan hamzah. Kemudian pada tanda baca huruf la>m
yang terdapat setelah si>n sebelum alif menggunakan tanda baca (h}arakat) fath}ah
tegak, padahal secara kaedah adalah menggunakan h}arakat fath}ah miring.
Kemudian pada kata “wala>
yu’la>”, juga terdapat perbedaan penggunaan tanda baca, dimana pada teks
inskripsi pada tanda baca huruf la>m yang terdapat setelah waw dan
sebelum ya>’ menggunakan h}arakat fath}ah tegak, namun secara
kaedah imla>iyyah adalah menggunakan h}arakat fath}ah miring.
Kemudian pada kata “asyhadu”
yang pertama, pada teks inskripsi gapura depan bawah juga terdapat perbedaan
dengan kaedah imla>iyyah dimana tertulis pada alif awal dan
tidak terdapat hamzah di atas alif padahal
secara kaedah bahwa hamzah qatha’ harus tertuliskan secara jelas tidak
bisa hanya dengan menuliskan alif dan harakat, sebagaimana yang
terdapat pada teks inskripsi. Hal perbedaan yang sama juga terdapat pada kata “an”
setelah kata “asyhadu” dimana teks inskripsi dalam menuliskan hamzah
qatha’ tidak menggunakan hamzah di atas alif, kecuali hanya dengan
menulis alif dan harakat fathah. Begitu pula yang terdapat pada
kata “asyhadu” dan “an” kedua yang terdapat syahadah kepada Nabi
Muhammad saw.
Selain itu, perbedaan antara teks inskripsi dengan
kaedah imal>iyyah juga terdapat pada kata “la>” yang
terdapat setelah kata “asyhadu” yang pertama dan sebelum kata “ila>ha”
dimana teks inskripsi tertulis tanda baca la>m dengan menggunakan h}arakat
fath}ah tegak, padahal secara kaedah menggunakan fath}ah miring.
Aspek
Kaligrafi
Teks inskripsi pada
gapura depan/luar, sebagaimana yang terdapat pada gambar 3.1 di atas,
menunjukkan bahwa penulis ingin menulis teks dengan menggunakan kaligrafi
dengan jenis khat} s\ulus\i>, dengan ragam dekorasi. Namun, jika
diperhatiksn dari sisi kaedah kaligrafi Islam, terlihat bahwa inskripsi ini
hanyalah menyerupai khat} s\ulus\i> namun tidak sesuai dari aspek
kaedah yang ada. Hal tersebut dapat ditelusuri dari karaker huruf yang
ditampilkan, seperti waw, ha>’, mi>m, da>l, dan lam yang berbeda,
bahkan pada da>l dan la>m dapat tertukar bentuk karakter
hurufnya.
Gambar
3.2
Gapura
Depan/Dalam Masjid al-Wustho Pura Mangkunegara
Aspek
Kebahasaan
Pada kata “mifta>h}”,
terdapat perbedaan dari kaedah imla>iyyah dimana teks inskripsi dalam
penulisan tanda baca inskripsi menggunakan (h}arakat) fath}ah
tegak, padahal secara kaedah adalah menggunakan h}arakat fath}ah miring.
Kemudian pada kata “al-I<ma>n”,
juga terdapat perbedaan dengan kaedah imla>iyyah dimana tertulis pada
alif yang terdapat setelah huruf la>m dan sebelum ya>’
tidak terdapat hamzah di bawah alif padahal
secara kaedah bahwa hamzah qatha’ harus tertuliskan secara jelas tidak
bisa hanya dengan menuliskan alif dan harakat, sebagaimana yang
terdapat pada teks inskripsi.
Kemudian juga terdapat
perbedaan penggunaan tanda baca, dimana pada teks inskripsi pada tanda baca
huruf mi>m yang terdapat setelah ya>’ dan sebelum alif menggunakan
h}arakat fath}ah tegak, namun secara kaedah imla>iyyah adalah
menggunakan h}arakat fath}ah miring.
Kemudian pada teks
inskripsi bagian bawah tidak ada kejelasan redaksi teks pada kata setelah “nahr”
dan sebelum “’ala>”, berdasarkan hasil penelusuran peneliti dengan
bantuan maktabah sya>milah bahwa ada banyak redaksi yang variatif
yang menambahkan kata “ja>r” dan “ja>r gamr” serta “ja>r
‘az}b”, bahkan d dalam kanz al-‘amal juz 7 halaman
310, sama sekali tidak menggunakan tambahan kata apa pun di antaranya.
Aspek
Kaligrafi
Teks inskripsi pada
gapura depan/dalam, sebagaimana yang terdapat pada gambar 3.2 di atas,
menunjukkan bahwa penulis ingin menulis teks dengan menggunakan kaligrafi
dengan jenis khat} s\ulus\i>, dengan ragam dekorasi. Namun, jika
diperhatiksn dari sisi kaedah kaligrafi Islam, terlihat bahwa inskripsi ini
hanyalah menyerupai khat} s\ulus\i> namun tidak sesuai dari aspek
kaedah yang ada. Terlebih jika diperhatikan secara seksama dari sisi karakter
huruf dan simetrisnya dengan kaedah yang berlaku. Untuk penulisan huruf ra>
saja ditulis secara tidak semetris kecuali yang dilakukan adalah menyesuaikan
bingkai dekorasi yang diinginkan dari gapura.
Gambar
3.3
Markis
Depan Masjid al-Wustho Pura Mangkunegara
Aspek
Kebahasaan
Untuk markis depan masjid
al-Wustho, sebagaimana tampak pada gambar 3.3 di atas, perbedaan hanya terdapat
pada penulisan kata “’isyri>na” dimana perbedaan dimaksud ada pada
penulisan huruf syi<n dan ra>’ yang mana kedua huruf
tersebut lekuk (gigi) melebihi dari kaedah imla>iyyah yang berlalu.
Aspek
Kaligrafi
Apa yang terdapat pada
kritik pada gambar 3.1, 3.2 sebelumnya, adalah tidak berbeda jauh dengan kritik
peneliti untuk inskripsi 3.3 ini. Dimana teks inskripsi pada markis depan,
menunjukkan bahwa penulis ingin menulis teks dengan menggunakan kaligrafi
dengan jenis khat} s\ulus\i>, dengan ragam dekorasi. Namun, jika
diperhatiksn dari sisi kaedah kaligrafi Islam, terlihat bahwa inskripsi ini
hanyalah menyerupai khat} s\ulus\i> namun tidak sesuai dari aspek
kaedah yang ada. Hal tersebut dapat ditelusuri dari karaker huruf yang
ditampilkan yang tidak simetris dalam penempatan huruf-huruf yang ada.
Gambar
3.4
Markis
Kanan Masjid al-Wustho Pura Mangkunegara
Aspek
Kebahasaan
Pada kata “fabasysyir”,
terdapat perbedaan dari kaedah imla>iyyah dimana teks inskripsi dalam
penulisan huruf syi>n ditulis dengan karakter huruf yang berbeda,
yaitu lekuk (gigi) huruf syi>n pada teks inskripsi ini (gambar 3.4)
lebih banyak. Kemudian perbedaan juga dapat ditemukan pada penulisan teks
inskripsi kata “’iba>diya” dimana secara kaedah imla>iyyah huruf
ya>’ yang berharakatan ditulis dengan memberikan tanda dua titik
dibawah, sementara pada teks inskripsi ini tidak diberi titik. Sementara pada
teks inskripsi bagian bawah dari gambar 3.4 ini tidak terdapat perbedaan yang
menonjol.
Aspek
Kaligrafi
Teks inskripsi pada markis
kanan, sebagaimana yang terdapat pada gambar 3.4 di atas, menunjukkan bahwa
penulis ingin menulis teks dengan menggunakan kaligrafi dengan jenis khat}
s\ulus\i>, dengan ragam dekorasi. Namun, jika diperhatiksn dari sisi
kaedah kaligrafi Islam, terlihat bahwa inskripsi ini hanyalah menyerupai khat}
s\ulus\i> namun tidak sesuai dari aspek kaedah yang ada. Terlebih jika
diperhatikan secara seksama dari sisi karakter huruf dan simetrisnya dengan
kaedah yang berlaku. Untuk penulisan huruf da>l misalnya ditulis
dengan lekukan menajam, sementara secara kaedah khat s\ulus\i> dituli
dengan lengkungan yang tidak menajam.
Gambar
3.5
Markis
Kiri Masjid al-Wustho Pura Mangkunegara
Aspek
Kebahasaan
Untuk markis kiri pada
gambar 3.5 di atas, tidak ditemukan perbedaan yang menonjol, kecuali peneliti
penemukan perbedaan redaksi teks (nas}s}) dimana umumnya sebagaimana
hasil penelusuran peneliti pada kitab-kitab hadist yang termuat dalam maktabah
stamilah, tertulis huruf ‘at}af
s\umma atau wa, namun
pada markis tidak terdapat ‘at}af sebagaimana terlihat pada gambar 3.5
di kata “ma>l dan nasab”.
Aspek
Kaligrafi
Apa yang terdapat pada
kritik pada gambar 3.1, 3.2, 3.3, 3.4 sebelumnya, adalah tidak berbeda jauh
dengan kritik peneliti untuk inskripsi 3.5 ini. Dimana teks inskripsi pada
markis kiri ini, menunjukkan bahwa penulis ingin menulis teks dengan
menggunakan kaligrafi dengan jenis khat} s\ulus\i>, dengan ragam
dekorasi. Namun, jika diperhatiksn dari sisi kaedah kaligrafi Islam, terlihat
bahwa inskripsi ini hanyalah menyerupai khat} s\ulus\i> namun tidak
sesuai dari aspek kaedah yang ada. Hal tersebut dapat ditelusuri dari karaker
huruf yang ditampilkan yang tidak simetris dalam penempatan huruf-huruf yang
ada.
Kemudian pada markis kiri
masjid al-Wustho, sebagaimana tampak pada gambar 3.5 di atas, perbedaan hanya
terdapat pada penulisan kata “di>n” dimana perbedaan dimaksud ada
pada penulisan huruf da>l yang mana secara kaeda s\ulusi> tidak
ditulis dengan huruf yang menajam pada sisinya, namun ditulis secara
melengkung.
B. Analisis Fungsi
Penempatan Inskripsi
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa jumlah
inskripsi pada masjid Al Wustho Pura Mangkunegara berjumlah 41 buah. Semua
inskripsi tersebut telah dipaparkan satu persatu sebelumnya, namun tidak semua
inskripsi tersebut akan dianalisis fungsi penempatan dan fungsi kaligrafisnya.
Hal ini disebabkan oleh keterbatasan data terutama hasil wawancara sehingga
tidak bisa dijelaskan secara lebih detil hubungan antara inskripsi dan
penempatannya pada ruang dan tempat tertentu.
Pada bagian ini hanya akan dipaparkan analisis atas
dua inskripsi pada masjid Al Wustho, yaitu inskripsi pada gapura dan
markis/kuncungan. Penempatan inskripsi pada tempat-tempat lain pada masjid Al
Wustho agaknya lebih disebabkan oleh pertimbangan ketepatan dan dekoratif
semata, tanpa ada penjelasan lebih lanjut tentang alasan simbolik penempatan
inskripsi tersebut. Adapun makna numerikal yang bisa dijelaskan terkait dengan
inskripsi pada empat soko guru bagian dalam masjid (ruang sholat utama)
menunjukan makna yang bermacam-macam; pertama,
bisa bermakna empat pilar hukum Islam, yaitu Al Qur’an, hadist, Ijma, dan
Ijtihad; kedua, empat inskripsi pada
soko guru menandakan iman, Islam, Ikhsan, dan Istiqomah; ketiga bisa bermakna empat madzhab dalam konsep aktualisasi fiqh
Islam.[3]
Selebihnya, penempatan inskripsi pada tempat-tempat tertentu dalam masjid
agaknya merupakan pertimbangan dekoratif semata.
1. Fungsi
Penempatan Inskripsi pada Gapura
Inskripsi pada
gapura luar masjid Al Wustho ada dua bagian, bagian atas bermakna “agama Islam
itu tinggi dan tidak ada yang melebihi darinya”. sedangkan bagian bawah
menunjukan kunci identitas keislaman seorang muslim berupa syahadat. Penempatan
inskripsi pada gapura atau pintu gerbang masjid menegaskan identitas Islam yang
ingin ditunjukan oleh masjid atau lebih tepatnya Pura mangkunegara. Masjid
adalah penanda identitas masyarakat muslim. Identitas tersebut semakin kokoh
dengan penegasan pada pintu masuk masjid yang menunjukan keluhuran dan
ketinggian Islam. Begitu pula halnya syahadat merupakan penanda pertama
identitas Islam.
Identitas merupakan hal paling
penting dalam kehidupan, baik identitas sosial, politik, ekonomi, budaya,
maupun identitas religius. Identitas menunjukan eksistensi seseorang atau satu
masyarakat. Islam menunjukan identitasnya lewat masjid dan inskripsi pada
masjid Al Wustho (khususnya pada gerbang gapura depannya) agaknya hendak
menegasan betapa tingginya identitas Islam tersebut. Inskripsi pada gapura
masjid Al Wustho menunjukan posisi Islam yang luhur dan hal tersebut ditegaskan
lagi melalui pengakuan akan Tuhan yang Esa dan pengakuan akan kerasulan
Muhammad SAW. Memasuki pintu gerbang/gapura masjid Al Wustho artinya pengakuan
akan ketinggian dan keluhuran Islam lewat pengakuan akan keesaan Tuhan dan
kerasulan nabi Muhammad SAW.
Dari segi bahasa, gapura juga berarti ghafura (pengampunan). Makna dari hal
tersebut adalah bahwa siapa saja yang
memasuki gapura masjid artinya dia telah diampuni.[4] Penempatan inskripsi pada gapura masjid dan
bagian-bagian inskripsi selanjutnya pada masjid Al Wustho menunjukan
tahapan-tahapan (kontinuitas) yang diajarkan oleh Islam. Gapura adalah lorong
masuk memasuki dunia atau situasi baru. Lorong atau gapura menunjukan identitas
baru, menuju pada sesuatu yang baru yang diikuti oleh kewajiban baru dan
akhirnya menuju pada status baru.[5] Dengan memasuki gapura masjid seseorang melakukan sebuah
pengakuan akan keluhuran Islam dengan pengakuan akan keesaan Tuhan dan
kerasulan nabi Muhammad. Tatkala pengakuan itu ada maka ia datang untuk
diampuni (atau memohon ampunan).
Makna penempatan inskripsi pada
gapura dalam menunjukan kewajiban pertama dalam Fiqh Islam, yaitu thaharah
(bersuci). Kesucian adalah sesuatu yang paling penting dalam Islam, baik suci
lahir maupun batin. Dalam banyak kebudayaan dan agama, memasuki
lorong/gerbang/gapura dituntut adanya keadaan yang suci. Kondisi suci
(thaharah) adalah sebuah prasyarat untuk memasuki gapura menunju pada keislaman
dengan ditegakannya sholat. Kesucian adalah keniscayaan dalam Islam, untuk
memasuki tahap dan situasi baru dalam mengerjakan sholat, sehingga layak
disebut sebagai orang Muslim.
Pengampunan (ghafuro) dan
kesucian (thaharah) merupakan dua hal pertama yang harus dilakukan ketika
seseorang akan memasuki masjid, sebab tanpa ketundukan dan kesucian seorang
muslim tak dapat memasuki situasi dan kewajiban yang baru, yaitu mendirikan
sholat.
2.
Fungsi Penempatan Inskripsi pada Markis/Kuncungan
Markis merupakan
batas antara luar masjid dan bagian dalam masjid yang merupakan bangunan utama
masjid Al Wustho. Bangunan markis ini juga merupakan batas antara muslim dan
non muslim dalam memasuki areal masjid.[6]
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa markis merupakan batas atau pembeda antara yang sacral dan yang profane. Durkheim memahami sacred
sebagai sesuatu yang suci, keramat, terlindung dari pelanggaran, dijaga
kesucianya dari pencemaran, dosa, dan kekotoran (polluted). Sedangkan profan adalah keadaan yang biasa-biasa saja.
Dua hal sacral dan profane adalah sesuatu yang berbeda dan tak bisa
dicampuradukan[7].
Bagian yang sakral adalah dalam bagian utama masjid, yaitu tempat sholat, sedangkan bagian
yang profane adalah bagian luar dari masjid. Hal ini menandakan bahwa Masjid
adalah bukan bangunan yang tertutup dan eksklusif. Siapapun yang memasuki
masjid adalah sebuah pengakuan akan identitas keislaman dan keluhuran Islam,
akan tetapi masjid juga memiliki identitas kokoh yang tak bisa dimasuki oleh
sembarang orang (non-muslim), juga orang-orang yang tidak dalam keadaan suci.
Ketika seseorang sudah memasuki markis/kuncungan
maka itu menadakan ia sudah memasuki tempat yang sacral/yang utama/yang suci.
Ia sudah memasuki status baru dalam keadaan suci untuk menunaikan kewajibanya
mendirikan sholat sebagai salah satu bentuk ketundukan dan penghambaan kepada
Allah SWT. Karena itulah, Inskripsi pada markis depan menegaskan akan kewajiban
shalat bagi siapa saja yang merasa diri sebagai orang Islam
dan dalam keadaan suci. Pentingnya
sholat terutama sholat jumat (bagi laki-laki) juga ditampilkan oleh inskripsi
pada sisi kiri markis.
Disamping mengingatkan kewajiban sholat, isnkripsi lain lagi pada markis
mengamanatkan keutamaan sholat berjamaah sejumlah 27 kali diabandingkan sholat
sendiri. Seruan untuk sholat berjamaah menunjukan bagaimana Islam menempatkan
kesatuan, kebersamaan dan komunitas atau sosial sebagai hal yang sangat
penting.
Inskripsi pada markis sisi kanan
masji dmengamanatkan suatu kewajiban tidak hanya secara vertikal pada Allah SWT
juga secara horizontal pada Rasul dan pemimpin (ulil amri). Inskripsi lain
menunjukan lagi-lagi adalah kewajiban untuk menjaga identitas dan kehormatan
diri sebagai orang Islam dengan cara menjaga agama, jiwa, harta, dan nama baik.
Tiga inskripsi pada markis masjid agaknya mengamanat suatu kewajiban sebagai
seorang muslim, ketika ia sudah memasuki lorong.gerbang.gapura yang mengubah
statusnya dari keadaan tak suci, menjadi suci. Dan karena telah memasuki
keadaan yang baru, situasi yang baru, situasi yang suci, maka ia dihadapkan
pada kewajiban sebagai seorang muslim dengan status kesucinnya yang baru
tersebut.
Inskripsi yang ditunjukan oleh
gapura dan markis pada masjid Al Wustho agaknya diharapkan tidak hanya
diamanahkan pada lokal masjid sebagai simbol dan identitas islam, akan tetapi
juga mengejewantah dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana inskripsi pada dua
bagian masjid tersebut. Masjid dengan bagian kecil berupa inskripsinya adalah
simbol-simbol religious yang coba ditorehkan para pembuat sejarah untuk
menanamkan makna yang begitu dalam, tidak saja dalam lokus masjid, akan tetapi
juga dalam pola kehidupan sehari-hari. Hal itu berarti bahwa identitas Islam
yang begitu tinggi, kesucian, kewajiban dalam agama adalah hal-hal yang
dipentingkan dalam kehidupan sebagai seorang muslim.
C.
Fungsi Kaligrafi pada
Inskripsi Gapura dan Markis/Kuncungan
Inskripsi masjid dalm bentuk kaligrafi, sebagaimana jenis seni lainnya
memiliki fungsi tertentu. Dalam hal ini menurut pandangan Sedyawati, kesenian
memiliki beberapa fungsi dalam kehidupan masyarakat, yaitu penyaluran daya
cipta, penyaluran kebutuhan rasa keindahan, sarana pencarian nafkah, sarana
pembentukan rasa solidaritas kelompok, dan lain-lain (Sedyawati dan Darmono,
1982:6).[8] Fungsi-fungsi seni tersebut kadangkala muncul secara
serentak, tetapi kemungkinan hanya beberapa bagian saja yang muncul.
Dalam hubungannya dengan inskripsi pada masjid al-Wustho Pura Mangkunegara,
khususnya pada gapura dan markis, paling tidak memiliki beberapa fungsi antara
lain sebagai media ibadah dan dakwah, penyaluran kreatifitas seni dan penghias,
dan media komunikasi.
1. Media Ibadah dan Dakwah
Inskripsi dalam bentuk kaligrafi tidak dapat dilepaskan dari nilai ibadah
dan dakwah, karena setiap karya seni Islam selalu bertujuan untuk mengagungkan
nama Allah. Hal ini seperti ditegaskan Akbar (1995:1-2),[9] bagi kaligrafer kegiatan menulis ayat-ayat Allah adalah dzikr
Allah. Kegiatan ini mengandung pahala yang nilainya selalu diperoleh oleh
para penulisnya secara terus-menerus.
Menurut Hossein Nashr, kaligrafi merupakan dasar dari seni yang tiada
habis-habisnya serta tak pernah berhenti merangsang ingatan (dzikr) kepada
Allah bagi mereka yang mampu merenungkannya.[10] Hal ini terlihat pula pada inskripsi gapura dan markis
Masjid Al-Wustho Pura Mangkunegara yang bernuansa religius dan mengandung
nilai-nilai ibadah. Bagi pembacanya, ia akan melafalkan bagian dari ayat
al-Qur’an dan diberikan pahala oleh Allah. Bahkan, seseorang yang membaca dan
mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, baik berupa kandungan ayat
al-Qur’an maupun hadits tentu juga bernilai ibadah kepada Allah. Hal ini nampak
pada beberapa teks yang mengajak untuk melaksanakan shalat fardhu tepat pada
waktunya, keutamaan melaksanakan shalat berjama’ah, perintah untuk selalu
“bersuci” dan dalam keadaan “suci” sebagai bagian dari iman, dan nilai-nilai
ibadah lainnya.
Di samping sebagai media ibadah, inskripsi masjid berupa kaligrafi
berfungsi pula sebagai media dakwah. Kaligrafi yang terdapat pada masjid
biasanya berupa teks-teks perintah dan larangan yang dikutip dari Al-Qur’an dan
Hadits, kalimat-kalimat berisi nasehat, ajakan, dan peringatan yang ditulis
oleh para ulama yang ditujukan kepada pembaca. Fungsi dakwah ini nampak jelas
pada kaligrafi yang terdapat pada gapura dan markis Masjid Al-Wustho yang
banyak memberikan nasehat, ajakan, dan peringatan kepada pembaca (khususnya
para jama’ah shalat) untuk meningkatkan keimanan, misalnya ajakan untuk
melaksanakan perintah Allah, rasul-Nya, dan ulil amri, melaksanakan maqashid
al-syari’ah sebagaimana yang digagas Imam Syatibi dalam al-Muwafaqat,
yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Fungsi Dakwah ini sebagaimana diungkapkan pula oleh Muhammad Thoha (sesepuh
masjid) dalam wawancara yang dilakukan tim peneliti,[11] bahwa ketika seorang Muslim mulai masuk gapura masjid,
ia akan menemukan makna teks untuk meninggikan agama Islam dan membaca kalimat
syahadat. Teks-teks ini bermakna bahwa seorang Muslim memiliki derajat yang
tinggi, karena itu harus selalu menjunjung tinggi kalimat Allah. Kemudian pada
saat meninggalkan masjid, seorang Muslim diingatkan untuk memperhatikan
pentingnya bersuci sebagai kunci shalat. Bahkan dipertegas dengan teks di
bawahnya pada gapura bahwa perumpamaan shalat fardhu sebagaimana ibarat sungai
yang mengalir di pintu, sehingga seorang Muslim selalu hidup dalam keadaan
suci.
Makna dakwah dapat ditemui pula pada markis masjid. Pada markis tersebut
menunjukkan perintah shalat fardhu tepat pada waktunya dan diutamakan shalat
berjama’ah (sisi depan), perintah dakwah untuk memberikan kabar gembira bagi
siapa saja yang melaksanakan perbuatan baik dan mengikutinya, dan ancaman
sebagai “munafiq” bagi Muslim yang meninggalkan shalat Jum’at sebanyak tiga
kali secara berurut, kecuali alasan darurat (sisi kanan), serta perintah
menta’ati Allah, Rasul-Nya dan ulil amri yang disertai untuk melaksanakan
syari’at sesuai dengan tujuan-tujuannya (maqashid al-syari’ah) (sisi
kiri).
Pada markis ini pula, inskripsi tersebut memiliki makna politik yang
menempatkan non-Muslim (ketika bertamu) pada bagian kiri markis dan dilarang
untuk memasuki masjid. [12] Secara tersirat, bermakna pula mengajak non-Muslim untuk
memeluk agama Islam dengan memberikan “kabar gembira”, misalnya dalam bentuk
penjelasan tentang kebenaran agama Islam, ukhuwah Islamiyah, dan sebagainya.
2. Sarana Kreativitas Seni dan Fungsi Penghias
Inskripsi berupa kaligrafi pada masjid Al-Wustho, khususnya pada bagian
gapura dan markis merupakan sarana penyalur kreatifitas seni dari penulisnya.
Dalam hal ini, penulis kaligrafi masjid Al-Wustho, yaitu Penghulu Pura
Mangkunegara Raden Tumenggung K.H. Imam Rosyidi. Kreatifitas dari K.H. Imam
Rosyidi ini telah menunjukkan adanya paduan seni kaligrafi Islam dengan
unsur-unsur seni lokal, sehingga muncul karya kaligrafi beridentitas
Mangkunegara.
Pola hias tradisional yang sudah berkembang sebelumnya di Mangkunegara
dikonstruk sedemikian rupa sehingga menghasilkan karya kaligrafis yang indah
tanpa menghilangkan karakter tulisannya. Hal ini semakin harmonis dan nampak
seimbang dengan bentuk kuncup pada gapura dan markis masjid, suatu nilai seni
yang indah dan berdampak pada jiwa seseorang yang meresapi ketika melihatnya.
Fungsi lainnya adalah sebagai penghias masjid secara umum. Ketika seseorang
melewati gapura dan markis masjid Al-Wustho dengan nilai estetika dan
esotorisnya akan menilai keindahan masjid dan merasakan kedamaian untuk
beribadah didalamnya. Masjid semakin indah dengan arsitektur yang khas dengan
bentuk gapura dan markis yang dihiasi dengan tulisan-tulisan kaligrafi.
3. Media Komunikasi
Dalam berkomunikasi seseorang menyampaikan pesan tidak hanya melalui lisan
melainkan pula melalui tulisan, apalagi tulisan yang indah dalam bentuk
kaligrafi. Inskripsi yang berupa kaligrafi pada gapura dan markis masjid dapat
dijadikan sebagai media komunikasi, yaitu sebagai alat untuk menyampaikan
maksud tertentu, termasuk didalamnya komunikasi politik.
Masjid Al-Wustho Pura Mangkunegara merupakan simbol “panatagama” (penjaga
dan pelaksana ajaran agama).[13] Hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Thoha tersirat
makna komunikasi politik saat itu terkait dengan peran dan eksistensi sultan
dengan para abdi dalem mapun masyarakat secara umum. Khusus pelaksanaan shalat
Jum’at, biasanya Sultan menangani langsung para abdi dalem dengan “mengabsen”
mereka pada saat pelaksanaan shalat Jum’at. Bagi abdi dalem yang tidak
melaksanakan shalat Jum’at, akan diberikan sanksi sampai dengan pemecatan.[14]
Makna komunikasi politik, misalnya terdapat pada teks sisi kiri markis
tentang perintah mentaati Allah, Rasul-Nya, dan ulil amri (sultan). Pada bagian
bawah, tertulis pula tentang pentingnya menegakkan maqashid al-syari’ah.
Paling tidak, teks-teks tersebut dapat meneguhkan otoritas sultan sebagai
institusi “panatagama”, sekaligus pelaksanaan dari peran keagamaan tersebut.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, maka hasil
penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Inskripsi pada
masjid Al-Wustho Pura Mangkunegara berjumlah 41 buah yang menunjukkan penegasan akan identitas
seni kaligrafi Mangkunegara sebagai hasil akulturasi antara kaligrafi Islam
dengan budaya lokal (Jawa). Isi
inskripsi dalam bentuk teks-teks Al-Qur’an dan Hadits yang berupa perintah,
larangan, dan pesan-pesan religius lainnya yang bernilai ibadah.
2. Fungsi
inskripsi pada Masjid Al-Wustho mengamanatkan suatu makna yang sangat dalam
terkait dengan identitas Islam dan fungsi masjid sebagai penanda identitas
keislaman. Fungsi kaligrafi yang hendak ditunjukan oleh inskripsi pada masjid
Al Wustho berupa fungsi sebagai media ibadah dan dakwah, sarana kreatifitas
seni dan penghias, dan media komunikasi.
3. Inskripsi yang
terdapat pada masjid Al Wustho (khususnya pada gapura dan markis) tidak
berhenti pada makna lokus masjid semata, akan tetapi adalah makna yang agaknya
tidak saja ingin ditanamkan dalam setiap
sendi kehidupan masyarakat muslim pada saat masjid tersebut didirikan, akan
tetapi juga dalam konteks masyarakat saat in; bahwa identitas dan ketinggian
posisi Islam yang sangat menjunjung tinggi kesucian dan kewajiban agama adalah
hal yang harus selalu diinskripsikan dalam setiap lini kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Ali, 1995, Kaidah
Menulis dan Karya-karya Master Kaligrafi Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Al-Mawardi, Abu
Hasan Ali, 2005, Ahkam al-Sulthaniyah wa Wilayat al-Diniyah, Beirut: Dar
al-Fikr.
Durkheim,
Emile. 1992. Sejarah Agama; The
Elementary Form of The Religious Life. New York free Press.
Hadi
W.M., Abdul, 2000, Islam Cakrawala Estetik dan Budaya, Jakarta: Pustaka
Firdaus.
Makin,
Nurul, 1995, Kapita Selekta Kaligrafi Islam, Jakarta: Panjimas.
Safadi,
Yasin Hamid, 1986, Kaligrafi Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Schimmel,
Annemarie, 1970, Islamic Calligraphy, Leiden: E.J. Brill.
Sedyawati, Edi dan Sapardi Djoko
Darmono, 1982, Beberapa Masalah Perkembangan Kesenian Indonesia Dewasa Ini, Jakarta:
UI-Press.
Turner, Victor. 1967. The Forest of Symbols.
New York: Cornell University
Press.
Wiryoprawiro, Zin M., 1986, Perkembangan
Arsitektur Masjid di Jawa Timur, Surabaya:
Bina Ilmu.
[1]
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Tiara
Wacana, Yogyakarta 1994.
[2] Data geografis didapat dari
www/googleerth.com.
[3] Berdasarkan wawancara dengan pak Thoha,
pengurus Masjid al Wustho, tanggal 29 Oktober 2010.
[4] Wawancara dengan Pak Thoha, Pengurus
Masjid Al Wustho, tanggal 29 Oktober 2010.
[5]
Turner, 1967, The Forest Of Symbol.
New York: Cornell University
Press.
[6]
Wawancara dengan Pak Thoha, Pengurus Masjid Al Wustho, tanggal 29 Oktober 2010.
[7]
Durkheim, Emile, Sejarah Agama; The
Elementary of The Religious Life, New
York: Free Press.
[8]
Sedyawati dan Darmono, Beberapa Masalah Perkembangan Kesenian Indonesia
Dewasa Ini, Jakarta:
UI-Press 1982, hlm. 6.
[9]
Ali Akbar, Kaidah Menulis dan Karya-karya Master Kaligrafi Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1995, hlm. 1-2.
[10] Lihat
lebih lanjut Abdul Hadi W.M., Islam Cakrawala Estetik dan Budaya, Jakarta: Pustaka Firdaus,
2000.
[11]
Wawancara Tim Peneliti dengan sesepuh Masjid Al-Wustho, Muhammad Thoha, pada
hari Selasa, 26 Oktober 2010.
[12]
Wawancara Tim Peneliti dengan sesepuh Masjid Al-Wustho, Muhammad Thoha, pada
hari Selasa, 26 Oktober 2010.
[13]
Lihat misalnya karya Abu Hasan Ali Al-Mawardi, Ahkam al-Sulthaniyah wa
Wilayat al-Diniyah, Beirut:
Dar al-Fikr, 2005. Al-Mawardi mengemukakan bahwa tugas utama seorang khalifah
adalah “li hirasat al-din wa siyasat ad-dunya” (untuk memelihara ajaran
agama dan mengatur dunia). Hal ini nampak pula dalam tradisi politik Jawa-Islam
yang telah memadukan konsep Islam dengan kultur Jawa (penguasa sebagai titisan
dewa), bahwa seorang penguasa adalah khalifah Allah di muka bumi yang salah satu
tugasnya berupa memelihara ajaran agama.
[14]
Wawancara Tim Peneliti dengan sesepuh Masjid Al-Wustho, Muhammad Thoha, pada
hari Selasa, 26 Oktober 2010.